Ikhbar.com: Seorang Muslim diwajibkan untuk tetap menjalankan salat di mana pun dan dalam kondisi seperti apapun, termasuk ketika berperang. Ketika sedang terjebak saat kondisi itu, umat Islam bisa tetap melaksanakan kewajibannya dengan metode salat khauf.
Dalil yang dinilai menjadi landasan salat khauf terdapat pada QS. An-Nisa: 102. Allah Swt berfirman:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَك
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu.”
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azim menjelaskan, QS. An-Nisa: 102 turun ketika dalam kondisi peperangan di ‘Asfan. Saat itu, pasukan Rasulullah Muhammad Saw tengah menghadapi pasukan Khalid bin Walid yang kala itu belum masuk Islam dan masih berpihak pada kafir Quraisy.
Kala itu, Rasulullah tengah melaksanakan salat di siang hari, sedangkan posisi musuh berada tepat di arah kiblat.
“Melihat hal itu, pihak musuh menganggap kondisi pasukan Muslim sedang lengah karena sedang melaksanakan ibadah salat. Menurut mereka, salat adalah ritual yang lebih mereka cintai daripada anak-anak dan jiwa mereka sendiri,” tulis Imam Ibnu Katsir.
Kemudian, turunlah QS. An-Nisa: 102 sebelum waktu Salat Asar tiba. Setelah itu, umat Muslim mulai salat dengan menggunakan tata cara khauf.
Baca: Belajar dari Gaza, Begini Cara Pasukan Muslim Salat di Tengah Kecamuk Perang
Salat dan senjata
KH. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menegaskan, ayat tersebut memberikan petunjuk mengenai salat khauf atau salat saat dalam kondisi berperang.
Menurut Buya Hamka, ayat itu menganjurkan umat Islam agar selalu membawa senjata sekalipun saat salat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Abdurrahman bin Auf dikisahkan pernah mengalami luka-luka dalam suatu peperangan dan diperbolehkan oleh Rasulullah untuk melepaskan senjatanya karena ia tak mampu memegangnya, tetapi ia harus tetap waspada terhadap kemungkinan serangan musuh.
“Jadi, penting untuk menjaga keseimbangan antara ketaatan dalam beribadah kepada Allah dengan kesiapan terhadap ancaman musuh. Kedua aspek tersebut harus dijaga dengan seimbang,” katanya.
Lebih lanjut, Buya Hamka menjelaskan, ayat tersebut juga menunjukkan bahwa Allah Swt telah menyiapkan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir atau musuh Islam.
Sependapat, ulama ahli tafsir Al-Qur’an, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menguraikan bahwa QS. An-Nisa: 102 membahas mengenai salat dalam keadaan gawat yang pernah dilakukan Rasulullah Saw dalam beberapa kesempatan.
“Beberapa riwayat mengenai tata cara salat dalam situasi gawat banyak ditemukan. Nabi Muhammad Saw melakukan salat dalam situasi gawat tidak kurang dari 10 tempat. Bahkan Ibn Al-Arabi menyatakan bahwa Nabi Saw melakukannya sebanyak 24 kali,” jelas Prof. Quraish.
Ia mengatakan, mayoritas ulama berpendapat bahwa Imam melaksanakan salat dengan setiap kelompok satu rakaat. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai cara pembagiannya dan kapan Imam harus salam, apakah setelah kedua kelompok selesai salat atau setelah kelompok pertama selesai.
Baca: Jaminan Keselamatan Tawanan Perang dalam Islam
Ikhtiar menjaga keselamatan
Sementara itu, Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan, di dalam ayat tersebut terkandung dalil keharusan untuk selalu berikhtiar dan mengusahakan sebab-akibat untuk mencapai keselamatan tanpa meninggalkan bentuk-bentuk spiritualitas ibadah yang wajib.
“Hal ini menandakan bahwa salat adalah kewajiban dalam bentuk permanen yang tidak boleh ditinggalkan dalam berbagai kondisi,” jelasnya.
Akan tetapi, kata dia, dalam kasus atau konteks ayat tersebut menunjukan bahwa salat dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk sesuai dengan konteksnya.
Syekh Abdullah bin Muhammad dalam Lubabbut Tafsir menjelaskan, salat khauf mempunyai banyak cara. Terkadang musuh berada di arah kiblat dan terkadang arah sebaliknya.
“Salatnya terkadang empat rakaat, terkadang tiga rakaat seperti salat Maghrib dan dua rakaat seperti Salat Subuh atau salat safar,” katanya.
Menurutnya, sebagian ulama berpendapat bahwa salat khauf hanya satu rakaat. Ada pula yang membolehkan menta’khirkan salat karena udzur perang.
“Hal itu sebagaimana Nabi Saw mengakhirkan Salat Zuhur dan Asar pada Perang Ahzab. Saat itu beliau salat setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu, Salat Maghrib dan Isya,” katanya.