Ikhbar.com: Keterampilan berhitung dasar masih menjadi persoalan yang terus berulang dalam pendidikan dasar Indonesia. Banyak siswa kesulitan mengalikan bilangan sederhana, bahkan hingga tingkat SMA. Fenomena ini kerap disaksikan langsung oleh Ustaz Nanang Anwarudin, penggagas Metode Aritmatika Stenomat dan alumnus Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan-Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat.
“Anak-anak itu banyak yang tidak bisa perkalian, bahkan hingga SMA,” ujarnya dalam Program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Stenomat, Bikin Matematika kian Bersahabat” di Ikhbar TV, dikutip pada Senin, 17 November 2025.
Kegelisahan itu berangkat dari pengalaman pribadinya sebagai santri yang dulu menjauhi pelajaran umum.
“Saya dulu benar-benar tidak suka ilmu umum. Datang ke sekolah, ya, tidur,” kenangnya.
Hingga suatu hari seorang guru fisika menjelaskan konsep sederhana tentang pemindahan rumus.
“Tiba-tiba saya tercerahkan,” katanya.
Pengalaman itu mengubah seluruh perjalanan belajarnya. Ia masuk kelas unggulan, lalu diterima kuliah fisika melalui Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).
Namun, perjalanan akademik tersebut justru membawanya kembali pada akar persoalan: banyak anak tidak memahami aritmetika dasar. Dari titik inilah Stenomat tumbuh sebagai ikhtiar yang berangkat dari keprihatinan mendalam.

Baca: Para Ulama dalam Sejarah Angka dan Matematika
Kewajiban dasar
Dalam berbagai kesempatan mengajar, Ustaz Nanang menyimpulkan bahwa masa depan anak ditentukan oleh dua keterampilan: komunikasi dan numerasi.
“Anak kalau tidak bisa menghitung, mau jadi dokter susah, mau jadi pedagang susah,” ujarnya.
Baginya, kemampuan berhitung bukan semata elemen kurikulum, tetapi bagian dari kebutuhan hidup yang melekat pada setiap orang.
Pada titik inilah gagasan numerasi sebagai fardu kifayah menemukan relevansinya. Dalam tradisi keilmuan Islam, fardu kifayah berarti kewajiban kolektif yang harus dipenuhi oleh sebagian masyarakat agar kebutuhan bersama tercukupi.
Para ulama klasik menjelaskan bahwa pengetahuan yang menopang kemaslahatan umum—termasuk kemampuan membaca, menulis, berdagang, dan perhitungan dasar—masuk dalam kategori kewajiban sosial tersebut. Bila sebagian masyarakat gagal memenuhinya, dampaknya dirasakan oleh semua.
Stenomat hadir untuk menutup celah yang ditinggalkan pembelajaran aritmetika konvensional.
Ustaz Nanang melihat kegagalan menguasai perkalian sejak SD akan menjadi beban berkelanjutan.
“Kalau anak gagal hafal perkalian di SD atau MI, itu jadi beban berkelanjutan. Tidak mungkin dikuasai di SMP, tidak mungkin di SMA, tidak mungkin di kuliah,” tegasnya.
Numerasi, dengan demikian, bukan tanggung jawab sekolah atau guru matematika saja. Ia merupakan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Dalam kerangka fardu kifayah, jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi oleh sebagian masyarakat, ketertinggalan akan menjadi tanggungan bersama.
Baca: Alkimia, bukan Kimia, Cara Barat Singkirkan Peran Ilmuwan Islam
Mantra perkalian dan bahasa pola
Salah satu kekuatan Stenomat terletak pada penekanannya pada pola, bukan hafalan rumus. Ustaz Nanang menunjukkan cara sederhana menggunakan jari untuk menghafal perkalian sembilan.
“Misalkan 3 × 9. Jari ketiga ditutup. Yang di kiri puluhan, yang di kanan satuan. Hasilnya 27,” jelasnya.
Pola visual itu mudah ditangkap, termasuk oleh anak yang biasanya takut matematika.
Ia menegaskan bahwa metode ini bukan trik instan.
“Yang kita buat itu metode yang berlaku universal. Mau dikali berapa pun, caranya sama. Itu kunci Stenomat,” jelasnya.
Teknik tersebut menggabungkan intuisi, pola, dan pengulangan sehingga anak tidak dibebani hafalan abstrak.
Pendekatan Stenomat sejalan dengan prinsip pendidikan Islam klasik yang menempatkan tadarruj (proses bertahap) sebagai kunci keberhasilan belajar. Ilmu dipaparkan dari fondasi paling dasar, lalu dinaikkan perlahan. Ustaz Nanang mengkritik kebiasaan sebagian guru yang memberi soal sulit sebelum konsep dikenalkan.
“Untuk anak pintar itu challenge (tantangan). Tapi bagi anak yang lemah, itu mental block (menghambat perkembangan mental),” katanya.
Baca: Al-Zahrawi, Dokter Muslim Penemu Kosmetik dan Skincare
Pahit-manis merintis
Perjalanan Stenomat tidak terbentuk dalam semalam. Setelah menerima hak cipta pada 2013, Ustaz Nanang sempat bekerja sama dengan sebuah lembaga pendidikan, tetapi terkendala perbedaan visi.
“Saya marah karena itu perampokan hak cipta,” ungkapnya.
Ia juga pernah hampir bangkrut setelah mempercayai janji pelatihan besar hingga menggadaikan mas kawin.
“Saya percaya sampai menggadaikan mas kawin,” ceritanya. Namun acara itu batal dan rekannya menghilang.
Pengalaman tersebut sempat membuatnya ingin berhenti. Namun, keadaan berubah ketika ia kembali mengajar setelah sempat absen karena istrinya sakit. Ia mendapati ibu-ibu yang menunggu pembukaan kelas.
“Mereka bilang sangat butuh. Dari situ saya sadar, ini bermanfaat bagi orang lain,” ujarnya.
Dari momen itu, perjalanan pribadi berkembang menjadi komitmen sosial. Stenomat tidak lagi sekadar metode aritmetika, tetapi ikhtiar menghadirkan keterampilan dasar yang dibutuhkan masyarakat luas—sebuah bentuk khidmah kecil dalam bingkai fardu kifayah.
Baca: RS di China Buka Klinik Khusus untuk Obati Anak yang Bebal Matematika
Membangun gerakan
Saat ini Ustaz Nanang tengah menyiapkan Stenomat sebagai learning technology (teknologi pembelajaran) yang dapat digunakan siapa pun tanpa ketergantungan pada sosok tertentu.
“Harapannya, mau dijalankan di Jawa, Sumatera, atau Kalimantan, kualitasnya sama,” ujarnya.
Ia membuka pintu kolaborasi seluas-luasnya.
“Stenomat ini untuk semua. Kalau ada yang mau membangun atau mengembangkan, kami welcome (terima),” katanya.
Visi tersebut sejalan dengan semangat pendidikan Islam yang menempatkan ilmu sebagai amanah sosial. Ketika sebagian orang menguasai pengetahuan yang bermanfaat, mereka memikul kewajiban untuk menyebarkannya agar kebutuhan masyarakat terpenuhi. Dalam konteks ini, numerasi sebagai fardu kifayah menemukan bentuk praktisnya melalui upaya menyediakan keterampilan berhitung yang mendukung keberlangsungan hidup bersama.
Di akhir siniar, Ustaz Nanang mengungkapkan harapan sederhananya.
“Anak-anak kita harus bisa perkalian ketika lulus SD. Itu kebutuhan dasar sebagai manusia yang bersosial,” ujarnya.
Cita-cita itu tampak sederhana, tetapi jika dikerjakan bersama dapat menjadi modal besar untuk membangun masyarakat yang lebih cakap, percaya diri, dan berdaya.