Ikhbar.com: Nama KH Abbas Abdul Jamil, atau yang lebih dikenal sebagai Kiai Abbas Buntet, tak bisa dilepaskan dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Pada masa negeri ini masih berdarah dan belum mapan, Kiai Abbas berdiri sebagai ulama pejuang yang melampaui sekat sosial dan mazhab. Beliau memimpin, mendidik, dan menyalakan semangat kemerdekaan dari pesantren yang diasuhnya.
Anggota Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), Dr. K. Mohammad Fathi Royyani menyebut Kiai Abbas sebagai sosok yang luar biasa lengkap.
“Kalau mengutip istilah Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus), beliau itu sudah mendekati legenda atau bahkan legenda itu sendiri,” ujar Kiai Fathi, sapaan karibnya, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Kupas Tuntas Peran Kepahlawanan Kiai Abbas” di Ikhbar TV, dikutip pada Sabtu, 25 Oktober 2025.
Kiai Abbas dikenal sebagai komandan Hizbullah dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Di sisi lain, beliau juga diakui banyak pihak sebagai guru kehidupan yang menanamkan nilai keberanian, tanggung jawab, dan cinta tanah air melalui pendidikan dan dakwah.

Baca: Ini Sederet Jasa yang Bikin Kiai Abbas Buntet Layak Jadi Pahlawan Nasional
Mendidik dengan kearifan
Kiai Abbas dikenal memahami karakter para santrinya dengan baik. Beliau tahu, tidak semua murid akan menjadi ulama besar, tetapi setiap orang memiliki peran penting bagi agama dan bangsa.
“Ada santri yang memiliki kecenderungan sebagai ulama, maka akan digembleng menjadi seorang ulama. Tapi ada juga yang diarahkan menjadi pejuang,” tutur Kiai Fathi.
Dari asuhan beliau lahir banyak tokoh besar, di antaranya KH Wahib Wahab, Menteri Agama yang mencetuskan pendirian Institut Agama Islam Negeri (IAIN), serta KH Ibrahim Hosen, pendiri Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, juga sejumlah tokoh populer lainnya.
“Bagi santri yang bermental kuat dan lincah di lapangan, Kiai Abbas menyiapkan latihan fisik dan strategi perjuangan. Dari mereka muncul pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang kelak berperang di Surabaya,” kata sosok yang juga tercatat sebagai peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut.
Jauh sebelum istilah nasionalisme populer di dunia pesantren, Kiai Abbas telah menanamkannya. Pada 1920-an, beliau mendirikan Madrasah Wathaniah, sekolah yang menegaskan hubungan antara iman dan tanah air. Kata “wathan” berarti “tanah kelahiran,” dan lewat madrasah itu Kiai Abbas menegaskan makna “Hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman).
“Dari sistem pendidikan seperti itulah lahir generasi santri yang tidak hanya pandai membaca kitab, tapi juga mampu membangun masyarakat,” jelas Kiai Fathi.
Warisan itu masih terasa. Tradisi keagamaan di Cirebon, Indramayu, dan Kuningan hingga kini masih membawa corak ajaran Kiai Abbas, yakni Islam yang ramah, berpikir jernih, dan bekerja untuk kemaslahatan.
Keterbukaan menjadi watak utama Kiai Abbas. Prinsip tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran) beliau jalani setiap hari, bukan sekadar slogan.
“Beliau menerima siapa pun dan berdakwah dengan sangat santun,” kata Kiai Fathi.
Salah satu santrinya, Utsman, berasal dari keluarga Tionghoa. Ia kemudian dikenal sebagai ahli nahwu dan fotografer pribadi Kiai Abbas.
“Utsman-lah yang memotret satu-satunya dokumentasi visual Kiai Abbas yang kini beredar luas,” ujarnya.

Baca: MTs NU Putra 2 Buntet Cirebon, Tempa Siswa Berwawasan Global dalam Nuansa Pesantren
Spiritualitas sebagai motor perlawanan
Kiai Abbas menempatkan spiritualitas sebagai sumber kekuatan perjuangan. Catatan kolonial Belanda menunjukkan bahwa tarekat yang beliau bimbing dianggap mengancam kekuasaan karena membangkitkan semangat perlawanan. Residen Cirebon kala itu, Van der Plas, bahkan memantau kegiatan tarekat tersebut yang berpusat di Masjid Agung Cirebon.
“Tarekat atau spiritualitas menjadi roh perjuangan Kiai Abbas,” ujar Kiai Fathi.
Kiai Abbas menjadikan jalan tarekat sebagai sarana meneguhkan moral umat dan menyalakan keberanian. Ajaran Tijaniyah yang beliau bawa berfungsi sebagai penggerak batin dan motivasi sosial untuk melawan ketidakadilan.
Sebuah laporan Central Intelligence Agency (CIA) tahun 1943 mencatat nama Kiai Abbas dengan sebutan “workshop keeper” atau penjaga warung/toko. Menurut Kiai Fathi, istilah ini dapat dimaknai sebagai “penjaga gerakan.”
“Ini menunjukkan bahwa pengaruh Kiai Abbas sudah menjadi perhatian dunia intelijen jauh sebelum perang Surabaya meletus,” katanya.
Kiai Abbas lahir di Cirebon pada 1879, putra sulung KH Abdul Jamil, pengasuh Pondok Pesantren Buntet. Beliau belajar agama langsung dari ayahnya sebelum menimba ilmu di berbagai pesantren besar, termasuk di Tebuireng di bawah bimbingan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Selain menguasai fikih, Kiai Abbas juga mengajarkan ilmu bela diri kepada santrinya. Keterampilan itu kelak menjadi bekal penting bagi para pejuang santri dalam mempertahankan kemerdekaan. Dari Buntet, beliau membentuk dua regu laskar, yakni Asybal dan Athfal, yang menjadi cikal bakal barisan Hizbullah dan Sabilillah.
Menjelang pertempuran 10 November 1945, Kiai Abbas memobilisasi pasukan santri dan masyarakat dari Cirebon menuju Surabaya. Dalam perjalanan, beliau menyambangi para kiai di Lasem, Rembang, dan Pemalang untuk menggalang kekuatan. Di Surabaya, beliau bergabung dengan para santri dari Lirboyo dan Tebuireng, menegaskan bahwa perlawanan tersebut adalah jihad membela kemerdekaan.
“Tentu, kehadirannya memberi restu moral sekaligus legitimasi keagamaan bagi para pejuang. Resolusi Jihad yang sebelumnya digagas Hadratussyekh Hasyim Asy’ari menemukan bentuk nyatanya di lapangan. Kiai Abbas menjadi sosok penentu momentum, pemantik semangat, sekaligus teladan keberanian,” terang Kiai Fathi.
Baca: Jelajah Pesantren Era Kolonial lewat Manuskrip Kuno Buntet Cirebon
Jejak keadilan dan keikhlasan
Bagi keluarga besar Pesantren Buntet, Kiai Abbas adalah figur yang sulit dilukiskan. Semua yang mengenalnya merasa paling dekat dengannya, mulai dari santri, kerabat, hingga pedagang di pasar.
“Baik keluarga, murid, atau teman, semuanya merasa paling dekat,” ungkap Kiai Fathi.
Kiai Abbas memperlakukan setiap orang dengan hormat yang sama. Saat berkunjung ke rumah adiknya di Cirebon, para pedagang sekitar berbondong-bondong datang, dan seluruh dagangan mereka diborong oleh rombongannya. Kehadirannya membawa rezeki dan kegembiraan.
Dalam peristiwa lain, Kiai Abbas pernah berpesan agar pakaian dan senjata perang dikubur setelah kemerdekaan tercapai. Pesan itu bukan sekadar simbolik, melainkan perintah langsung untuk menjaga keikhlasan. Beliau ingin para pejuang kembali menjadi rakyat biasa tanpa membawa pujian dan jasa.
“Itu untuk menjaga keikhlasan,” kata Kiai Fathi.
Kiai Abbas wafat pada 1947. Beliau meninggalkan warisan nilai yang tak pudar oleh waktu, keberanian, ketulusan, dan cinta tanah air. Di antara ulama dan rakyat, antara agama dan bangsa, Kiai Abbas menjadi jembatan yang kokoh.
“Kiai Abbas jauh melampaui imajinasi kita tentang beliau,” pungkas Kiai Fathi.