Ikhbar.com: Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) kini menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah gerakan keulamaan di Indonesia. Sayangnya, masih banyak kalangan yang belum tahu terkait sejarah lahirnya gerakan ini.
Penulis, pemikir, sekaligus Founder Mubadalah.id, Dr. KH Faqihuddin Abdul Kodir mengungkapkan bahwa KUPI lahir bukan hanya dari gagasan besar yang terencana, tetapi juga dari kegelisahan dan rasa kurang percaya diri di kalangan perempuan pesantren.
Pernyataan tersebut disampaikan sosok yang akrab disapa Kiai Faqih itu dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Membedah Dakwah Mubadalah.”
“Perempuan yang berakhlak banyak, perempuan yang berilmu banyak, perempuan yang punya pesantren banyak, perempuan yang hafizah banyak, perempuan yang lulusan Timur Tengah banyak, perempuan yang profesor banyak. Ini namanya apa kalau bukan ulama?” ungkap penulis Qira’ah Mubadalah (2021) itu, sebagaimana ditayangkan di Ikhbar TV, dikutip pada Rabu, 28 Mei 2025.

Baca: Definisi ‘Salihah’ hingga ‘Ulama’ dalam Kamus Mubadalah
Di balik layar
Sosok yang juga mengemban amanat sebagai anggota Majelis Musyawarah KUPI itu mengeklaim bahwa saat ini banyak perempuan yang secara keilmuan dan sosial sudah menjalankan peran keulamaan, tetapi budaya patriarkal membuat mereka ragu untuk tampil. Bahkan, kata dia, gelar “nyai” yang secara kultural disematkan pada istri kiai tidak selalu mencerminkan kapasitas keulamaan.
“Perempuan hafal Qur’an tetap jadi istri kiai. Laki-laki belum hafal Qur’an, asal anak kiai, langsung jadi kiai,” ujarnya.
Mulanya, lanjut Kiai Faqih, KUPI bukan ditujukan kepada publik atau media, melainkan untuk kalangan internal.
“Awalnya itu ke dalam, bukan keluar. Kita ingin meyakinkan diri kita terlebih dahulu,” tegasnya.
Menurutnya, kondisi saat itu menggambarkan rendahnya pengakuan terhadap keulamaan perempuan. Bahkan ada ungkapan, “Kami semua bukan ulama. Yang ulama itu Kiai Husein Muhammad (ulama karismatik pendorong keadilan gender) saja. Kami temannya ulama,” kelakar Kiai Faqih.
“Padahal, secara kapasitas mereka sangat layak disebut ulama,” sambungnya.
Secara lebih mendalam, Kiai Faqih juga membedakan antara istilah perempuan ulama dan ulama perempuan.
“Kalau perempuan ulama itu jenis kelamin. Tapi ulama perempuan itu orang-orang yang punya kapasitas keilmuan, akhlak, dan sadar dengan problem yang dihadapi perempuan,” ujarnya.
Baca: Sejarah yang Hilang, Pentingnya Pengarusutamaan Peran Ulama Perempuan

Kekuatan baru
Kini, KUPI berkembang menjadi gerakan yang bukan hanya mengangkat nama, tapi juga melahirkan ekosistem baru dalam dakwah dan pendidikan Islam. Dari sana lahir berbagai gerakan berkelanjutan.
“Kita punya JP3M atau Jaringan Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballighah. Itu sudah banyak belajar sama saya, Kiai Husein, dan juga Nawaning,” jelasnya.
Selain JP3M, Kiai Faqih juga menyebut hadirnya Kupipedia.id, yakni sebuah platform ensiklopedia yang mencatat kiprah para ulama perempuan dari berbagai daerah. Ia juga menyebut banyaknya perempuan yang kini yang berani tampil mengkaji berbagai cabang kitab-kitab klasik.
“Kalau ngaji tadarus Ramadan itu sekarang banyak perempuan yang bisa baca Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Jalalain, dan itu semua karena ada ruang. Sekarang mereka punya kepercayaan diri,” tegasnya.
KUPI kini telah dikenal secara luas, bahkan menjadi perhatian di tingkat internasional. Tapi yang paling penting bagi Kiai Faqih adalah bagaimana gerakan ini mengubah cara pandang internal umat Islam terhadap keulamaan perempuan.
“Kita masuk surga bukan karena jenis kelamin, tapi karena iman dan amal saleh. Maka ulama perempuan harus dihitung, harus diapresiasi, sebagaimana ulama laki-laki,” katanya.
Menurutnya, KUPI telah menjadi fenomena unik karena berhasil memadukan tiga hal, yakni tradisi pesantren, perspektif keadilan gender, dan kesadaran sosial-keagamaan.
“Negara lain belum bisa bikin kongres ulama perempuan karena ekosistemnya belum ada. Sementara Indonesia punya tradisi pesantren yang kuat dan terbuka pada perubahan,” tandasnya.