Ikhbar.com: Apa jadinya jika ajaran agama disampaikan secara tunggal dan kaku, seolah hanya ada satu kebenaran yang sahih dan tak terbantahkan?
Menurut Dr. KH Husein Muhammad, ulama kharismatik, pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Fikr Arjawinangun, Cirebon, jawabannya adalah kekacauan sosial. Umat akan gampang saling menyalahkan, menyesatkan, bahkan meniadakan satu sama lain atas nama agama.
“Ketika sesuatu disampaikan secara indoktrinatif, maka masyarakat yang mendengar hanya mengenal satu kebenaran. Ketika seseorang hanya tahu satu kebenaran, maka ia akan menyalahkan selainnya,” ujar sosok yang karib disapa Buya Husein tersebut, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar, bertajuk “Quatrain Buya Husein” di Ikhbar TV, dikutip Rabu, 9 Juli 2025.
Berpikir keagamaan yang sehat, lanjut Buya Husein, mesti dibangun di atas kesadaran bahwa pemahaman agama memiliki level, bukan tunggal dan kaku. Buya Husein pun menjelaskan kerangka piramida pemikiran manusia, dari mulai pola penalaran fikih normatif, intelektual, hingga hikmah alias kebijaksanaan spiritual.
Buya Husein juga menekankan bahwa agama bukan semata-mata doktrin, melainkan jalan menuju kemanusiaan.

Baca: Kitab Hikam al Hukama wa al Falasifah, Mahakarya Buya Husein Peredam Nafsu dan Amarah
Fikih dan konservatisme tunggal
Buya Husein memulai penjelasannya dengan menyebut bahwa mayoritas umat berada di lapisan paling dasar, yakni awam.
“Saya menggambarkannya bagaikan piramida. Di bawah adalah fikih,” katanya.
Pada level ini, lanjut penulis banyak buku best-seller genre keagamaan itu, agama dipahami sebagai seperangkat aturan. Ia hanya melingkupi halal-haram, sah-batal, atau boleh-tidak boleh.
Namun, menurut Buya Husein, problem muncul ketika pemahaman ini berubah menjadi konservatisme tunggal.
“Yang diperlukan mereka adalah satu saja dan itu dianggap sebagai satu kebenaran. Maka muncullah cara pandang tunggal yang radikal. Akan gampang sekali menuduh ini bid’ah, ini sesat, itu kafir,” tegas Buya Husein.
Buya Husein mengkritik penyebaran ajaran secara indoktrinatif yang cukup marak di Indonesia, terlebih di media sosial. Cara semacam ini, menurutnya, telah menyebabkan pergeseran dari semangat pluralisme ke arah fundamentalisme.
Baca: Buya Husein: Perempuan adalah Kreator
Intelektualitas dan nalar kritis
Lapisan kedua dalam piramida pemikiran adalah kalangan intelektual, yakni mereka yang mulai bertanya, “Mengapa?” Di level ini, mereka tidak mudah puas hanya dengan hukum hasil, tapi lebih menyelami akar, konteks, dan sebab musababnya.
“Jadi, inilah kalangan intelektual. Mereka selalu akan berkata, ‘Mengapa?’ Intelektualitas itu basisnya logika, rasionalitas,” jelas Buya.
Sosok yang dikenal sebagai pendorong gagasan keadilan gender di Indonesia ini menjelaskan, di level pemikiran tersebut, muncul ruang bagi ijtihad (pemikiran kreatif), dialog antarmazhab, dan pemaknaan ulang teks sesuai ruang dan waktu. Buya Husein bahkan menyebut bahwa semua teks agama, baik Al-Qur’an, hadis, hingga pendapat ulama, adalah respons terhadap konteks sosial dan budaya tertentu.
Meski begitu, Buya Husein juga mengingatkan bahwa nalar kritis tidak boleh menghapus akhlak.
“Rasionalitas harus bisa naik ke level selanjutnya,” katanya. Di sini, agama menjadi ruang kontemplatif yang mendorong tafaqquh (pendalaman).
Buya Husein juga mengutip kaidah usul fikih klasik yang berbunyi:
وَقَدْ أَجْمَعَتِ الْأَئِمَّةُ أَنَّ الْأَحْكَامَ لَا تَخْلُو مِنْ عِلَّةٍ وَحِكْمَةٍ
“Para imam telah sepakat bahwa setiap hukum memiliki ‘illat (sebab) dan hikmah (kebijaksanaan).”
Maka, hukum tidak boleh dipahami kaku, tetapi mesti dilihat dari nilai dan tujuan yang dikandungnya.
Baca: Buya Husein: Relasi Kuasa Timpang Akar Kekerasan Anak di Dunia Pendidikan
Hikmah dan bahasa sastra
Puncak dari piramida itu adalah lapisan hikmah alias kebijaksanaan ruhani. Di titik ini, seseorang tak hanya bertanya “Apa hukumnya?” atau “Mengapa bisa begitu?” tetapi sudah pada pertanyaan, “Untuk apa semuanya ini?”
“Cita-cita Islam adalah akhlakul karimah, rendah hati, tulus, dan menghargai sesama manusia,” kata Buya Husein.
Buya Husein menambahkan, pada level ini seseorang akan cenderung menggunakan bahasa sastra, puisi, dan simbol-simbol.
“Biasanya di tingkat ini, bahasanya tidak vulgar, tidak tunggal. Tetapi mampu langsung menyasar ke hati,” ungkapnya.
Lantas, Buya Husein merujuk ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib:
لِكُلِّ حَرْفٍ مِنَ الْقُرْآنِ أَرْبَعَةُ مَعَانٍ: ظَاهِرٌ، وَبَاطِنٌ، وَحَدٌّ، وَمَطْلَعٌ
“Setiap huruf dalam Al-Qur’an memiliki empat makna: makna zahir, batin, hadan, dan matla’an.”
Pendiri Yayasan Fahmina itu menjelaskan bahwa Al-Qur’an mengandung empat lapisan makna, yakni zahir (tekstualitas), batin (nalar), hadan (tujuan), dan matla’an (hakikat terdalam yang hanya Allah tahu).
“Tinggal cara pengetahuan kita sendiri sampai di mana,” kata Buya Husein.
Di sinilah tasawuf mengambil peran penting. Buya menyebutnya sebagai “bahasa cinta” yang membawa dakwah ke dalam nuansa yang lembut dan mencerahkan. Buya Husein menutup penjelasannya dengan pengingat bahwa “Agama ini untuk manusia, bukan manusia untuk agama.”
Pemahaman atas level-level berpikir ini menjadi penting bukan hanya sebagai teori abstrak, tapi sebagai cara menjaga kewarasan umat. Ketika dakwah atau pemahaman agama disampaikan tanpa memperhitungkan tingkat pemahaman audiens, maka yang terjadi adalah kontradiktif, klaim mutlak, dan kebencian.
Sebaliknya, jika pendekatan keagamaan dilakukan dengan mempertimbangkan tahapan berpikir manusia, niscaya agama akan tampil sebagai jalan cinta dan kebijaksanaan.
Buya Husein mengutip ucapan para ulama:
خَاطِبُوا النَّاسَ بِقَدْرِ عُقُولِهِمْ
“Bicaralah kepada masyarakat sesuai kadar akalnya,” pesan Buya Husein.
Simak obrolan selengkapnya di sini: