Tidak Cukup dengan Yel-yel, Ini ‘Kritik’ Al-Qur’an terhadap Tepuk Sakinah

Apakah ‘Tepuk Sakinah’ layak diapresiasi sebagai inovasi dalam edukasi pernikahan, atau justru contoh berlebihan dalam menyampaikan nilai-nilai sakral rumah tangga secara ringan?
Ilustrasi sepasang pengantin melakukan tepuk sakinah. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dihebohkan oleh viralnya video “Tepuk Sakinah” di berbagai media sosial. Yel-yel yang disebut sebagai pembekalan bagi calon pengantin itu menuai beragam tanggapan, mulai dari dukungan, kritik, hingga bahan lelucon warganet.

Fenomena ini kemudian memunculkan perdebatan publik, “Apakah ‘Tepuk Sakinah’ layak diapresiasi sebagai inovasi dalam edukasi pernikahan, atau justru contoh berlebihan dalam menyampaikan nilai-nilai sakral rumah tangga secara ringan?”

Sebagian pihak menilai konten tersebut efektif menarik perhatian generasi muda terhadap pentingnya kesiapan mental berumah tangga. Namun, sebagian lainnya merasa penyampaiannya kurang tepat karena berpotensi mereduksi keseriusan ikatan pernikahan menjadi sekadar hiburan viral.

Baca: ‘Tepuk Sakinah’ Viral di Medsos, Ini Maknanya menurut Kemenag

Memaknai sakinah lebih dalam

Kata “sakinah” dalam Al-Qur’an berasal dari akar kata “sakana“, yang berarti tenang, diam, atau menetap. Secara bahasa, kata ini menggambarkan keadaan hati yang stabil, damai, dan tidak gelisah, sebagaimana seseorang yang berhenti dari kegelisahan lalu menemukan tempat menetapnya.

Menurut Imam Ibn Manzhur dalam Lisan al-‘Arab, akar kata sakana bermakna as-sukun ba‘da al-harakah (diam setelah bergerak), sebagai metafora untuk ketenangan setelah kegelisahan.

Sementara itu, Imam Ar-Raghib Al-Asfahani dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an menjelaskan bahwa sakinah adalah ketenangan yang Allah tanamkan ke dalam hati hamba-Nya, sehingga mereka tidak diguncang oleh rasa takut atau sedih. Dengan kata lain, sakinah merupakan ketenangan spiritual yang datang dari Allah, bukan hasil usaha manusia semata.

Imam Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim menyebutkan bahwa sakinah adalah rahmat dan ketenteraman batin yang Allah turunkan kepada orang beriman dalam situasi sulit. Ia menukil QS. At-Taubah: 26, yang menggambarkan Allah menurunkan sakinah kepada Rasulullah dan para sahabat saat perang, sebagai simbol kekuatan iman yang menenangkan jiwa di tengah tekanan.

Dalam Al-Qur’an, sakinah tidak hanya berarti ketenangan biasa, tetapi ketenangan istimewa yang langsung Allah turunkan ke dalam hati orang-orang beriman. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Fath: 4, ketika Allah Swt berfirman:

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوْٓا اِيْمَانًا مَّعَ اِيْمَانِهِمْ ۗوَلِلّٰهِ جُنُوْدُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًاۙ

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). Milik Allahlah bala tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Syekh Tahir Ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa sakinah dalam QS. Al-Fath: 4 bukan sekadar ketenangan emosional, melainkan kekuatan spiritual yang Allah turunkan untuk meneguhkan iman kaum mukmin. Ayat ini turun setelah umat Islam menghadapi ujian berat menjelang penaklukan Makkah. Dalam kondisi genting itu, sakinah hadir sebagai penenang batin dan peneguh keyakinan agar keimanan mereka tetap kokoh di tengah tekanan.

Ibn ‘Asyur menekankan bahwa sakinah berfungsi seperti cahaya yang menstabilkan hati, membuat seorang mukmin tetap tenang meski di sekelilingnya terjadi gejolak. Ketenangan ini bukan hasil latihan jiwa atau kekuatan diri, melainkan anugerah ilahi yang menumbuhkan keberanian, kesabaran, dan keyakinan yang kuat.

Baca: Doa Keharmonisan Rumah Tangga ala Ning Uswah

Posisi sakinah

Al-Qur’an menempatkan sakinah sebagai inti dari hubungan suami istri. Keberadaannya bukan hanya memunculkan rasa tenang, tetapi juga kekuatan batin yang menumbuhkan kedamaian dan keseimbangan di antara dua jiwa yang berbeda.

Dalam pandangan ilahi, rumah tangga tidak dibangun dari cinta yang meluap-luap atau janji manis di bibir, melainkan dari ketenangan yang menumbuhkan rasa aman, saling percaya, dan penerimaan tulus. Prinsip ini tertuang dalam QS. Ar-Rum: 21. Allah Swt berfirman:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa salah satu bukti kebesaran Allah tampak dalam penciptaan pasangan laki-laki dan perempuan. Tujuannya agar manusia saling tertarik, menumbuhkan cinta, serta memperoleh ketenangan melalui ikatan pernikahan. Semua itu merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat Allah kepada hamba-Nya.

Melalui pasangan, Allah menghadirkan ketenteraman dan keharmonisan, menegaskan bahwa setiap unsur kehidupan diciptakan untuk saling melengkapi dalam keseimbangan yang sempurna. Inilah tanda kebesaran dan kebijaksanaan-Nya bagi mereka yang mau berpikir dan merenung.

Sakinah menjadi fondasi bagi tumbuhnya mawaddah (cinta yang aktif) dan rahmah (kasih yang mendalam).

Ketika sakinah hadir, pertengkaran menjadi ruang memahami, perbedaan menjadi sarana belajar, dan cinta menjadi ibadah yang menenteramkan.

Prof. KH. M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an (1996) menyebutkan bahwa sakinah merupakan suasana hati yang tenteram karena adanya rasa aman, saling percaya, dan kasih dalam bingkai rida Allah. Dengan demikian, sakinah bukan sekadar kondisi psikologis, tetapi energi ilahi yang menumbuhkan harmoni dan keberkahan dalam kehidupan rumah tangga.

Imam Ibn Faris dalam Mu‘jam Maqayis al-Lughah menjelaskan bahwa sakinah memiliki akar kata “s-k-n,” yang bermakna ats-tsubut wal-istiqrar (ketetapan dan keberhentian). Dari sini muncul kata maskan (tempat tinggal), yakni tempat seseorang menetap dan merasa aman. Hubungan ini menunjukkan bahwa sakinah dan maskan memiliki akar makna yang sama, yakni keduanya menggambarkan kondisi damai, baik lahir maupun batin.

Penjelasan ini sejalan dengan QS. An-Nahl: 80. Allah Swt berfirman:

وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْۢ بُيُوْتِكُمْ سَكَنًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ جُلُوْدِ الْاَنْعَامِ بُيُوْتًا تَسْتَخِفُّوْنَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ اِقَامَتِكُمْ ۙ وَمِنْ اَصْوَافِهَا وَاَوْبَارِهَا وَاَشْعَارِهَآ اَثَاثًا وَّمَتَاعًا اِلٰى حِيْنٍ

“Allah menjadikan bagimu rumah sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagimu dari kulit binatang ternak (sebagai) rumah (kemah) yang kamu merasa ringan (membawa)-nya pada waktu kamu bepergian dan bermukim. (Dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing peralatan rumah tangga serta kesenangan sampai waktu (tertentu).”

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Jami‘ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa kata sakana berarti tempat tinggal yang memberikan ketenangan dan perlindungan bagi tubuh serta jiwa manusia. Menurutnya, rumah merupakan salah satu nikmat besar Allah karena membuat manusia merasa aman dari panas, dingin, hujan, dan bahaya luar.

Al-Qurthubi menegaskan bahwa makna sakan tidak berhenti pada fungsi fisik rumah, tetapi juga mencakup ketenteraman batin yang menumbuhkan rasa aman dan kedekatan antaranggota keluarga. Rumah adalah tempat bernaungnya cinta, kasih sayang, dan kedamaian (pusat kehidupan sosial dan emosional manusia). Keberadaannya menjadi simbol rahmat dan kebijaksanaan Allah yang mengetahui kebutuhan manusia akan keseimbangan jasmani dan rohani.

Baca: Ayat-ayat Perkawinan

Cermin kelelahan

Kolom komentar unggahan video “Tepuk Sakinah” banyak diwarnai respons sinis. Tidak sedikit warganet yang pesimistis bahwa inovasi semacam itu dapat mengurangi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Reaksi tersebut menunjukkan kejenuhan masyarakat terhadap simbol-simbol agama yang tidak sejalan dengan perilaku. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. Ash-Shaff: 2–3:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.”

Syekh Ali Ash-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir menegaskan bahwa termasuk golongan yang ucapannya tidak sejalan dengan perbuatannya adalah mereka yang gemar menyuruh orang lain berbuat baik, tetapi enggan melakukannya; serta mereka yang lantang melarang kemungkaran, namun tidak menahan diri dari perbuatan yang sama.

Peringatan ini terasa relevan dengan fenomena “Tepuk Sakinah” yang menuai kritik warganet. Banyak yang menilai ekspresi simbolik bernuansa agama seperti itu terasa kosong makna ketika tidak dibarengi akhlak yang selaras. Reaksi publik mencerminkan kejenuhan terhadap praktik keberagamaan yang berhenti pada slogan dan tepukan, tanpa tercermin dalam perilaku nyata.

Baca: Fikih Nikah Berkeadilan

Batas kreativitas

Sebagian pihak berpendapat bahwa “Tepuk Sakinah” adalah bentuk kreativitas dalam syiar. Namun, dalam pandangan Al-Qur’an, kreativitas tetap memiliki batas adab dan kedalaman makna. Hal ini dijelaskan dalam QS. An-Nahl: 125. Allah Swt berfirman:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah) dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”

Imam Al-Baghawi dalam Ma‘alim at-Tanzil menjelaskan bahwa kalimat mau‘izhah hasanah bukan berarti ajakan dengan suara lantang atau gaya yang ramai, melainkan nasihat yang menyentuh hati, disampaikan dengan kelembutan dan ketulusan sehingga pendengar tersentuh, bukan sekadar terhibur. Artinya, syiar yang baik tidak cukup membuat orang tertawa atau bertepuk tangan bersama, tetapi harus menggugah hati dan menumbuhkan renungan.

Di sinilah batas penting kreativitas dakwah Islam, boleh tampil ceria, ringan, atau kekinian, selama tidak kehilangan ruh nasihatnya. Jika syiar hanya ramai secara lahiriah tetapi kosong secara batiniah, maka ia belum mencapai derajat mau‘izhah hasanah yang diajarkan Al-Qur’an.

Baca: 5 Prinsip Kesalingan Suami-istri

Ukuran keberhasilan

Keberhasilan dakwah dalam pandangan Al-Qur’an tidak diukur dari seberapa viral penyampaiannya, melainkan dari sejauh mana ia menumbuhkan takwa dalam diri manusia.

Dalam konteks ini, inovasi seperti “Tepuk Sakinah” memang terdengar menarik dan diklaim sebagai cara kreatif untuk menanamkan nilai keharmonisan keluarga. Namun klaim itu masih sebatas wacana. Hingga kini belum ada bukti nyata bahwa tepuk-tepukan seremonial dapat menciptakan keluarga yang lebih sabar, saling menghormati, atau lebih taat kepada Allah. Tanpa dampak nyata pada akhlak, syiar hanya menjadi pertunjukan, bukan petunjuk.

Ukuran keberhasilan kreativitas dakwah dijelaskan dalam QS. Al-‘Ankabut: 69. Allah Swt berfirman:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menafsirkan kalimat lanahdiyannahum subulana bahwa siapa pun yang berjihad dalam ketaatan akan Allah tunjukkan jalan menuju surga baginya. Ia juga menambahkan, orang yang bersungguh-sungguh dalam belajar akan memperoleh petunjuk dari ilmu-Nya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.