3 Ciri ‘Gus’ Sejati menurut Kiai Maman

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan, Dr. KH Maman Imanulhaq, saat menjadi pembicara dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Menapaki Suluk Al-Mizan Kiai Maman” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Ikhbar.com: Fenomena pamer kemewahan dan berbagai tindakan kontroversial yang dilakukan sebagian kecil anak kiai yang kerap disapa “Gus” kembali memicu perdebatan. Media sosial memperbesar potongan perilaku itu hingga tampak seperti gambaran umum, sehingga menimbulkan kesan keliru tentang wajah pesantren. Di luar riuh digital tersebut, ribuan Gus muda justru hidup sederhana, tekun belajar, dan menempuh jalan pengabdian dengan tenang.

Menanggapi hal itu, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Majalengka, Jawa Barat, Dr. KH Maman Imanulhaq menegaskan adanya tiga ciri yang melekat pada sosok Gus sejati, jauh dari citra glamor yang sering muncul di dunia maya.

“Kekhawatiran orang-orang itu tentang anak-anak kiai yang hanya mewariskan kegagahan kiai, tapi tidak mewariskan keilmuan. Tapi itu tidak mewakili pesantren secara keseluruhan,” ujar Kiai Maman, sapaan karibnya, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Menapaki Suluk Al-Mizan Kiai Maman” di Ikhbar TV, dikutip pada Senin, 24 November 2025.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan, Dr. KH Maman Imanulhaq (kanan), saat menjadi pembicara dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Menapaki Suluk Al-Mizan Kiai Maman” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Baca: 3 Kitab Ini Wajib Dipelajari Santri

Ciri pertama adalah kerendahan hati. Menurut Kiai Maman, seorang Gus sejati tidak menjadikan nasab sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan. Banyak di antara mereka enggan menonjolkan diri dan memilih hidup tanpa atribut keturunan yang kerap dilebih-lebihkan publik.

“Saya sering bertemu anak kiai yang dengan rendah hati berkata, ‘Saya bukan siapa-siapa, ini pesantren ayah saya yang dirikan. Saya hanya santrinya yang diberi amanah’ begitu,” kata sosok yang juga mengemban amanat sebagai anggota DPR RI tersebut.

Ciri kedua adalah komitmen kuat terhadap ilmu. Kiai Maman menyebut banyak Gus muda menekuni aktivitas intelektual tanpa mencari perhatian. Mereka menulis, mengajar, mengkaji kitab, dan membangun ruang ilmu yang jarang terlihat kamera.

“Ada banyak gus yang diam-diam menulis buku, bahkan kitab tafsir hingga berjilid-jilid. Hanya saja beliau-beliau tidak berisik, tidak pernah butuh panggung,” katanya.

Ciri ketiga adalah pengabdian yang berkelanjutan. Banyak putra kiai bekerja dalam kesunyian: mengurus jemaah, mendampingi masyarakat, mengajar santri, dan merawat tradisi.

“Beliau-beliau sangat jauh dari citra hedonisme yang kadang disematkan pada istilah ‘Gus muda’,” katanya.

Baca: Menjaga Kepak Sayap Keseimbangan Pesantren

Kiai Maman mengingatkan bahwa yang viral hanya potongan perilaku segelintir orang yang kebetulan ada di depan kamera. Sementara itu, mayoritas Gus yang bekerja dengan tulus tidak pernah tampil di linimasa.

“Sejatinya, jauh lebih banyak Gus yang memilih beramal, berkarya, berdakwah, dan mengabdi secara sembunyi-sembunyi. Hanya, media lebih suka menyorot sosok yang kontroversi,” tuturnya.

Kiai Maman menilai publik perlu menatap persoalan ini dengan lebih tenang. Dunia pesantren terbentang luas dan tidak bisa direduksi menjadi beberapa rekaman singkat. Tradisi ilmu tetap dijaga oleh generasi muda yang memprioritaskan kerja sunyi.

Flexing atau pamer gaya hidup yang dilakukan beberapa oknum, lanjutnya, sering berawal dari kegelisahan dan ketidakmatangan.

“Mereka sedang mencari panggung,” ungkapnya.

Ia berharap masyarakat tidak keliru menilai, sebab perilaku sebagian kecil orang dapat menutup kerja besar ribuan Gus yang justru menjaga martabat pesantren.

Bagi Kiai Maman, tiga ciri tersebut merupakan ukuran paling mudah sekaligus paling tepat untuk mengenali sosok Gus sejati.

“Selama nilai-nilai itu dirawat, wajah pesantren akan tetap terjaga, apa pun yang terjadi di permukaan digital,” pungkasnya.

Obrolan selengkapnya bisa disimak di:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.