Mengapa Pesantren Perlu Terhubung dengan Jaringan Global?

“Semakin sering kita berinteraksi dengan orang-orang yang beragam, semakin banyak ide yang bisa dikembangkan,” ujar Gus Abe.
Ilustrasi seorang santri sedang menatap masa depan dunia global. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: H. M. Abdullah Syukri—akrab disapa Gus Abe—tidak sekadar tumbuh di lingkungan pesantren. Ketua Pimpinan Pusat (PP) GP Ansor ini memiliki rekam jejak panjang menempuh pendidikan dan pengalaman lintas benua, mulai dari Malang, Jawa Timur, hingga Jerman, bahkan kerap kali terlibat dalam forum di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS).

Pengalaman internasional itu diyakininya penting untuk memperluas wawasan santri sekaligus menguatkan peran pesantren di kancah global.

“Di luar sana, orang semakin bebas berpikir, tetapi mereka juga menghargai perbedaan. Semakin sering kita berinteraksi dengan orang-orang yang beragam, semakin banyak ide yang bisa dikembangkan,” ujarnya dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertema “Segudang Ide Gus Abe” di Ikhbar TV, dikutip pada Senin, 11 Agustus 2025.

Baca: Gus Abe: Santri Harus Kembalikan Medsos Sesuai Khitah

Menurutnya, pesantren harus mempersiapkan santri bukan hanya sebagai ahli agama.

“Tetapi juga sebagai pribadi yang mampu beradaptasi dan berperan dalam percaturan geopolitik global,” ujar putra salah satu pengasuh Pondok Pesantren Buntet Cirebon, Jawa Barat, KH Hasanuddin Kriyani tersebut.

Tangkapan layar Gus Abe (kanan) saat menjadi narasumber dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertema “Segudang Ide Gus Abe” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Menjawab tantangan citra Islam Indonesia

Bagi Gus Abe, keterlibatan pesantren di forum-forum internasional adalah langkah strategis untuk menjaga citra Islam Indonesia sebagai agama yang ramah dan moderat.

“Negara-negara OKI (Organisasi Kerjasama Islam) sudah melihat Islam Indonesia sebagai sesuatu yang patut dipelajari. Namun, di negara-negara yang belum mengenal Islam, ini pekerjaan berat. Kita harus lebih banyak terlibat,” katanya.

Mantan Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar (PB) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini menegaskan, dalam konteks global, pesantren memiliki keunikan yang jarang dimiliki negara lain: perpaduan penguasaan ilmu agama, kearifan budaya lokal, dan komitmen terhadap keberagaman.

“Keunikan ini harus menjadi bahan kampanye diplomasi kultural Indonesia,” katanya.

Baca: 9 Tokoh Muda NU Paling Berpengaruh 2024 versi Ikhbar.com

Memperbanyak agen global NU

Gus Abe menilai tantangan terbesarnya adalah terbatasnya jumlah “agen global” yang mampu membawa misi NU dan pesantren ke panggung dunia.

“Kita perlu memperbanyak kader yang bisa bergaul dengan orang-orang di luar lingkaran utama. Jangan hanya bertemu dengan sesama Muslim dari Timur Tengah. Perlu memperluas jaringan,” ungkapnya.

Sosok yang juga tercatat sebagai salah satu Tokoh Muda NU Berpengaruh Tahun 2024 versi Ikhbar.com itu menyebut, banyak santri telah menempuh pendidikan di luar negeri, baik di Timur Tengah maupun di Barat. Namun, dibutuhkan langkah sistematis untuk mengonsolidasikan peran mereka.

“Yang kurang maksimal hari ini adalah kampanye. Konten kita harus lebih banyak diterjemahkan ke bahasa Inggris, Arab, dan bahasa internasional lainnya,” tambahnya.

Baca: 5 Tips Memperkuat Networking untuk Anak Muda Muslim

Strategi kampanye internasional

Pengalaman Gus Abe, mulai dari forum bisnis di China hingga pertemuan di AS, menunjukkan bahwa dunia luar tertarik pada dua hal: kemampuan Indonesia merawat keberagaman dan konsistensi pemudanya dalam berkontribusi di masyarakat.

“Mereka melihat kita berasal dari berbagai kelompok profesi, tetapi bisa berada dalam satu rumah yang sama. Itu sesuatu yang istimewa di mata mereka,” jelasnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa pengakuan dari luar negeri tidak selalu berbanding lurus dengan pandangan di dalam negeri.

“Kadang kita dianggap biasa saja di dalam negeri, padahal di luar kita mendapat apresiasi tinggi,” ujarnya.

Kondisi ini, menurutnya, menuntut pesantren membangun narasi positif tidak hanya untuk publik internasional, tetapi juga untuk masyarakat Indonesia.

Baca: Bukan Gagap Teknologi, Ini Nilai Jual Pesantren yang Penting Diadaptasi

Menjaga ruh pesantren di tengah modernisasi

Keterbukaan terhadap dunia luar, menurut Gus Abe, tidak berarti mengorbankan nilai-nilai pesantren.

“Ruh pesantren harus tetap dijaga. Mengaji kitab kuning, berpegang pada mazhab Ahlussunnah wal Jamaah, dan menjaga sanad ilmu tetap menjadi dasar,” tegasnya.

Alumni pascasarjana di Institute of Political Science University of Duisburg Essen, Jerman itu menilai modernisasi dapat dilakukan dengan membuka cabang atau mendirikan pesantren baru yang fokus pada pengembangan sains dan teknologi, tanpa mengubah pesantren induk yang mempertahankan tradisi.

“Kalau (Pesantren) Lirboyo salaf, ya pertahankan. Untuk inovasi, buat pesantren baru dengan ruh yang sama,” tuturnya.

Bagi Gus Abe, masa depan pesantren tidak hanya ditentukan oleh kemampuan bertahan di tengah arus global, tetapi juga oleh keberanian menempatkan santri sebagai aktor utama diplomasi kultural dunia.

“Masa depan Indonesia ada di tangan generasi kita. Persiapkan diri dari sekarang,” pungkasnya.

Obrolan selengkapnya bisa disimak di:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.