Desa Harmoni Palestina-Israel Terancam Bubar

Anak-anak bermain di desa Wahat Salam, Neve Shalom. Foto: The Guardian/Alina Mukhina

Ikhbar.com: Sebuah desa unik di Israel yang dihuni bersama warga Yahudi dan Palestina untuk membangun perdamaian, Wahat al-Salam/Neve Shalom, menghadapi ancaman serius dari rancangan undang-undang (RUU) baru di Knesset.

RUU itu mengusulkan pajak hingga 80 persen atas semua donasi dari luar negeri, yang berpotensi melumpuhkan sumber pendanaan utama desa.

Desa yang berarti “Oasis Perdamaian” ini memiliki 300 warga, terdiri dari separuh warga Yahudi dan separuh warga Palestina.

Didirikan tahun 1978 oleh pendeta Yahudi-Katolik, Bruno Hussar, komunitas ini terletak di antara Yerusalem dan Tel Aviv, dan dikenal sebagai simbol hidup berdampingan secara damai.

Di dalamnya terdapat sekolah dasar dwibahasa dan School for Peace yang mengajarkan aktivisme lintas identitas.

Para direktur sekolah, Samah Salaime (warga Palestina Israel) dan Nir Sharon (warga Yahudi Israel), melakukan kunjungan ke Inggris untuk mencari dukungan, termasuk bertemu anggota parlemen dan menghadiri rapat umum tahunan Co-operative Group.

Mereka menyampaikan kekhawatiran terhadap dampak hukum pajak baru tersebut.

Baca: Warga Yahudi AS Sebut Menteri Israel ‘Penjahat Perang’

“Semua dukungan luar negeri bagi pembangun perdamaian, kaum liberal, demokrat, dan bantuan kemanusiaan untuk Palestina akan dipajaki 80 persen. Kami tidak punya dukungan dari Israel, baik secara ideologis maupun finansial,” ujar Salaime, dikutip dari The Guardian, pada Selasa, 20 Mei 2025.

“Kami melawan stereotip dan propaganda bahwa perdamaian tak mungkin terjadi. Kami harus menang dan menawarkan agenda baru,” tambahnya.

Sumber utama donasi untuk desa berasal dari Inggris, Swiss, Swedia, dan Amerika Serikat. Jika RUU disahkan, hampir seluruh program pendidikan di desa itu terancam tutup.

“Kalau ini terjadi, kami akan berada dalam kesulitan besar,” ungkap Sharon.

Desa ini pernah mengalami tiga kali serangan dari pemukim ekstremis, termasuk dua aksi pembakaran pada 2021 yang merusak sekolah perdamaian dan perpustakaan. Namun, warga berhasil membangun kembali semuanya.

Baca: Pendeta Yahudi: Tingkah Israel Sangat Menjijikkan

Kehidupan di desa berlangsung dalam semangat kebersamaan, tanpa sinagoge maupun masjid. Tempat ibadah digantikan Court of Silence.

Warga mengambil keputusan melalui rapat, berbagi makanan, dan mengenang pahlawan kemanusiaan di Garden of Rescuers. Anak-anak dari desa sekitar juga ikut bersekolah di sana.

Gagasan damai ini pun mendapat dukungan dari Co-operative Group. Direktur kebijakan mereka, Paul Gerrard, menyebut desa itu sebagai contoh nyata bahwa melalui kerja sama, masyarakat bisa bertahan dan berkembang.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.