OTT Korupsi dan Alarm Keras Al-Qur’an

Korupsi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat dan tanggung jawab jabatan.
Ilustrasi seorang pejabat sedang tertangkap tangan dalam OTT KPK. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Belum lama ini, rakyat Indonesia kembali disuguhi kabar Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap seorang pejabat negara.

Tindakan OTT tidak hanya mencerminkan persoalan hukum, tetapi juga membuka ruang refleksi bahwa praktik korupsi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah jabatan, yang secara tegas dikecam dalam Al-Qur’an.

Baca: Ayat-ayat Antikorupsi

Jabatan adalah amanah

Dalam pandangan Al-Qur’an, jabatan adalah amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Kepemimpinan bukanlah hak istimewa, melainkan titipan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Karena itu, setiap penyalahgunaan kekuasaan, termasuk korupsi, pada hakikatnya merupakan pengkhianatan terhadap amanah.

Imbauan untuk menunaikan amanah ini tertuang dalam QS. An-Nisa: 58. Allah Swt berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Dalam Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, Imam At-Thabari menjelaskan bahwa ayat ini memerintahkan manusia untuk menjaga segala bentuk amanah. Amanah mencakup seluruh aspek, baik pribadi maupun publik, seperti harta, tugas, jabatan, hingga kepemimpinan.

Imam At-Thabari menekankan bahwa menjaga amanah merupakan pilar utama kehidupan bermasyarakat. Pengkhianatan terhadapnya menimbulkan kerusakan dan hilangnya kepercayaan. Ayat ini juga menegaskan bahwa amanah bukan hanya urusan duniawi, tetapi bernilai ibadah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Dengan demikian, seorang Muslim dituntut menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran, serta menolak segala bentuk penyalahgunaan wewenang yang merugikan orang lain.

Baca: Tafsir QS. Yasin Ayat 65: Sidang Koruptor di Akhirat

Korupsi sebagai bentuk pengkhianatan

Korupsi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat dan tanggung jawab jabatan. Setiap rupiah yang diselewengkan menjadi bukti nyata pengkhianatan terhadap kepercayaan publik sekaligus pelecehan terhadap nilai moral dan agama.

Korupsi menyalahi prinsip keadilan, merampas hak masyarakat, dan merusak fondasi kepercayaan dalam kehidupan berbangsa. Karena itu, ia pantas disebut sebagai bentuk khianat terbesar terhadap bangsa, negara, dan Tuhan yang memberi amanah.

Ancaman ini tergambar dalam QS. Al-Baqarah: 188. Allah Swt berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa urusan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Imam Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azim menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan larangan keras mengambil harta orang lain dengan cara batil, baik melalui penipuan, pencurian, riba, maupun suap kepada hakim untuk memenangkan perkara yang tidak benar.

Dalam konteks modern, praktik ini sejalan dengan fenomena korupsi yang marak di berbagai lini kehidupan. Korupsi tidak hanya berupa penggelapan uang negara, tetapi juga mencakup penyalahgunaan jabatan, rekayasa hukum, hingga praktik suap yang melanggengkan kezaliman.

Al-Qur’an menegaskan bahwa perbuatan semacam korupsi mengandung kezaliman ganda, yakni merugikan orang lain sekaligus merusak tatanan sosial.

Di sisi lain, QS. Ali Imran: 161 juga mengecam tindakan pejabat yang berkhianat terhadap amanah. Allah Swt berfirman:

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّ ۗوَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

“Tidak layak seorang nabi menyelewengkan (harta rampasan perang). Siapa yang menyelewengkannya, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang diselewengkannya itu. Kemudian, setiap orang akan diberi balasan secara sempurna sesuai apa yang mereka lakukan dan mereka tidak dizalimi.”

Dalam Tafsir Al-Mishbah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab menegaskan bahwa ayat ini adalah peringatan keras bagi siapa pun yang berkhianat terhadap amanah, khususnya terkait harta publik. Kata ghulul bermakna penggelapan, pengkhianatan, atau penyalahgunaan. Makna ini tidak hanya mencakup pencurian tersembunyi, tetapi juga segala bentuk penyalahgunaan wewenang.

Tafsir ini menekankan bahwa harta yang dikhianati, sekecil apa pun, akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah pada hari kiamat. Dalam konteks saat ini, praktik korupsi dapat digolongkan sebagai ghulul karena merupakan pengkhianatan nyata terhadap amanah publik.

Baca: Teguran Keras Nabi kepada Para Pelaku Korupsi

Dampak sosial 

Pengkhianatan jabatan sudah barang tentu akan menimbulkan dampak sosial yang serius. Tindakan ini merusak keadilan karena keputusan tidak lagi berpihak pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pribadi.

Terkait prinsip keadilan, Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Maidah: 8:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah dan saksi-saksi yang berlaku adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Dalam Tafsir Jalalain, Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan bahwa ayat ini mengingatkan umat Islam untuk menegakkan keadilan tanpa dipengaruhi kebencian terhadap pihak tertentu.

Allah memerintahkan orang beriman agar menegakkan kebenaran semata-mata karena-Nya, bukan demi kepentingan pribadi atau golongan. Bahkan ketika berhadapan dengan pihak yang dibenci sekalipun, seorang Muslim tetap dituntut berlaku adil. Sebab, keadilan adalah nilai ilahi yang mendekatkan manusia pada takwa serta menjamin kemaslahatan bersama.

Baca: Prof. Quraish Shihab: Koruptor adalah Pencuri

OTT sebagai peringatan moral

OTT bukan sekadar proses hukum, tetapi juga alarm moral yang mengetuk nurani bangsa. Seorang pejabat, terlebih Muslim, seharusnya menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman etika kepemimpinan agar terhindar dari jerat korupsi yang merusak martabat.

Allah menegaskan pentingnya mencegah keburukan melalui QS. Ali Imran: 104. Allah Swt berfirman:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Menurut Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, ayat ini menegaskan kewajiban adanya kelompok yang konsisten menegakkan amar makruf nahi munkar. Perintah ini bukan sekadar ajakan moral, melainkan kewajiban sosial dan politik yang melekat pada umat Islam.

Apabila keburukan dan kemungkaran, termasuk korupsi, dibiarkan tanpa koreksi, kerusakan akan meluas dan meruntuhkan tatanan masyarakat. Mereka yang menegakkan amar makruf nahi munkar dijanjikan al-falah, yakni keberuntungan berupa kejayaan di dunia dan keselamatan di akhirat.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.