Jalur Gaza dari Masa ke Masa

Menara Palestina di Jalur Gaza usai dibombardir rudal Israel. AP PHOTO/Adel Hana

Ikhbar.com: Gaza, bagian Palestina yang tersiksa. Tanah penderitaan dan perlawanan yang memiliki sejarah sangat panjang.

Begitulah cara seorang analis Timur Tengah, Gerald Butt, menggambarkan wilayah yang kini tengah menyedot perhatian dunia karena sedang dibombardir militer Israel dengan dalih membalas serangan kelompok militan Hamas.

Sejak Sabtu, 7 Oktober 2023, malam, Israel mengumumkan akan melakukan pengepungan total, memutus pasokan air, makanan, dan listrik di Gaza. Militer Israel telah melancarkan serangan dari udara dan laut hingga menewaskan 687 orang di wilayah yang menjadi rumah bagi 2,3 juta warga Palestina tersebut.

“Sejak beberapa dekade, jalur kecil di sepanjang pantai Mediterania antara Palestina dan Mesir ini menjadi lokus dalam pergolakan politik, perang, dan perlawanan warga,” tulis Butt, dalam Life at the Crossroads: A History of Gaza (1995), dikutip Selasa, 10 Oktober 2023.

Baca: Lebih dari 1.000 Orang Tewas, Ini Kronologi Perang Israel Vs Hamas

Penduduk asli Gaza

Lewat buku tersebut, Butt dinilai telah mampu memaparkan sejarah Gaza secara lebih komprehensif. Butt berhasil memberi pemahaman baru bagi masyarakat modern bahwa Gaza bukan sekadar kamp pengungsi terbesar dengan kondisi yang kumuh dan mengenaskan.

“Gaza, dulunya adalah sebuah negara kota yang kokoh yang selamat dari invasi tentara Mesir, Babilonia, Persia, Yunani, Roma, Israel, dan Bizantium, Arab, Seljuk, Mamluk, Turki, dan Tentara Salib,” katanya.

Menurut Butt, gelombang kedatangan orang-orang asing sempat turut mendorong perkembangan budaya dan teknologi di wilayah itu.

“Di bawah pemerintahan Yunani, Gaza memiliki sebuah perpustakaan yang besar. Di bawah Romawi, terdapat tradisi administrasi yang efisien dan beberapa bangunan yang bagus. Di bawah Bizantium, Gaza memiliki sebuah gereja besar yang dibangun Permaisuri Eudoxia, sekolah retorika, gedung forum, jalan-jalan dengan penuh tiang, dan sebuah dewan kota,” tulis Butt.

“Gaza adalah kota indah yang terkenal. Begitu kesaksian peziarah asal Italia yang mengunjungi Gaza pada tahun 570 M silam,” tulis dia.

Meski demikian, lanjut Butt, ada bekas ketidakadilan Barat dalam mengkarakterisasi warga Gaza. Ras Filistin, yang merupakan suku asli di Gaza mereka sebut sebagai masyarakat yang cuek dengan nilai-nilai kebudayaan.

“Karakterisasi yang salah ini mungkin diadopsi dari Perjanjian Lama, setelah terjadinya peperangan antara bangsa Filistin dan Ibrani,” ungkap dia.

Semestinya, Suku Filistin adalah penduduk pertama yang mendiami Gaza yang memulai kehidupan di pantai selatan dan timur Mediterania pada abad ke-12 SM dan menetap di Gaza pada 1175 SM.

“Peradaban orang Filistin lebih tinggi. Mereka biasa mengenakan setelan pakaian dan helm, mengendarai kereta, melebur besi, dan berdagang di pulau-pulau Aegea,” katanya.

Orang-orang inilah yang mendirikan lima negara kota di sepanjang pantai selatan Levantine dengan Gaza sebagai ibu kotanya.

“Meskipun diberi reputasi negatif, bahkan jahat dalam Perjanjian Lama, orang Filistin jelas lebih dekat dengan budaya,” tegas Butt.

Peta Palestina (1849). Dok HARPER

Mantan jurnalis BBC itu menyimpulkan, Gaza menjadi daerah yang kaya peradaban, setidaknya selama 2.000 tahun terakhir.

“Sampai kemudian ada pengaruh dari para penakluk dari Dinasti Seljuk yang menghancurkan wilayah tersebut secara luas sehingga tidak pernah pulih kembali,” katanya.

“Sejarah penting Gaza pada abad ke-20 dibahas pada masa mandat dan konflik dengan Israel. Puncaknya adalah intifada dan menonjolnya Gaza dalam perjuangan gerakan nasional Palestina untuk pemulihan kemerdekaan negara Palestina,” sambunf Butt.

Baca: Kian Akrab, Menteri Komunikasi Israel Kunjungi Arab Saudi

Perjalanan Gaza

Jalur Gaza menjadi salah satu kota tertua di dunia yang kerap diperebutkan banyak negara.

Mengutip Al-Arabiya, raja-raja dari Mesir menjadi di antara orang pertama yang memasuki Gaza, tepatnya mulai tahun 3235 hingga 664 SM. Letak geografis Gaza yang berada di antara Mesir, Jazirah Arab, dan Laut Mediterania membuatnya menjadi pusat perhatian banyak kerajaan di masa lalu.

“Tak heran jika Jalur Gaza kerap disebut sebagai Gerbang Mediterania,” tulis Al-Arabiya.

Setelah Mesir, Asyur menduduki Gaza pada 734 SM. Namun, banyak sejarawan berpendapat, tujuan pendudukan ini bukan untuk menguasai Gaza, melainkan demi mempermudah gerakan mereka menuju Libya dan Mesir.

Raja lain yang terpikat dengan posisi strategis Gaza adalah Nebukadnezar dari Babilonia. Mereka menduduki kota itu pada 568 SM dan bertujuan menaklukkan Mesir. Pada 332 SM, Alexander Agung yang membawa sejumlah besar orang Yunani masuk dan tinggal di Jalur Gaza sampai kedatangan Romawi pada 96 SM.

“Tentara Arab tercatat menaklukkan Gaza pada 13 Hijriah dan dianggap sebagai kota pertama di Palestina yang ditaklukkan Musilm,” tulis mereka.

Pemandangan dari Benteng Napoleon (Qasr el-Basha) yang terletak di pusat kota Gaza, sebuah bangunan batu megah yang berasal dari zaman Mamluk. Napoleon diyakini menghabiskan beberapa malam di sana dalam perjalanannya melewati kota pada tahun 1799. Dok THAQAFA

Di era modern, tepatnya pada 14 Mei 1948, Israel secara resmi mengumumkan kemerdekaan sekaligus menandai kembalinya negara Yahudi dalam 2.000 tahun terakhir. Satu hari kemudian, perang besar antara Israel dan Koalisi Arab (Yordania, Irak, Suriah, Mesir, Lebanon) tak terhindarkan. Usai perang, Mesir memegang kendali atas Jalur Gaza.

Mengutip laman History, akibat pendirian negara Israel tersebut, para ahli memperkirakan ada lebih dari 700.000 orang Palestina pergi atau terpaksa meninggalkan rumah mereka dan menetap di Jalur Gaza.

“Pada 1967, Israel merebut Jalur Gaza dari tangan Mesir setelah memenangi Perang Enam Hari bersama dengan beberapa wilayah lain, seperti Dataran Tinggi Golan dan Tepi Barat,” tulis mereka.

Kesepakatan Perdamaian Oslo 1993 dan 1995 antara para pemimpin Palestina dan Israel merundingkan penarikan Israel dari Gaza dan daerah-daerah penting lainnya. Israel pun menarik diri dari Gaza pada 2005 di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon.

Pada 2006, Kelompok Hamas memenangkan pemilihan dan menguasai Gaza. Sejak saat itu, wilayah tersebut kerap menjadi medan pertempuran antara Hamas dan Israel. Sejumlah perang besar antara keduanya tercatat meletup pada 2008, 2012, 2014, dan teranyar, ditandai dengan serangan “Badai Al-Aqsa” yang dilakukan Hamas dan dibalas Israel sejak Sabtu lalu.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.