Ikhbar.com: Istilah generasi z alias gen z menjadi kian populer untuk menandakan anak-anak berdasarkan tahun kelahiran antara 1995–2010 atau 1997–2013. Bahkan, tidak sedikit orang bukan hanya menjadikan gen z sebagai sebutan dalam pembabakan generasi, melainkan karakter.
Founder Griya Jiva Pranacitra, Jakarta, Dr. Ny. Hj Rihab Said Aqil menegaskan, penyematan karakter yang terkesan digeneralisir itu belum tentu sepenuhnya benar.
“Apalagi, mereka (gen z) cenderung dicap dengan karakter dan sifat-sifat negatif. Misalnya, generasi mager (malas gerak) atau manja. Itu tentu tidak benar,” katanya, dalam Hiwar Ikhbar #15 bertema “Membaca Mental Health dalam Kamus Gen-Z” pada Sabtu, 7 Oktober 2023.
“Kalau soal mager, yang generasi milenial pun barangkali banyak yang berkarakter seperti itu. Sebab, itu bukan pengaruh tahun kelahiran, tapi bisa jadi ketidaksiapan kita dalam menghadapi kemajuan teknologi,” sambung dia.
Baca: Gen Z Jadi Penentu Pemilu 2024, Ini Pengaruh Anak Muda Menurut Al-Qur’an
Pengaruh teknologi
Menurut penyandang gelar doktor bidang konsentrasi Psikologi Islam tersebut, perkembangan teknologi memberi dampak dan pengaruh bagi keseluruhan generasi umat manusia. Oleh karenanya, stigma-stigma miring yang biasa disasarkan kepada gen-z merupakan dampak dari perkembangan teknologi yang bisa juga menyerang orang-orang dengan usia yang dianggap sudah lebih dewasa.
“Sederhanya, persoalan ini dimulai dari kecenderungan gawai yang sudah tidak bisa lagi lepas dari tangan kita. Perkembangan teknologi di sepanjang sejarahnya memang memberi banyak pengaruh terhadap perilaku dan gaya hidup manusia,” katanya.
Selain itu, gen z juga sering dilabeli sebagai generasi yang impulsif dan fear of missing out (FOMO) atau sebuah perasaan takut ketinggalan tren. Begitu juga, gen z kerap dicap sebagai generasi dengan karakter apatis dan tidak mau tahu.
“Lagi-lagi, ini bukan hanya problem gen z, tetapi manusia dewasa lainnya pun berpotensi memiliki karakter yang serupa,” kata putri ulama karismatik, Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj tersebut.
Namun, menurut Nyai Rihab, banyak riset justru menunjukkan bahwa gen z merupakan generasi yang cenderung memiliki karakter kreatif, kritis, dan mandiri. Hal itu memungkinkan terjadi karena mereka sedang memasuki usia produktif.
“Kan dalam kacamata psikologis, manusia itu berkembang dari tahap anak-anak, pubertas (balig), dewasa awal, dewasa tengah atau madya, dan dewasa akhir atau lanjut usia (lansia). Nah gen-z sekarang ini masuk ke level dewasa awal yang lazimnya memasuki usia produktif,” katanya.
Baca: Pengaruh Iman dan Moral terhadap Kesehatan Mental
Transmisi nilai luhur
Di sisi lain, gen z juga memiliki watak dan kepribadian yang percaya diri dan independen. Dalam dunia kerja, misalnya, mereka dicap sebagai angkatan kerja yang lebih ingin terjun dalam perusahaan dengan waktu produksi yang fleksibel.
“Padahal, mereka juga multitasking (punya banyak kemampuan). Mereka juga akan sangat senang ketika diberi motivasi oleh atasannya,” kata Nyai Rihab.
“Tapi, itu semua karena proses. Usia-usia di level itu memang sedang bertumbuh dan berkembang. Ketika gen z telah melewati usia 30 tahunan, misalnya, mereka pun akan mampu beradaptasi,” tambahnya.
Bagi angkatan di atas gen z, Nyai Rihab menyarankan untuk menyetop labeling-labeling negatif kepada mereka. Yang perlu dilakukan adalah mentransmisikan tradisi dan nilai-nilai luhur yang telah turut membentuk karakter orang-orang dewasa kepada gen z secara lembut dan sederhana.
“Tradisi luhur jangan sampai putus. Ceritakan secara ringan tentang perjuangan-perjuangan orang-orang di masa lalu, tentang sopan santun, cinta Tanah Air, dan sejenisnya. Dampingi, diskusikan, dan ceritakan kepada mereka dengan cara yang simpel,” kata dia.