Islam di Burundi, Negara Termiskin yang Populer di TikTok

Umat Muslim di Burundi sedang mendirikan salat. Dok ANADOLU Agency

Ikhbar.com: Video berisi kunjungan Presiden Burundi, Évariste Ndayishimiye, kerap muncul di halaman “For Your Page” (FYP) atau beranda platform TikTok. Algoritma salah satu media sosial yang kini paling digandrungi itu mendeteksi tayangan-tayangan tersebut sebagai sesuatu yang unik.

Lawatan kenegaraan yang biasanya tampak mewah dan mengagumkan, oleh Pemerintah Burundi ditampilkan sebagai pekerjaan yang tampak penuh dengan keterbatasan. Jumlah pengawal presiden yang bertugas selalu berubah-ubah lantaran harus disesuaikan dengan kesanggupan anggaran dan kapasitas pesawat yang disewa.

Selayaknya negara lain, Pemerintah Burundi sebelumnya memiliki pesawat kepresidenan khusus Gulfstream IV. Namun, pada 2015, pesawat tersebut dijual ke operator swasta demi menutupi kekurangan anggaran negara.

Baca: Sejarah dan Tumbuh Kembang Islam di Prancis

Negeri seribu masalah

Burundi adalah negara termiskin di dunia. Berdasarkan data Bank Dunia, pendapatan nasional bruto negara yang berada di Afrika Tengah itu hanya 270 dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp4 juta per tahun. Angka itu menjadikan Burundi sebagai negara berpendapatan terendah di dunia.

Sekitar 70% populasi Burundi hidup dalam kemiskinan. World Food Program (WFP) melaporkan, tingkat kerawanan pangan di negara yang berbatasan dengan Rwanda itu sangat mengkhawatirkan. Sebesar 52% anak di bawah lima tahun mengalami stunting. Selain itu, tingkat gizi buruk di Burundi juga cukup tinggi yang kebanyakan terjadi di masyarakat perdesaan.

Burundi diguncang perang saudara yang berlangsung selama belasan tahun. Konflik kekerasan secara berulang terjadi antara etnis Tutsi dan Hutu. Sejak merdeka pada 1962, kedua etnis tersebut sebenarnya sudah bersitegang. Namun, perang saudara benar-benar pecah pada 1994 dan membuat Burundi menjadi salah satu tempat dengan konflik paling keras di Afrika.

Selain itu, Burundi juga dicap sebagai negeri seribu masalah. Kelaparan, HIV/AIDS, kemiskinan, dan konflik etnis yang menewaskan ratusan ribu rakyat sipil adalah masalah besar yang tengah melilit negara itu.

Salah satu sudut kota di Burundi. AFP/Yasuyoshi Chiba

Baca: Menyapa Islam di Argentina

Populasi Muslim

Betapa pun hidup dalam kondisi memprihatinkan, masih ada secercah iman di Burundi. Meski dengan jumlah yang amat minoritas dan penuh dengan keterbatasan, keberadaan umat Muslim di negeri itu terus bertahan, bahkan sedikit demi sedikit berkembang.

Yayasan kemanusiaan berbasis di Turki, Insani Yardim Vakfi mengungkapkan bahwa pendidikan masih menjadi permasalahan signifikan di Burundi, terutama di kalangan umat Islam. Sedangkan pedidikan non-Islam lebih baik karena ditunjang berbagai bantuan dari para misionaris.

Kaum Muslim di Burundi sama sekali tidak memiliki dukungan yang signifikan dari dunia Islam di bidang tersebut. Karena itu, keberadaan sekolah Islam di negara seluas 27.834 km itu sangat sedikit. Jika pun ada, maka madrasah tersebut berdiri dengan kondisi yang serba-terbatas, seperti bangunan sekolah yang setengah jadi atau dibangun sekadarnya. Tidak hanya itu, jumlah buku ajar dan Al-Qur’an tidak sebanding dengan kebutuhan.

Oleh sebab itu, kebanyakan anak Muslim belajar di sekolah negeri dengan kurikulum pendidikan agama hanya membidik murid-murid Kristen. Selain sekolah negeri, mereka juga menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Katolik.

Seorang guru Bahasa Arab di Vrij Universiteit, Belgia, Xavier Luffin dalam artikel berjudul “Muslims in Burundi: Discretion and Neutrality (1999)” menuliskan, umat Islam Burundi memiliki hubungan dekat dengan Kiswahili, Bahasa Suku Bantu yang memiliki sejumlah kosakata penting dari Bahasa Arab. Jarang ditemukan Muslim Burundi yang tidak bisa berbicara bahasa ini. Karena itu, istilah “Swahili” sering digunakan untuk menyebut Muslim di Burundi.

Di Burundi, doa dan bacaan salat dilafalkan dalam Bahasa Arab sebagaimana pembacaan Al-Qur’an. Meski begitu, masih banyak pula warga Muslim yang membaca versi terjemahan dengan bahasa Kiswahili.

Pada akhir abad 20, Al-Qur’an di Burundi juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Kirundi, bahasa Resmi Burundi. Al-Qur’an berbahasa Kirundi itu juga dipublikasikan di Kenya yang bersumber dari dana Kerajaan Arab Saudi.

Pada masa yang sama, perpindahan agama ke Islam di Burundi meningkat. Luffin mengatakan, hal itu didasari kebutuhan mendasar atas spiritualitas pasca-tragedi konflik etnis pada 1993 dan 1995-1996.

Muslim Burundi kebanyakan tinggal di beberapa kota seperti Gitega, Rumonge, Nyanza, Muyinga, dan Makamba. Sedangkan komunitas Muslim terbesar ada di Bujumbura, ibu kota Burundi. Di kota ini, terdapat masjid utama dan Islamic Cultural Center Burundi yang dibangun Pemerintah Libya.

Muslim Burundi berasal dari suku dan bangsa yang beragam. Selain penduduk asli Burundi, mereka juga berasal dari Rwanda. Selain itu, ada pula Warabu (sebutan bagi pedagang Arab dan Oman yang telah tinggal di Burundi), serta Bahindi (orang-orang India dan Pakistan yang juga telah lama bermukim di Burundi).

Selain mereka, orang-orang Afrika Barat juga memasuki Burundi dalam beberapa dekade terakhir. Mereka adalah para pedagang dari Mali, Senegal, dan Pantai Gading yang datang untuk mengimpor pakaian dan kain atau bertransaksi emas yang ditambang dari Kongo. Banyak dari mereka kemudian meninggalkan Burundi saat konflik pecah pada 1993. Sisanya tetap tinggal dan membuka toko-toko kecil di pasar pusat atau di Bwiza.

Warga Burundi mengangkut korban tewas bentrokan di Bujumbura. Dok AP

Baca: Masjid Hangzhou, Madrasah Penyebaran Islam di Cina

Sejarah persebaran Islam

Masih berdasarkan catatan Luffin, dikisahkan bahwa Islam mula-mula diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan Swahili yang tiba di Burundi sejak awal abad 19, melalui Samudera Hindia melewati Ujiji (sekarang wilayah di Tanzania) untuk mencari gading dan juga budak.

Sekitar 1850, mereka membuat koloni di Uvira. Ujiji dan Uvira kemudian menjadi titik pertemuan para kafilah dan para pedagang (orang-orang Arab dan Afrika). Dari sana, mereka lalu mulai bertukar produk atau barang dagangan dengan Nyanza dan Rumonge, dua kota tepi danau di Burundi.

Sedikit demi sedikit, Islam mulai masuk ke Burundi. Tahun 1885, Gubernur Ujiji, Mohammed bin Khalfan memutuskan untuk memperluas kekuasaannya ke selatan dengan tujuan memperoleh lebih banyak gading dan budak belian. Bin Khalfan merupakan bagian dari Barwani, sebuah keluarga Oman yang masyhur dan telah bermukim di Afrika Timur.

Ia berkali-kali mengirim serangan ke wilayah tepian danau di Burundi. Namun pertahanan Raja Mwami Mwezi IV Gisabo Bikata-Bijoga (raja Burundi yang berkuasa pada 1852-1908) berhasil menahan serangan-serangan tersebut sehingga Bin Khalfan gagal menguasai Burundi.

Pada 1890, rombongan misionaris pertama tiba di daerah yang sekarang menjadi Kota Burundi. Di sana, mereka menemukan Wangwana, nama yang diberikan pada Muslim Afrika di Afrika Tengah. Dengan kata lain, Muslim telah tiba lebih dahulu daripada Kristen. Saat Perang Dunia I pecah pada 1914, mayoritas populasi Bujumbura memeluk Islam.

Selanjutnya, Islam di Bujumbura meningkat dengan kolonisasi yang dilakukan oleh Jerman yang sebagian tentara kolonialnya beragama Islam. Pada waktu yang sama, para pedagang India dan Arab berduyun-duyun memasuki Bujumbura demi meraup keuntungan berdagang yang lebih besar dari kota yang sedang berkembang tersebut.

Kala itu, Jerman memasukkan orang-orang Swahili dan Banyamwezi dalam satuan polisi dan administrasi, dan Kiswahili menjadi bahasa resmi Jerman Afrika Timur (nama untuk wilayah kolonial Jerman di Afrika Timur).

Pada masa kolonisasi Belgia yang dimulai pada 1919, penduduk Burundi mulai tinggal di Bujumbura. Namun, hingga 1957, orang-orang Burundi tidak lebih dari 27% dari total penduduk Bujumbura. Selain mereka, terdapat lebih dari 80 suku yang berbicara dalam 34 bahasa berbeda. Saat itu, Muslim berjumlah 35,6% dari seluruh populasi yang beragam tersebut.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.