Ikhbar.com: Kucing menjadi hewan yang telah dianggap berbeda sejak masa lampau. Binatang berkumis jarang itu sempat diimani sebagai satwa suci setara dewa oleh kaum pagan, hingga makhluk jahat pembawa kesialan masyarakat abad pertengahan.
Di Eropa, kucing pernah diyakini sebagai makhluk yang telah bersekutu dengan setan. Akibat tudingan itu, hewan berbulu halus tersebut banyak yang dibakar, disiksa, dan dibunuh dengan berbagai cara yang sadis. Terutama, ketika wabah Black Death menewaskan dua pertiga populasi benua biru itu pada tahun 1347–1351.
Sementara dalam budaya Islam, kucing begitu dihormati, disayangi, dan diperlakukan dengan penuh pengertian. Nasib baik kucing terlihat sejak masa kenabian Rasulullah Muhammad Saw lewat kisah-kisah Abu Hurairah, hingga sejumlah tradisi yang masih terawat dengan baik.
Menjalankan pesan Nabi
Orientalis Jerman yang banyak meneliti tentang Islam dan sufisme, Annemarie Schimmel, dalam Cats of Cairo: Egypt’s Enduring Legacy (2000) menyatakan kekagumannya terhadap perlakuan masyarakat Muslim terhadap kucing, terutama di Mesir.
“Setiap sore, banyak kucing berkumpul di taman Pengadilan Tinggi dan orang-orang yang datang membawa keranjang berisi makanan untuk mereka. Hal ini meneruskan tradisi yang pernah dilakukan para qadi (hakim) sejak masa pemerintahan Sultan Mamluk Al-Zahir Baybars pada abad ke-13,” katanya, dikutip pada Kamis, 24 Agustus 2023.
Raja penyayang satwa itu, lanjut Schimmel, menjuluki tempat tersebut sebagai taman kucing. Di lokasi itu, sebagian besar kucing di Kairo berkumpul untuk mendapatkan apa yang mereka ingini, terutama makanan-makanan yang layak dan bergizi.
“Seiring berjalannya waktu, tempat itu telah dijual secara estafet ke beberapa pemilik. Suasananya berubah dan telah terisi beberapa banguan. Namun, hukum menghormati kucing tetap berlaku di daerah tersebut demi menjaga wasiat sang sultan,” tulisnya.
Tidak sebatas itu, Schimmel menyebut, tradisi itu lantas menular ke luar Kairo. Budaya itu juga dengan mudah terlihat di Istanbul, Damaskus, dan banyak kota Muslim lainnya. Kucing-kucing akan tampak dengan bebas memenuhi jalanan dan rumah-rumah penduduk.
“Kami sering menemukan kucing di dalam masjid. Dan mereka dengan senang hati diterima bukan hanya karena bisa mengusir tikus. Tetapi karena orang-orang luhur di antara mereka, bahkan oleh Nabi Muhammad sendiri dianjurkan untuk menyayangi hewan lucu itu,” tulisnya, masih dalam buku yang sama.
Selain itu, telah masyhur di kalangan umat Islam bahwa salah satu sahabat Nabi yang bernama Abd Syams memiliki kecintaan luar biasa terhadap kucing. Akibat hobinya itu, ia pun mendapatkan julukan Abu Hurairah (ayah para kucing).
Sebelumnya, Nabi Saw mengganti nama Abd Syams menjadi Abdurrahman bin Sakhr. Namun, ketika Rasulullah memergokinya tengah merawat dan bermain-main bersama sejumlah kucing yang pernah ia pungut, Rasulullah pun menjulukinya dengan sebutan yang lekat hingga hari ini tersebut.
Rasulullah Saw juga mewanti-wanti umatnya agar tidak menelantarkan kucing. Nabi Saw bersabda:
“Ada seorang wanita disiksa karena masalah kucing yang ia kurung sampai mati kelaparan, sehingga menjadikan wanita tersebut masuk neraka. Kepada wanita itu, dikatakan ‘Kamu tidak memberinya makan, kamu juga tidak memberinya minum saat kau kurung dia, tidak pula kamu lepaskan sehingga dia bisa makan serangga.” (Muttafaq Alaih).
Baca: Kucing Kesayanganmu Hilang? Ini Doa ketika Hewan Peliharaan Lepas dari Kandang
Model seni hingga objek ilmu pengetahuan
Selain menghormati kucing karena terinspirasi amanat Rasulullah Saw, umat Islam, terlebih yang terlibat dalam kerja-kerja seni kerap menjadikan hewan mengeong itu sebagai objek untuk melukis.
Dalam Arts of the Islamic World: The Later Period (2015), manajer Columbia Museum of Art, Glenna Barlow mengatakan, para pelukis Muslim, khususnya ahli kaligrafi akan merasa sangat senang dan puas ketika dinilai berhasil menggoreskan kuasnya hingga mmebentuk seekor kucing, terutama di bagian bulu-bulunya yang terlihat lembut. Mereka biasanya memadukan warna-warna buram dengan rangkaian corak lain hingga terwujud dengan nilai yang luar biasa.
Selain bernilai seni, kucing juga tercatat dalam buku-buku sains ilmuwan Muslim abad pertengahan. Salah satunya adalah Al-Hayawan, karya Abu Usman Amr bin Bahr Al-Kinani Al-Basri, yang kemudian dikenal dengan Al-Jahiz.
Peneliti asal Istanbul, Mehemet Bayrakdar dalam Al-Jahiz and The Rise of Biological Evolutionism (2019) menyatakan, Al-Hayawan memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran ilmuwan Muslim lainnya, bahkan Eropa.
“Dan itu menjadi sumber untuk buku-buku selanjutnya tentang zoologi. Kalimat-kalimat Al-Jahiz banyak dikutip oleh Ikhwan Al-Safa, Ibnu Miskawaih, atau pun Zakariyya’ Al-Qazwini (1203-1282) dalam karyanya Aja’ib al-Makhluqat, Mustawfi al-Qazwini dalam Nuzkat al-Qulub, dan Al-Damiri dalam Hayat al-Hayawan,” tulisnya.
Baca: Mengenal Ismail Al-Jazari, Ilmuwan Muslim Pencipta Robot Pertama di Dunia
Al-Hayawan, lanjut Bayrakdar, juga menginspirasi para peneliti hingga saat ini. Misalnya, Profesor Bahasa dan Kebudayaan Arab Universitas Leiden, Belanda, R. Kruk yang pernah menyajikan perkuliahan di kampusnya dengan judul “Peta Kucing.”
Al-Hayawan tidak hanya berperan sebagai penggerak budaya bagi kemajuan penelitian ilmu pengetahuan modern di bidang zoologi, biologi, teori evolusi, kedokteran, kedokteran hewan, maupun anatomi, tetapi juga bertindak sebagai panduan yang mencerahkan seperti kebanyakan buku ilmiah Muslim awal lainnya.
“Contohnya adalah sebuah baris dari Al-Hayawan yang mengatakan bahwa kucing mendapatkan keuntungan besar dari kemiripannya dengan raja binatang sehingga salah satu cara untuk menghadapi gajah saat dijadikan kendaraan perang adalah dengan cara melepaskan sejumlah kucing dari dalam tas,” tulisnya.