Ikhbar.com: Selesai pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, para pejuang Hizbullah yang dipimpin KH Abbas Abdul Jamil, atau yang masyhur dengan nama Kiai Abbas Buntet, menerima pesan singkat tapi menggetarkan, “Baju dan senjata segera dikubur!”
Bagi sebagian orang, perintah itu terdengar aneh. Namun, bagi Kiai Abbas, itu adalah cara menjaga hati tetap bersih dari rasa bangga dan pamrih.
Menurut anggota Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), Dr. K. Mohammad Fathi Royyani, perintah tersebut memiliki makna lebih dari sekadar simbolis.
“Itu untuk menjaga keikhlasan,” ujar Kiai Fathi, sapaan akrabnya, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Kupas Tuntas Peran Kepahlawanan Kiai Abbas” di Ikhbar TV, dikutip pada Sabtu, 25 Oktober 2025.

Baca: Kiai Abbas Sang Peretas Batas
“Bisa dimaknai bahwa Kiai Abbas berpesan, ‘Jangan mentang-mentang pejuang, lalu merasa paling berjasa.’ Semua harus lillahi ta‘ala,” sambungnya.
Pesan itu pun benar-benar dilaksanakan. Para pejuang yang masih hidup ikut mengubur baju dan senjata mereka sebagai tanda tuntasnya tugas. Tidak ada yang tahu di mana benda-benda itu dikubur. Yang tersisa hanyalah kisah tentang pengabdian yang tak menuntut imbalan.
Bagi Kiai Abbas, perjuangan fisik hanyalah satu tahap dari jihad besar, yakni berjuang mengalahkan ego.
“Perintah baju dan senjata dikubur itu bukan untuk melupakan perang, melainkan agar kemenangan tidak mengubah niat suci para pejuang,” katanya.
Kiai Fathi menuturkan, banyak santri dan pejuang setelah perang kembali ke pekerjaan biasa tanpa keluhan sedikit pun.
“Ada yang bahkan di era kemerdekaan masih jualan kacang goreng dipikul malam-malam di Jakarta,” katanya.
“Mereka tidak mengeluh. Itu adalah kontribusi mereka untuk bangsa ini,” ungkap Kiai Fathi.
Menurut sosok yang juga tercatat sebagai peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut, sikap itu menunjukkan makna ikhlas sejati: berjuang karena Allah, bukan untuk dikenal sebagai pahlawan.
“Dan mungkin, itulah yang membuat perjuangan Kiai Abbas dan para santrinya tetap harum hingga hari ini. Sebab, semuanya ditanamkan tanpa pamrih, dikubur dalam tanah tapi tumbuh di hati sejarah bangsa,” katanya.