Ikhbar.com: Penerapan hukum Islam di Indonesia tampak lebih luwes ketimbang di negara lainnya. Hal itu, tidak lepas dari pola penyebaran Islam serta dakwah orang-orang terdahulu yang sangat menimbang kondisi dan karakter masyarakat Nusantara.
Demikian disampaikan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ulil Abshar Abdalla, dalam malam puncak Peringatan Haul KH Salwa Yasin, KH Asror Hasan, dan KH Adnan Amin Asror, serta Haflah Imtihan Ke-45 di Pondok Pesantren Ketitang, Desa Japurabakti, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon pada Sabtu, 29 Juni 2024.
“Pada Abad 16, misalnya, Sunan Kudus pernah melarang orang-orang Islam menyembelih sapi saat berkurban Iduladha. Sebab, masyarakat setempat waktu itu mayoritas beragama Hindu yang sangat mengistimewakan sapi. Hal itu dilakukan demi menghormagi perasaan mereka,” kata Gus Ulil, sapaan akrabnya.
Baca: Mengamini Penjelasan Gus Ulil: Tasawuf sebagai Obat Gangguan Mental
Toleransi
Menurut Gus Ulil, inisiatif Sunan Kudus kala itu sekilas bisa dianggap sebuah pelanggaran. Sebab, di dalam Al-Qur’an jelas-jelas sapi tidak tergolong dalam hewan yang dihukumi haram untuk dikonsumsi.
“Nah, inilah yang dimaksud bahwa dalam fikih ada yang disebut dengan fiqh al-ahkam (hukum) dam fiqh ad-dakwah (syiar),” katanya.
Fikih ahkam, kata Gus Ulil, adalah aplikasi keberagamaan berdasarkan landasan hukum keislaman. Sedangkan fikih dakwah ialah penerapan laku hidup dengan mempertimbangkan sisi dakwah keislaman.
“Kalau saja Sunan Kudus ketika itu langsung membolehkan orang Islam menyembelih sapi, mungkin orang-orang Kudus akan sakit hati hingga akibatnya mereka tidak akan masuk Islam. Maka, dengan fikih dakwah, maka hukum-hukum asalnya untuk sementara bisa ditunda sampai pada keadaan yang lebih memungkinkan,” katanya.
Soal ini, Gus Ulil mengutip QS. Al-Baqarah: 269. Allah Swt berfirman:
يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ululalbab.”
“Dan itu juga termasuk sebuah hikmah yang dilakukan oleh para tokoh Walisongo. Fikih dakwah tidak kalah penting dari fikih ahkam,” katanya.
Baca: Habib Ja’far Ungkap Alasan Berdakwah lewat Game Online
Faktor kelestarian Islam
Fikih dakwah ala Walisongo itu kemudian terus dilestarikan oleh para kiai di Indonesia. Hasilnya, Islam di Indonesia menjadi lestari dan terjaga, bahkan terus meresap dan mengalami perkembangan pesat di tengah masyarakat.
“Kalau kiai-kiai kita dulu menggunakan fikih ahkam murni, saya jamin, Islam di Indonesia tidak berkembang seluas seperti sekarang,” ujar Gus Ulil.
Dasar dari penerapan fikih dakwah ini adalah ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk berdakwah secara lemah lembut, bertahap, dan santun demi meraih simpati masyarakat.
Allah Swt berfirman:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
“Muallfati qulubuhum itu artinya orang-orang tersebut harus diperlunak hatinya supaya tertarik kepada Islam,” katanya.