Ikhbar.com: Krisis iklim kini menjadi ancaman nyata di era modern. Hutan rusak secara masif, spesies punah satu per satu, dan bencana ekologis datang silih berganti. Fenomena ini adalah kenyataan yang menguji keberlanjutan hidup manusia dan alam semesta.
Dalam konteks ini, Maulid Nabi Muhammad Saw menemukan relevansinya. Peringatan kelahiran Rasulullah Saw bukan hanya perayaan seremonial keagamaan, melainkan juga momentum untuk menghidupkan kembali pesan beliau sebagai rahmatan lil ‘alamin—kasih sayang yang meliputi manusia, makhluk hidup lain, dan alam semesta.
Baca: Biodata Lengkap Rasulullah: Dari Keluarga, Senjata, hingga Makanan yang Paling Disuka
Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Anbiya: 107:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an menafsirkan ayat ini sebagai gambaran hakikat risalah Nabi Muhammad Saw. Islam adalah rahmat yang Allah turunkan untuk seluruh alam. Rahmat itu, menurutnya, bukan hanya kelembutan perasaan, melainkan sistem hidup yang membebaskan manusia dari penindasan.
Rahmat yang dibawa Rasulullah Saw terlihat dalam pembebasan manusia dari tirani penguasa zalim, dari tradisi jahiliyah yang membelenggu, serta dari perbudakan hawa nafsu yang merusak fitrah. Dengan diutusnya Nabi, manusia diarahkan kembali pada hubungan langsung dengan Allah tanpa perantara, melalui sistem yang menghadirkan keadilan, kasih sayang, dan persaudaraan universal.
Baca: Mengapa Nama ‘Muhammad’ begitu Mulia?
Rahmat ini, kata Sayyid Quthb, melampaui batas keyakinan dan kelompok. Bagi orang beriman, ia hadir dalam bentuk petunjuk hidup dan janji keselamatan. Bagi yang menolak, rahmat tetap ada berupa tertahannya azab di dunia. Lebih jauh lagi, seluruh manusia merasakan manfaat dari tatanan sosial dan nilai-nilai yang dibawa Islam—nilai yang menegakkan martabat, melawan penindasan, dan menebarkan kedamaian.
Sementara itu, Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menafsirkan QS. Al-Anbiya: 107 dengan pendekatan berbeda. Ia melihat rahmat Nabi Muhammad Saw tidak hanya dalam dimensi syariat atau akhlak, tetapi juga dalam makna kosmologis: keberadaan Nabi sebagai sumber keseimbangan spiritual bagi seluruh makhluk.
Menurut Imam ar-Razi, rahmat Nabi memiliki dua lapisan utama. Pertama, rahmat duniawi berupa syariat yang adil, ilmu yang tercerahkan, serta tata kehidupan yang membawa ketenteraman. Kedua, rahmat ukhrawi berupa ampunan Allah dan syafaat Nabi di akhirat. Kedua dimensi ini saling melengkapi, menjadikan Rasulullah Saw rahmat yang menyeluruh bagi manusia.
Lebih jauh, ar-Razi menambahkan dimensi lain yang jarang ditegaskan mufasir lain, yakni Nabi adalah rahmat yang menjaga keseimbangan spiritual kosmos. Dengan diutusnya beliau, dunia tidak hanya memperoleh pedoman hidup, tetapi juga stabilitas batin dan arah ruhani. Risalah Nabi menjadi energi yang menyeimbangkan hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama, dan dengan alam semesta.
Baca: Nama-nama Lain Nabi Muhammad
Ragam rahmat
1. Rahmat untuk manusia
Rahmat Allah Swt bagi manusia tampak melalui akhlak, syariat, dan keadilan. Akhlak mulia menjadi cermin kemanusiaan. Hal ini ditegaskan Allah dalam QS. Al-Qalam: 4:
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Imam at-Tabari dalam Jami‘ al-Bayan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan khuluqin ‘azhim adalah akhlak mulia yang mencakup seluruh kebaikan, mulai dari kesabaran, kasih sayang, hingga keteguhan menegakkan kebenaran.
Menurut Imam al-Qurthubi dalam Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, akhlak agung Nabi Saw tercermin dalam seluruh perilakunya yang selaras dengan ajaran Al-Qur’an. Ayat ini menegaskan bahwa misi Nabi bukan hanya menyelamatkan manusia dari kegelapan jahiliyah, tetapi juga menghadirkan rahmat bagi seluruh alam.
Baca: Amanat Kesalingan Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Al-Qur’an
Selain akhlak, syariat hadir sebagai pedoman agar manusia tetap berada di jalan lurus. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Jatsiyah: 18:
وَلَقَدْ اٰتَيْنَا بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلَى الْعٰلَمِيْنَ ۚ
“Sungguh, Kami benar-benar telah menganugerahkan kepada Bani Israil kitab suci, hukum, dan kenabian. Kami pun telah menganugerahkan kepada mereka rezeki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu).”
Menurut Imam Ibn Katsir, ayat ini menunjukkan keistimewaan Rasulullah Saw yang tidak hanya melanjutkan misi para nabi sebelumnya, tetapi juga membawa aturan hidup yang lengkap, mencakup akidah, ibadah, hingga muamalah sosial.
Ibn Katsir menekankan bahwa ayat ini berisi perintah untuk istikamah mengikuti aturan Allah, bukan menuruti hawa nafsu atau tren yang tidak bersandar pada ilmu.
Selain itu, keadilan sudah sepatutnya menjadi prinsip utama dalam menata kehidupan bersama.
Prinsip ini tertuang dalam QS. An-Nahl: 90:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.”
Baca: Yuhyi wa Yumit, Pesan Keberlangsungan Hidup dalam Karya Efek Rumah Kaca
2. Rahmat untuk hewan
Rahmat Islam juga mencakup hewan. Nabi Muhammad Saw menegaskan larangan menyiksa binatang. Beliau bahkan menegur sahabat yang mengambil anak burung hingga membuat induknya gelisah.
Kisah tersebut terdapat dalam hadis riwayat Abu Dawud:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ، فَانْطَلَقَ لِحَاجَتِهِ، فَرَأَيْنَا حُمَّرَةً مَعَهَا فَرْخَانِ، فَأَخَذْنَاهُمَا، فَجَاءَتِ الْحُمَّرَةُ فَجَعَلَتْ تَفْرُشُ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: «مَنْ فَجَعَ هَذِهِ بِوَلَدِهَا؟ رُدُّوا وَلَدَهَا إِلَيْهَا
“Dari Abdullah bin Mas‘ud berkata: Kami bersama Rasulullah Saw dalam suatu perjalanan. Beliau pergi untuk suatu keperluan, lalu kami melihat seekor burung merah bersama dua anaknya. Kami pun mengambil kedua anaknya. Burung itu datang berputar-putar dengan gelisah. Kemudian Nabi Saw datang dan bersabda: ‘Siapa yang membuat burung ini kehilangan anaknya? Kembalikanlah anaknya kepadanya.'”
3. Rahmat untuk tumbuhan
Rahmat Islam meliputi tumbuhan. Nabi Muhammad Saw melarang menebang pohon sembarangan dan menganjurkan menanam, bahkan jika kiamat sudah di ambang mata.
Hadis riwayat Ahmad menegaskan:
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمُ الْفَسِيلَةُ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Jika kiamat terjadi sementara di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit pohon kurma, maka jika ia mampu menanamnya sebelum kiamat datang, hendaklah ia menanamnya.”
Hadis ini menunjukkan perhatian Islam terhadap kelestarian alam. Menanam pohon bukan hanya menjaga lingkungan, tetapi juga amal kebaikan yang bernilai ibadah.
Baca: 10 Tahun lagi Sampah Plastik tak Tertampung Bumi
4. Rahmat untuk bumi
Rahmat Islam juga tampak dalam cara manusia memperlakukan bumi. Nabi Muhammad Saw mencontohkan hidup sederhana, jauh dari sikap berlebihan yang merusak alam dan menumbuhkan keserakahan.
Prinsip ini sejalan dengan QS. Al-A‘raf: 31:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”
Imam al-Baghawi dalam Ma‘alim at-Tanzil menjelaskan bahwa kalimat “wakulu wasyrabu wala tusrifu” bukan hanya soal adab berpakaian, tetapi juga pola konsumsi. Allah membolehkan makan dan minum, tetapi melarang sikap berlebihan. Israf mencakup seluruh bentuk konsumsi yang melampaui kebutuhan.
Baca: Pentingnya Kurikulum Tata Kelola Sampah di Sekolah
Maulid Nabi dalam bingkai ekologis
Kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah hadirnya rahmat yang menyelamatkan, bukan hanya manusia dari kegelapan jahiliyah, tetapi juga alam dari eksploitasi tanpa etika.
Rasulullah Saw dikenal peduli terhadap kelestarian lingkungan. Beliau melarang berlebih-lebihan dalam menggunakan air, bahkan ketika berwudhu di sungai yang mengalir. Hadis riwayat Ibnu Majah menegaskan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ: «مَا هَذَا السَّرَفُ؟ فَقَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ؟ قَالَ: «نَعَمْ، وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهْرٍ جَارٍ
“Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah Saw melewati Sa‘d ketika ia sedang berwudhu. Beliau bersabda: ‘Apa ini berlebih-lebihan?’ Sa‘d bertanya: ‘Apakah dalam wudhu ada sikap berlebih-lebihan?’ Beliau menjawab: ‘Ya, sekalipun engkau berada di sungai yang mengalir.'”
Selain itu, Rasulullah Saw juga menegaskan pentingnya menjaga pohon dan tanaman, bahkan dalam kondisi peperangan, sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan Imam Thabrani:
وَلَا تَقْطَعُوا شَجَرًا مُثْمِرًا
“Dan janganlah kalian menebang pohon yang berbuah.”
Dari sinilah Maulid Nabi dapat dimaknai sebagai momentum untuk membangkitkan kesadaran ekologis umat. Menjaga bumi bukan perkara sampingan, melainkan bagian dari teladan Nabi Saw.
Prinsip ini sejalan dengan QS. Al-A‘raf: 56:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”