Ikhbar.com: Kota suci Makkah tidak hanya menjadi pusat ibadah haji, tetapi juga pusat pertukaran ilmu pengetahuan yang melibatkan banyak ulama dari berbagai penjuru dunia Islam, termasuk dari wilayah Nusantara.
Sejarawan Islam Nusantara, Jajang A. Rohmana, dalam Malay-Archipelago Ethnic Diversity in Mecca: Jawi Scholars in the Book of al-Jawāhir al-Ḥisān by Zakariyyā Bīlā (2023), mencatat sejumlah nama ulama Nusantara yang berkiprah dalam mewarnai dunia intelektual di Makkah pada abad ke-19.
Menurut penelitian Jajang, seorang sejarawan Arab keturunan Sumatera Utara, Zakariyya Bila, dalam kitab Al-Jawahir Al-Hisan, mencatat setidaknya 65 ulama asal Melayu-Nusantara yang pernah tinggal dan mengajar di Makkah antara abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.
Zakariyya Bila (1911–1992), yang lahir dan besar di Makkah dari ayah asal Labuhanbatu, menulis buku tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap para ulama yang ia temui atau dengar semasa hidupnya.
Baca: Napak Tilas Ulama Jawi di Tanah Suci, dari Al-Fansuri hingga Al-Fadani
“Di antara para ulama Muslim yang datang ke Tanah Haram dan penerusnya, wajib kiranya bagiku untuk mencatat biografi mereka sebisaku,” tulis Bila dalam pengantar kitabnya, dikutip pada Sabtu, 7 Juni 2025.
Dari total 299 ulama yang tercatat di Makkah, 65 di antaranya berasal dari kawasan Nusantara: Indonesia (53 orang), Patani (Thailand Selatan, 6 orang), dan Malaysia (6 orang). Indonesia sendiri diwakili oleh para ulama dari Sumatera (32 orang), Jawa (13), Kalimantan (4), dan Nusa Tenggara (4).
Dominasi ulama dari Sumatera diyakini berkaitan erat dengan sejarah panjang Islamisasi di wilayah tersebut, dan peran para tokoh seperti Syekh Hamzah Al-Fansuri dan Syekh Abdurrauf As-Singkili.
Kitab ini penting karena menjadi karya biografi ulama Haramain paling lengkap yang ditulis oleh sejarawan Arab keturunan Nusantara.
Sebagai contoh, dua karya sejarah terdahulu masing-masing hanya mencatat 16 dan 21 ulama Nusantara, jauh lebih sedikit dibanding 65 nama dalam Al-Jawahir al-Hisan.
Ulama Nusantara di Makkah tidak hanya menuntut ilmu, tetapi juga aktif mengajar di Masjidil Haram dan berbagai madrasah.
Mereka menggunakan bahasa Melayu dan daerah seperti Jawa dan Sunda dalam pengajaran, serta menulis kitab-kitab berbahasa lokal yang dicetak di Makkah dan Mesir pada akhir abad ke-19.
Zakariyya Bila sendiri adalah sosok sentral dalam jaringan keilmuan ini. Ia belajar di Madrasah Shawlatiyyah dan Masjidil Haram, dan mengajar di berbagai lembaga pendidikan hingga menjadi salah satu pengelola Masjidil Haram di bawah Kementerian Haji dan Wakaf Arab Saudi.
Baca: Jejak Kertas Eropa di Kitab Kuning Nusantara, Dari Merek hingga Harga
Ia juga sempat berkunjung ke Indonesia atas undangan resmi, termasuk dari Menteri Agama Mukti Ali dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Idham Chalid.
Melalui kitab ini, terlihat jelas bagaimana Makkah menjadi ruang kosmopolit yang mempertemukan keberagaman etnik dan keilmuan Islam.
Ulama-ulama Jawi, sebutan bagi Muslim dari kawasan Melayu-Nusantara, telah memperkaya kehidupan intelektual Islam di tanah suci.