Ikhbar.com: Tidak semua orang mampu menyambut kedatangan bulan suci Ramadan dengan penuh kegembiraan. Termasuk, anak-anak.
Meskipun Ramadan dijanjikan secara nyata oleh Al-Qur’an dan hadis sebagai bulan kegembiraan lantaran mengandung banyak keberkahan, tetapi kewajiban berpuasa dengan menahan makan dan minum seharian barangkali masih dipandang sebagai sesuatu yang begitu memberatkan.
Demikian disampaikan Psikolog Ahli dari Griya Jiva, Dr. Muhammad Fakhrurozzi, M. Psi., Psikolog. Menurutnya, penting bagi para orang tua untuk mengenalkan Ramadan bagi anak-anaknya sebagai bulan yang menyenangkan.
“Perlakukan perintah puasa sebagai sarana latihan pada anak, sehingga penerapannya tidak kaku. Berikan contoh atau teladan kepada mereka dengan menunjukkan perilaku yang selalu tampak ceria, jangan gampamg marah, tidak membentak, dan selalu berusaha sabar ketika puasa,” ujar Doktor Fakhrurozzi, kepada Ikhbar.com, Rabu, 13 Maret 2024.
Ramadan, lanjut dia, juga harus dijadikan sebagai momentum untuk menanamkan kecintaan anak terhadap kitab suci Al-Qur’an.
“Dengan memberi contoh rutinitas tilawatil Qur’an (bertadarus), meskipun anak-anak belum bisa membacanya. Tujuannya, biar mereka terbiasa memperhatikan orang tuanya ketika bertadarus Al-Qur’an,” kata Fakhrurozzi.
Begitu juga dengan aktivitas salat tarawih. Doktor Fakhrurozzi mengajak para orang tua untuk mulai mengenalkan ibadah sunah tersebut, tetapi dengan syarat, tetap tidak boleh dengan cara-cara yang memaksa.
“Biarkan anak untuk berada di sekitar kita saat salat tarawih,” katanya.
Selama Ramadan, orang tua disarankan agar lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak mereka. Hal itu bisa dimulai dari kegiatan-kegiatan ibadah yang fardu, hingga aktivitas-aktivitas dalam lingkup tradisi bulan Ramadan yang menyenangkan.
“Jangan sungkan untuk ajak anak-anak berburu takjil, ngabuburit, menyiapkan menu berbuka puasa, juga santap sahur,” katanya.
Baca: 25 Rekomendasi Nama Bayi yang Lahir pada Bulan Ramadan
Bertahap dan tanpa hukuman
Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma itu juga memberikan sejumlah tips saat merasa perlu mengajari anak-anak berpuasa. Menurutnya, yang paling penting adalah terlebih dahulu mempertimbangkan kesiapan anak dari sisi usia.
“Minimal, saat anak-anak sudah menginjak usia TK B atau jelang naik kelas 1 SD. Di usia tersebut, secara fisik mereka sudah siap untuk menahan makan dan minum dalam waktu yang lama. Dan secara psikis, anak-anak juga sudah bisa diajari untuk menahan keinginan,” katanya.
Menurut Doktor Fakhrurozzi, anak-anak di usia tersebut juga dianggap telah bisa menerima segenap aturan saat berpuasa. Seperti memahami kapan diperbolehkannya makan dan minum, tidak boleh marah, tidak boleh menangis, tidak boleh bicara kasar, dan lain sebagainya.
“Pelatihan puasa pada anak juga bisa dilakukan secara bertahap. Jangan langsung puasa penuh sampai magrib. Bisa dimulai puasa sampai jam 10 jelang siang, lalu makan dan minum. Setelah itu diminta untuk puasa kembali sampai jam 13.00 atau 14.00, dan seterusnya,” katanya.
Jika anak-anak sudah dianggap bisa, maka sedikit demi sedikit durasi puasa bisa diperpanjang. Misalnya puasa dari pagi gingga jam 12.00 lalu lanjut kembali hingga magrib.
“Bagi yang berhasil, boleh diberikan reinforcement positive (konsekuensi yang menyenangkan) demi menambah kesemangatan pada anak-anak. Bentuknya, tidak harus materi. Tapi bisa juga berbentuk pujian, pelukan, ciuman, kehangatan hubungan, dan lain-lain,” katanya.
“Tetapi untuk punishment (hukuman), tidak dianjurkan untuk dilakukan. Karena akan membuat anak takut dan puasa akan dilakukan dengan penuh keterpaksaan,” sambung dia.
Baca: Apa Itu Otak Popcorn? Ini Penyebab, Dampak, dan Cara Menghindarinya
Kekeliruan orang tua
Selama ini, kata Doktor Fakhrurozzi, banyak orang tua yang sedikit keliru saat melatih anak-anaknya berpuasa dalam bulan Ramadan. Di antaranya adalah dengan memaksakan anak berlatih menahan haus dan lapar di usia yang terlalu dini.
“Misalnya, saat baru masuk TK A dengan durasi puasa yang panjang dan tidak bertahap,” ungkapnya.
Kekeliruan lainnya adalah dengan memberikan hukuman dan reinforcement negative, seperti menyalahkan, memarahi, mengurung di kamar, memasang muka masam, cuek, mengucilkan di saat anak-anak tidak mau melakukan apa yang diperintah orang tuanya atau gagal memenuhi target.
“Ada juga dari kita yang menyuruh anak berpuasa tanpa memberi contoh. Misalnya, orang tua minta anak jangan marah saat puasa, tapi ternyata justru orang-tuanya yang sering kali marah-marah saat anaknya dianggap nakal,” katanya.
“Intinya, ajarilah anak berpuasa dengan bijak. Sesuaikan dengan umur dan tahap perkembangannya. Jangan memaksakan mereka melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya,” katanya.
“Jadikan puasa sebagai sarana membangun kebersamaan dengan anak. Hindari semua bentuk hukuman dan berilah apresiasi atas sekecil apapun atas keberhasilan anak saat berpuasa,” pungkas Doktor Fakhrurozzi.