Bukan Gagap Teknologi, Ini Nilai Jual Pesantren yang Penting Diadaptasi

“Coba sebutkan direktur bank syariah dari santri? Kita akan kesulitan,” ujar Gus Romzi.
Ilustrasi tantangan pendidikan pesantren di era digital. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Dunia di luar pagar pesantren bergerak sangat cepat. Santri tak lagi cukup hanya bermodal kitab kuning dan ketekunan. Revolusi informasi datang tanpa aba-aba, membawa tantangan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal bagaimana menjaga nilai di tengah derasnya arus modernisasi.

Influencer Muslim, H. Romzi Ahmad atau lebih karib disapa Gus Romzi, mengingatkan bahwa pesantren tidak boleh sekadar ikut-ikutan zaman. Menurutnya, kaum “sarungan” harus benar-benar peka dan mampu mengelola tantangan itu menjadi peluang, tanpa menggugurkan apa yang telah diyakini dan dijalani tradisi pesantren sejak lama.

A unique selling point (nilai jual) pondok pesantren adalah mengkurasi pengetahuan berdasarkan sanad, bukan sebatas ini yang salah dan ini yang benar,” tegasnya, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Inspirasi Gus Romzi” di Ikhbar TV, dikutip pada Selasa, 24 Juni 2025.

Gus Romzi (Kanan) saat menjadi narasumber dalam dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Inspirasi Gus Romzi” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Menurut Gus Romzi, pengetahuan di pesantren bukan sembarang ajaran. Kurikulum diberikan dan dipelajari para santri secara berkesinambungan dan terus diwariskan secara terjaga, melewati guru-guru yang telah diakui kredibilitasnya.

“Kemudian hadir teknologi yang mewujud sebagai source of information (sumber informasi) baru. Jadi, kalau pesantren buka akses itu, ya bisa gagal semua kurasi pengetahuan yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan teknologi, santri bisa melakukan validasi pengetahuan yang tidak sesuai dengan standar yang kita buat. Nah, itu tantangannya,” ungkap Gus Romzi.

Baca: Menjaga Kekhasan Pendidikan Batin Pesantren

Guru pesantren sebagai kurator, bukan cuma penyampai

Pembatasan akses teknologi, seperti ponsel dan gawai, yang dilakukan kepada para santri hampir di semua pondok pesantren bukan semata karena alasan penjagaan moral dan memandu fokus dalam belajar. Tradisi yang dilakukan sejak lampau ini juga bukan hal yang halal untuk menuding pesantren sebagai kelompok alergi digital, melainkan punya sekian alasan yang lebih mendalam.

Sosok yang juga tercatat sebagai Anak Muda NU Berpengaruh 2023 versi Ikhbar.com itu menjelaskan, pesantren memiliki mekanisme penyaringan pengetahuan yang tidak semua lembaga pendidikan di Indonesia terapkan. Sistem kurasi sanad alias mata rantai keilmuan yang jelas dan sahih telah menjadi kekuatan utama pesantren.

“Pengetahuan di pesantren sudah dikurasi dari abad ke abad,” kata Gus Romzi.

Dalam tradisi ini, belajar bukan cuma soal isi. Tapi juga soal otoritas. Guru, cara pengajaran, kitab kuning atau buku-buku yang diajarkan, hingga latar belakang dan kredibilitas ulama para penulis bahan ajar tersebut sudah diverifikasi dan disepakati sejak awal.

“Tapi di sisi lain, pembatasan tanpa penyesuaian ini juga bisa membelenggu. Sebab, para santri juga butuh visibilitas informasi. Inilah pekerjaan rumah besar guru-guru pesantren hari ini,” katanya.

Menurut Gus Romzi, pesantren tak bisa lagi hanya jadi ruang penghafal. Dia mengajak para guru di pesantren menjadi agen penyaring informasi.

“Gurunya yang harus kreatif menghadirkan informasi terbaru,” katanya.

Di sinilah letak peran krusial pendidik. Santri membutuhkan bimbingan yang tidak hanya memindahkan isi buku ke kepala, tapi juga menunjukkan penerapan ilmu itu dalam hidup. Informasi dari luar boleh saja dibatasi, tapi bila tak dilengkapi dengan pengetahuan-pengetahuan yang lebih kontekstual, maka santri justru bisa kehilangan arah belajarnya.

“Dalam dunia digital yang serbacepat, santri tetap butuh pengetahuan yang relevan dan bisa dipertanggungjawabkan. Guru pesantren saat ini berada di beban tanggung jawab itu,” katanya.

Baca: Jejak Kertas Eropa di Kitab Kuning Nusantara, Dari Merek hingga Harga

Menjemput peluang industri

Direktur Pendidikan di Pondok Pesantren Al-Shighor Gedongan, Cirebon itu juga mengemukakan kritik yang patut direnungkan. Betapa sedikitnya santri yang masuk ke dunia industri berbasis syariah. Padahal, mereka telah mempelajari konsep-konsep dasar muamalah sejak dini.

“Coba sebutkan direktur bank syariah dari santri? Kita akan kesulitan,” ujinya.

Menurut Gus Romzi, kondisi ini bukan karena santri tak mampu. Tapi karena visibilitasnya nyaris tak disediakan. Industri halal, keuangan syariah, dan sejenisnya semua sedang dan sudah berkembang di Indonesia. Sayangnya, keterlibatan pesantren di dalamnya masih jauh dari kata ideal.

“Kita cuma ‘ngumpulin’ audiens. Bukan pelaku utama,” ujarnya.

Padahal, lanjut Gus Romzi, pesantren menyimpan kekayaan ilmu yang sangat aplikatif di bidang itu.

Meskipun begitu, Gus Romzi juga menyadari sudah banyaknya pesantren yang merespons tantangan ini dengan mencoba memasukkan materi pengetahuan praktis, terutama untuk membuka peluang dengan membekali santri melalui kurikulum tambahan atau pengajaran keterampilan tertentu, termasuk membuka pelatihan kerja. Namun, pelatihan kerja yang umum digelar, seperti menjahit atau kursus bahasa, misalnya, hanya bagian kecil dari ekosistem yang lebih luas.

“Menjahit itu hanya satu part kecil. Kita cuma pasar, kita cuma konsumen,” tegasnya.

Untuk bisa bertahan, pesantren harus terlibat sejak awal. Dalam desain, produksi, distribusi, hingga pengelolaan bisnis. Tapi itu tidak akan terwujud tanpa mindset baru, yakni dengan lebih meyakini bahwa ilmu bisa dan harus dipraktikkan.

Menurut Gus Romzi, yang dibutuhkan pesantren bukan hanya pelatihan. Tapi pemahaman menyeluruh tentang posisi strategisnya dalam peta industri umat.

“Kita harus terus berubah dan berbenah,” ujar dia.

Anggapan keliru publik bahwa pesantren gagap teknologi perlu diluruskan. Namun, di sisi lain, pesantren juga harus terbuka untuk melakukan penataan ulang dan pengembangan peran.

“Dengan poal itu, pesantren bisa melakukan perubahan dengan tanpa mengorbankan nilai,” katanya.

Gus Romzi menyarankan pesantren untuk tidak membuka akses informasi secara membabi buta tanpa ragu. Namun, di sisi lain, jangan juga menutup santri dari dunia luar.

“Kuncinya ada pada kurasi, menyeleksi apa yang layak disampaikan, apa yang relevan, dan apa yang perlu dicerna bersama,” katanya.

Pengetahuan yang lahir dari tradisi pesantren harus terus diperbarui implementasinya. Bukan isinya, tapi cara menyampaikannya.

“Santri butuh tahu, bahwa apa yang mereka pelajari bisa berguna,” katanya.

Obrolan selengkapnya bisa disimak di:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.