Ikhbar.com: Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 1, Abdul Muhaimin Iskandar alias Gus Imin mengenalkan istilah “slepet” dalam debat perdana cawapres yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC) pada Jumat, 22 Desember 2023, malam.
Slepet merupakan sebutan untuk tindakan santri yang mencambuk rekan atau temannya dengan menggunakan sarung. Slepet dipahami sebagai tindakan simbolis untuk mengingatkan seseorang yang lalai. Istilah ini sangat umum digunakan oleh para santri di Indonesia, terutama sebagai bagian dari permainan yang ramai dilakukan selama bulan suci Ramadan.
“Di kalangan santri, sarung bisa untuk membangunkan yang tidur, menggerakkan yang loyo, sekaligus mengingatkan yang lalai,” kata sosok pendamping calon presiden (capres) Anies Rasyid Baswedan tersebut.
Di akhir sesi, bahkan Gus Imin menjuluki trik tersebut sebagai “slepetnomics” karena dianggap bisa diterapkan dalam kebijakan ekonomi.
“Yang tidak ada dalam kebijakan ekonomi saat ini adalah keberanian untuk mewujudkan aturan main yang adil dan keberanian untuk berpihak pada rakyat. Itulah kenapa kami menggagas slepetnomics sebagai solusi,” katanya.
Baca: Ini Arti Ayat Al-Qur’an yang Dibaca Prof. Mahfud dalam Debat Cawapres
Sarung dan santri
Peneliti di Museum Tekstil di Washington, Mattiebelle Gittinger dalam “Splendid Symbols: Textiles and Tradition in Indonesia (1990)” menjelaskan, pada mulanya sarung merupakan pakaian khas para pelaut di Semenanjung Malaysia, Sumatra, dan Jawa. Setelah itu, pamor sarung meluas ke Pulau Madura dan sepanjang pantai utara Jawa. Di Malaysia, masyarakat biasa menyebut sarung dengan nama “Kain Pelikat.”
Sarung diperkirakan muncul di Indonesia sejak abad 14. Kain yang umumnya bercorak kotak-kotak dan garis melintang itu dibawa oleh pedagang Yaman dan India. Sarung asal Yaman terkenal dengan sebutan “futah.”
Dalam sebuah memoar yang ditulis Pangeran Djajadiningrat dari Kesultanan Banten disebutkan, masyarakat Jawa masih menggunakan sarung, jas model Jawa, dan kain tutup kepala yang disebut destar hingga sekitar 1902. Sarung dibuat dari berbagai macam bahan, seperti katun, sutera, ataupun poliester.
Lantas, sarung menjadi identitas pakaian masyarakat Indonesia yang terus dilestarikan, khususnya di lingkungan pesantren. Hingga kemudian, saking lekatnya hubungan mereka dengan sarung, orang-orang pesantren kerap dijuluki kamu “sarungan.” Penyebutan itu pertama kali dilontarkan Ketua Umun Partai Nasional Indonesia (PNI), Hadi Supeno pada 1970.
Mengutip laman NU Online, oleh tokoh pesantren, sarung bahkan sering dijadikan sebagai simbol konsistensi dan perlawanan budaya. Hal itu, salah satunya pernah ditunjukkan oleh salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdul Wahab Hasbullah.
Suatu ketika, sosok yang karib disapa Mbah Wahab itu diundang Presiden Sukarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, Mbah Wahab justru datang dengan menggunakan jas dengan bawahan sarung, bukan celana panjang.
Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Mbah Wahab merasa harus tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Mbah Wahab ingin terus menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan masyarakat dunia.
Baca: Cawapres Gibran Bicara Keberlanjutan, Ini Kosepnya menurut Islam
Slepet dan ketegasan pendidikan di pesantren
Istilah “slepet” yang dipopulerkan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) jelang Pemilu 2024 itu hanya salah satu dari sekian banyak fungsi sarung di tangan para santri. Slepet, sebenarnya hanya satu trik permainan guna menghibur diri melalui tema perang-perangan. Meskipun begitu, sebutan mencambuk secara ringan itu juga kadang menjadi cara bagi para ustaz pesantren untuk menghukum atau mengingatkan para santrinya yang lalai.
Selain multifungsi, sarung juga dipercaya oleh kaum santri memiliki banyak nilai dan filosofi. Mengutip laman Dunia Santri, setidaknya ada tiga makna di balik penggunaan sarung dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, sarung merupakan pakaian yang sangat longgar. Hal itu mengamanatkan bahwa seseorang harus terus berusaha memberi ruang kebaikan kepada orang lain demi terbentuknya sikap ketakwaan yang paripurna kepada Allah Swt.
Kedua, sarung tidak memiliki pengait berupa ikat pinggang, resleting, maupun kancing. Hal itu bisa dimaknai bahwa seorang manusia harus mampu melepas ikatan-ikatan rasa tamak, takabur, dan sifat negatif lainnya.
Ketiga, sarung dapat dijadikan berbagai kemanfaatan. Seperti untuk menutup aurat, mengusir rasa dingin (selimut), sebagai alas untuk duduk, bahkan dapat dijadikan sebagai penutup kepala di kala panas matahari. Dari kekayaan fungsi tersebut, para santri memahaminya sebagai sebuah inspirasi bahwa seseorang harus menjadi sosok yang siap ditempatkan di mana saja, mampu memberikan manfaat kepada siapa saja, serta dapat berperan sebagai apa saja yang dinilai bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Sarung juga dinilai menghadirkan prinsip kedisiplinan, ketegasan, dan konsistensi. Hal itu dianggap selaras dalam prinsip pendidikan dalam dunia pesantren.
Selain berpedoman pada kurikulum yang dirancang, elemen penting dalam pendidikan pondok pesantren terletak pada keberadaan dan teladan sosok sentral, yakni kiai. Kiai menjadi figur utama dalam pembentukan akhlak dan memupuk pengetahuan di pesantren. Dalam mendidik para santrinya, kiai biasanya tampil dengan keperibadian yang tegas.
Baca: Nilai-nilai Islami Cawapres RI
Sikap tegas yang diterapkan kiai di pesantren tidak sama dengan makna keras. Ketegasan di dalam model pendidikan pesantren ini diibaratkan kawah candradimuka yang menggodok calon pemimpin di setiap generasi. Kendati panas, pendidikan pesantren diharap bisa menciptakan seorang figur yang akan menjunjung darma kebaikan.
Di pondok pesantren, seorang kiai bukan hanya memaparkan berbagai macam kebaikan, ilmu, juga pengetahuan melalui seabrek rujukan kitab kuning. Akan tetapi, kiai adalah pelajaran itu sendiri. Tindak-tanduk kiai ialah teladan yang perlu ditiru para santrinya, dari mulai dalam bidang keilmuan, kedisiplinan, ketegasan, dan lainnya.