Ikhbar.com: Banyak yang memilih mengajar karena alasan ekonomi. Namun, bagi KH Ahmad Nahdi bin Ja’far (BJ), Dewan Pimpinan Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat, jalan hidup seorang santri sejati tak boleh ditentukan oleh kebutuhan materi.
Dalam perhelatan Khatmil Qur’an dan Juz ‘Amma Madrasah Murattilil Qur’an (MMQ) Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, pada Jumat, 27 Juni 2025 lalu, sosok yang akrab disapa Gus Nahdi itu menyampaikan pandangannya secara lugas, yakni seorang kiai harus memiliki penghasilan sendiri agar tetap ikhlas dalam mengajar dan mengabdi.
Dengan nada santai tetapi tegas, Gus Nahdi menekankan bahwa kiai atau alumni pesantren yang mengajar semata karena menunggu “tanggal muda” akan sulit menjaga ketulusan niat. Ia menyebut kondisi ini sebagai jebakan bagi santri yang tidak memiliki kasab—penghidupan mandiri.
“Kalau alumni enggak punya kasab, nanti ngajar-nya nunggu tanggal muda, nunggu bisyarah (honor),” ucapnya, disambut gelak ringan para hadirin.
Baca: Jangan Setengah Jalan, Ini Kewajiban saat Belajar Baca Al-Qur’an
Menurutnya, ajaran para masyayikh (para kiai) terdahulu sudah jelas, pantang berharap keuntungan dari santri. Para guru zaman dulu mengajar karena mengharap rida Allah Swt, bukan demi bisyarah. Mereka mampu menjaga ketulusan karena memiliki pekerjaan atau sawah yang menopang kebutuhan hidup sehari-hari.
“Apa dikira kiai ora duwe kasab (tidak punya pekerjaan)? Ya duwe (ya punya). Tapi sing (yang) garap santri,” ujarnya berseloroh, menegaskan bahwa ketulusan tumbuh dari kemandirian ekonomi.
Gus Nahdi tidak sekadar sedang mengkritik. Ia juga menawarkan solusi. Menurutnya, alumni pesantren tidak perlu gengsi bekerja apa saja—berjualan pulsa, berdagang kecil-kecilan, hingga kerja lepas—asal tetap menyempatkan diri untuk nasyrul ‘ilmi (menyebarkan ilmu).
“Kerja dulu, ngajar sambil jalan. Jangan sampai berhenti. Kalau ilmunya mandek, maka berkembang pun tidak,” katanya.
Bagi alumni yang belum merasa cakap dalam membaca atau mengajar kitab, Gus Nahdi menyarankan agar tidak terlalu khawatir. Ia mengutip pepatah para kiai terdahulu bahwa rasa malu bisa diatasi dengan cara sederhana.
“Kalau isin (malu), ya ditutupi kitabnya. Pakai yang ada maknanya,” jelasnya, sambil mencontohkan santri yang membaca kitab bermakna Jawa agar tidak terlihat bingung di depan murid.
Baca: 5 Keuntungan Mondok di Pesantren Ketitang Cirebon
Ia juga menyinggung fenomena alumni yang menunggu menjadi “sempurna” sebelum berani mengajar. Menurutnya, sikap semacam itu justru keliru. Sebab, proses mengajar adalah bagian dari proses belajar lanjutan itu sendiri.
“Jangan tunggu jadi ahli dulu. Baca yang kamu bisa. Yang penting jangan berhenti menyebarkan ilmu,” tegasnya.
Menutup pesannya, Gus Nahdi mengingatkan bahwa mengajar bukan semata profesi, melainkan misi ruhaniyah yang menuntut ketekunan, integritas, dan kesungguhan batin. Maka syarat utama menjadi kiai adalah memiliki kemandirian, bukan ketergantungan.
Ia menegaskan kembali bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang pembentukan mental dan kemandirian. Alumni yang memiliki kasab, katanya, akan lebih mudah menjaga keikhlasan. Sebab, ilmu yang disampaikan tidak dibarter dengan imbalan, melainkan ditunaikan sebagai amanah.