Ikhbar.com: Perpecahan pandangan politik dalam keluarga Yahudi kian meruncing sejak agresi Israel ke Gaza yang menewaskan lebih dari 61.700 orang Palestina.
Aktivis pro-Palestina berusia 56 tahun asal Wina, Dalia Sarig, menjadi salah satu contohnya.
Setelah tampil di televisi untuk mengecam kekerasan Israel, ia diputus hubungan oleh ayahnya dengan berkata, “Bagi saya, dia sudah mati,” dan ibunya menyebutnya “pengkhianat”.
Baca: Sejarawan Israel: Zionisme di Ambang Keruntuhan
Sarig dibesarkan dalam keluarga penganut Zionisme, dan semula mengikuti ideologi tersebut hingga akhirnya berubah pikiran saat kuliah di Universitas Haifa, dan mengenal langsung sejarah pengusiran warga Palestina.
Ia kemudian melepaskan kewarganegaraan Israel pada 2015 sebagai bentuk protes.
“Saya kehilangan komunitas Yahudi saya karena dianggap aneh atau bahkan pengkhianat,” kata Sarig, dikutip dari Al Jazeera, pada Ahad, 25 Mei 2025.
Fenomena serupa dialami musisi Yahudi kelahiran Israel yang kini tinggal di Denmark, Jonathan Ofir.
Ia mulai mengkritik Zionisme secara terbuka sejak 2014, tetapi keluarganya memilih bungkam agar tidak mengakui pandangannya.
Baca: Warga Yahudi AS Sebut Menteri Israel ‘Penjahat Perang’
Sementara itu, warga Belanda berdarah Afrika Selatan, Daniel Friedman, mengaku hubungan dengan ibunya memburuk karena perbedaan pandangan soal genosida di Gaza.
Menurut peneliti saraf dari Universitas Oxford, Faissal Sharif, isolasi sosial akibat konflik ideologis semacam ini berdampak langsung pada kesehatan mental karena “rasa sakit sosial” bekerja mirip dengan rasa sakit fisik dalam otak.
Meski menyakitkan, banyak dari mereka yang bersuara tetap bertahan dengan keyakinan moralnya.