Ikhbar.com: “Dan kematian, keniscayaan.” Itulah barangkali kesimpulan pesan yang disampaikan grup band Efek Rumah Kaca (ERK) dalam sebuah lagu berjudul “Putih.” Singel yang termaktub dalam album “Sinestesia (2015)” ini ternyata cukup menarik banyak pihak untuk menyelami makna bait per baitnya yang dinilai sangat bernuansa keislaman.
Vokalis sekaligus pentolan ERK, Cholil Mahmud menceritakan, proses kreatif di dalam album tersebut, terutama untuk tembang yang bertajuk “Putih” merupakan jawaban atas sebuah tantangan yang hadir. Yakni, sebabak upaya untuk melahirkan karya yang cukup berbeda ketimbang dua album yang sudah diluncurkan sebelumnya.
“Biasanya kami membuat lagu dengan format yang lebih simpel dan struktur yang sederhana. Di dua album yang sebelumnya, lagunya masih dengan tipikal standar durasi tiga sampai empat menitan,” katanya, dalam diskusi Musik Sufistik: Bedah Lirik “Putih” Efek Rumah Kaca, di Panggung Utama Arena Pekan Raya Cirebon (PRC), Watubelah, Sumber, Cirebon, Ahad, 5 November 2023, malam.
Diskusi tersebut merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2023, hasil kolaborasi Ikhbar.com, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon, dan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Kabupaten Cirebon.
“Tetapi di album Sinestesia kami menantang diri untuk membuat lagu yang lebih kompleks dan dengan durasi yang cukup panjang, tapi diupayakan tetap ringan didengar,” ungkapnya.
Lagu “Putih” berdurasi 09:46 menit untuk versi album dan 09:48 format unduh digital. Tembang ini memuat pesan tentang kematian sekaligus kelahiran dalam siklus hidup manusia.
“Putih sejatinya dua lagu yang digabung menjadi satu. Bagian pertama menggambarkan suasana kehilangan dan yang kedua bercerita tentang kebahagiaan,” katanya.
Baca: Kitab Hikam al Hukama wa al Falasifah, Mahakarya Buya Husein Peredam Nafsu dan Amarah
Berbasis pengalaman masa kecil
Cholil mengaku, lagu itu terinspirasi dari segala pengalaman yang ia peroleh pada masa anak-anak. Ide penciptaan karya tersebut terpantik dari kenangan masa kecil yang begitu dekat dengan tradisi tahlilan yang secara guyub digelar warga ketika ada seseorang yang meninggal dunia.
Saat kematian datang
Aku berbaring dalam mobil ambulans Dengar, pembicaraan tentang pemakaman
Dan takdirku menjelang
Sirene berlarian sahut-sahutan Tegang, membuka jalan menuju Tuhan
Akhirnya aku usai juga.
Saat berkunjung ke rumah
Menengok ke kamar ke ruang tengah Hangat, menghirup bau masakan kesukaan
Dan tahlilan dimulai
Doa bertaburan terkadang tangis terdengar
Akupun ikut tersedu sedan
Akhirnya aku usai juga
Oh, kini aku lengkap sudah

“Waktu kecil, saya sering mendengar kiai atau ustaz yang menceritakan bahwa orang yang sudah meninggal itu rohnya tidak langsung terangkat. Ia masih sempat melihat apa yang terjadi di dunia nyata. Itu pengetahuan yang kemudian saya ekspresikan melalui lagu tersebut, katanya.
Menurut Cholil, lagu lain yang cukup terpengaruh dari pengalaman keberagamaan di masa lampau adalah singel berjudul “Debu-Debu Berterbangan” dalam album pertama, serta “Kuning” yang juga termuat pada album Sinestesia.
“Debu-Debu Berterbangan itu terinspirasi ketika masih sekolah di madrasah yang setiap harinya membaca QS. Al-Ashr. Sementara dalam lagu ‘Kuning‘ ada saripati hadis yang menceritakan tentang jarak matahari yang hanya sejengkal dari kepala,” ungkap Cholil.
Baca: Para Santri di Zaman Nabi
Bukan hal mudah
Sementara itu, pemerhati isu sosial dan pengajar sosiologi agama di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati, Wakhit Hasim mengatakan, lagu-lagu yang dipersembahkan ERK mengandung nilai-nilai sufistik yang tinggi karena memang digodok melalui proses yang serius, panjang, dan mendalam.
Ditambah lagi, lanjut Wakhit, memasukkan tema kematian dalam sebuah karya bukanlah perkara gampang.
Wakhit mengatakan, hal itu pun terungkap dalam penggalan lirik paling alhir pada lagu “Putih.”
Tentang akal dan hati
Rahasianya yang penuh teka-teki
Tentang nalar dan iman
Segala pertanyaan tak kunjung terpecahkan
Dan tentang kebenaran
Juga kejujuran
Tak kan mati kekeringan
Esok kan bermekaran
“Di bait ini ada semacam refleksi, tadabur, tafakur, atau muhasabah bahwa kematian dan kehidupan bukan hal yang bisa dipahami dengan mudah,” katanya.
Menurutnya, tema kematian adalah media permenungan paling besar sehingga dalam sejarahnya mampu melahirkan banyak peradaban di dunia. Sejak mulanya, manusia selalu diasah untuk berpikir mengapa manusia memiliki roh, sesuatu yang tidak dapat dilihat, tetapi bisa dirasakan.
“Jadi, membahas kematian berarti mengulang seluruh peradaban. Ini yang sangat luar biasa menurut saya,” katanya.