Ikhbar.com: Mahasiswa pro-Palestina di Amerika Serikat (AS) menghadapi dampak berat akibat aksi protes mereka.
Di Swarthmore College, EK (nama samaran seorang mahasiswa tingkat akhir) mendadak dipanggil melalui Zoom pada 6 Maret 2025.
Ia diberitahu bahwa dirinya diskors satu semester, karena menggunakan pengeras suara saat memprotes keterlibatan kampus dalam investasi yang mendukung perang Israel di Gaza.
“Saya sangat terpukul. Dulu saya pernah hidup tanpa rumah. Mengalami ini lagi sangat mengganggu,” kata EK, dikutip dari The Guardian, pada Senin, 28 April 2025.
Meski mengajukan banding, EK kehilangan pekerjaan kampus dan dilarang tinggal di asrama. Ia khawatir sanksi tersebut akan membawanya ke jeratan sanksi federal, apalagi pemerintahan Trump saat ini memperketat tekanan terhadap aktivis pro-Palestina.
Pada Maret lalu, Swarthmore masuk daftar 60 kampus yang terancam kehilangan pendanaan federal ratusan juta dolar karena dituduh membiarkan pelecehan antisemitisme.
Sejumlah universitas, termasuk Columbia dan Harvard, memperketat kebijakan. Columbia mengusir mahasiswa pendudukan gedung dan membatalkan ijazah alumni, meski tetap kehilangan kontrak dan hibah sebesar Rp6,4 triliun.
Harvard membekukan organisasi solidaritas Palestina, tetapi tetap terkena pembekuan dana federal senilai Rp35,5 triliun.
Baca: Lindungi Mahasiswa Pro-Palestina, Trump Ancam Cabut Dana Pendidikan Harvard
Sejumlah mahasiswa dari Pennsylvania, California, Wisconsin, dan New York mengaku menghadapi sanksi sewenang-wenang, proses disipliner berlarut, dan tekanan yang mengganggu studi.
Setelah adanya tekanan dari mahasiswa dan dosen, Swarthmore akhirnya membiayai tempat tinggal EK di luar kampus hingga kelulusan. Meski dapat lulus tepat waktu, ia tetap dilarang mengikuti acara kelulusan di kampus.
Juru bicara Swarthmore, Alisa Giardinelli, menyatakan bahwa kampus sudah memperingatkan risiko pelanggaran kode etik kepada mahasiswa, tetapi sebagian tetap melanjutkan aksi.
Menurut pengacara dari Palestine Legal, Tori Porell, mayoritas mahasiswa yang menghubungi mereka untuk bantuan hukum adalah Palestina, Muslim Arab, atau mahasiswa kulit berwarna.
“Jika mahasiswa tiba-tiba diskors, mereka kehilangan akses ke tempat tinggal, makanan, dan layanan kesehatan,” ujarnya.
Pada 2024, organisasi ini menerima lebih dari 2.000 permintaan bantuan, dua pertiganya dari kalangan kampus.
Meski represi meningkat, beberapa mahasiswa menolak untuk bungkam. Mahasiswa pascasarjana Universitas Wisconsin-Madison, Dahlia Saba, tetap bersuara setelah diselidiki karena menulis opini yang menuntut kampus transparan dalam investasinya.
Baca: Mahasiswa Pro-Palestina Ditahan, Senator AS Sebut Ini ‘Aib Nasional’
“Taktik represi ini justru membuat kami merasa lebih wajib untuk terus berbicara,” katanya.
Pengacara Thomas Harvey menegaskan, tindakan kampus lebih keras terhadap mahasiswa berkulit berwarna dan berhaluan pro-Palestina.
“Sangat jarang orang kulit putih yang mendapatkan sanksi serupa,” ujarnya.
Mahasiswi Muslim di Swarthmore, UT, juga mendapat sanksi setelah aktivitas protesnya diawasi ketat oleh pihak kampus. Ia menerima keputusan pembebanan hukuman akademik hingga kelulusan, berdasarkan dokumentasi aktivitasnya sejak Oktober 2023.