Ikhbar.com: Kolom komentar sebuah postingan Instagram berpengikut massal kerap ditemukan pertanyaan “Rekomendasi obat mata minus, dong?” Lantas, hanya sepersekian menit kemudian, muncul sejumlah balasan yang mengarahkan kepada produk tertentu dilengkapi dengan pengakuan khasiat penggunaannya.
Secara sekilas, rentetan komentar tersebut tidak mengganggu atau merugikan pihak lain. Bahkan, seakan menghadirkan informasi tentang suatu produk secara lugas dan meyakinkan berdasarkan testimoni pelanggannya. Akan tetapi, jika hal tersebut ditemukan secara rutin, serempak, dan tidak memedulikan keterkaitannya dengan caption unggahan si empu akun, maka hal itu bisa menjadi sangat mengganggu.
Belum lagi, jika balasan demi balasan komentar tersebut dicurigai hanyalah sebabak rekayasa demi menggaet calon pembeli.
Para pemerhati teknologi dan informasi pun telah memasukkan fenomena tersebut sebagai spam yang mengganggu. Instagram sendiri sempat mengancam akan memperketat pergerakan akun-akun liar tersebut.
Lantas, seperti apa hukum Islam memandang tren jual beli berdasarkan testimoni yang meragukan tersebut?
Islam melarang segala bentuk transaksi jual beli yang merugikan salah satu pihak. Termasuk melalui testimoni palsu atau dalam fikih sebagai bagian dari praktik ba’i najasy.
Jual beli najasy adalah seseorang yang berpura-pura melakukan penawaran terhadap suatu barang, akan tetapi dia tidak bermaksud atau tidak memiliki niat (keinginan) untuk membeli barang tersebut. Motivasi orang tersebut lebih untuk memberikan keuntungan kepada penjual atau menjerumuskan calon pembeli yang lain yang sungguh-sungguh ingin membeli barang tersebut. Orang yang melakukan najasy disebut dengan istilah naajisy.
Rasulullah Muhammad Sawbersabda;
وَلاَ تَنَاجَشُوا
“ .. dan janganlah kalian melakukan jual beli najasy … “ (HR. Bukhari).
Juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, dia berkata;
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّجْشِ
“Nabi Saw melarang dari jual beli najasy.” (HR. Bukhari).
Dalam Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Al-Rafii menegaskan bahwa haramnya praktik najasy disebabkan merugikan pedagang lain (idlrar).
واستشكل الرافعي الفرق بأن البيع على بيع أخيه إضرار، والإضرار يشترك في علم تحريمه كل أحد
“Imam Al-Rafii menganggap sulit untuk memerinci mengenai illat yang menyebabkan dilarangnya jual beli najasy adalah karena adanya unsur idlrar (niat merugikan) terhadap jual beli saudaranya. Keharaman idlrar adalah sama baik seseorang mengetahui dalil keharaman atau tidak.”
Di sisi yang lain, para ulama menekankan keharaman najasy karena ditemukannya unsur khadi’ah (kepalsuan/kamuflase).
وأجاب الشارحون بأن النجش خديعة، وتحريم الخديعة واضح لكل أحد، وإن لم يعلم هذا الحديث بخصوصه
“Para penyarah kitab menjawab bahwa praktik najsy dilarang sebab unsur khadi’ah. Keharaman khadi’ah (testimoni palsu) ini merupakan yang jelas bagi setiap orang, kendati ia belum mengetahui penjelasan hadis yang menunjukkan larangan tersebut secara khusus. Lain halnya, dengan jual belinya seseorang terhadap barang yang masih ditawar oleh saudaranya, maka larangan itu tidak diketahui oleh setiap orang, (melainkan yang bersangkutan semata).”
Secara lebih tegas, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa keharaman najasy bisa menimbulkan dosa bagi para pelakunya.
ويقع ذلك بمواطأة البائع فيشتركان في الإثم ويقع ذلك بغير علم البائع فيختص بذلك الناجش وقد يختص به البائع كمن يخبر بأنه اشترى سلعة بأكثر مما اشتراها به ليغر غيره
“(Jual beli najasy) terjadi bisa dengan adanya persekongkolan dengan penjual, sehingga keduanya (penjual dan naajisy) sama-sama berdosa. Bisa juga terjadi tanpa sepengetahuan penjual, sehingga hanya naajisy yang mendapatkan dosa. Selain itu, bisa jadi hanya dilakukan oleh penjual saja. Misalnya, penjual mengatakan bahwa dia membeli barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari harga penawaran pembeli untuk menipunya.”
Kesimpulannya, testimoni palsu termasuk tindakan khadi’ah. Hukumnya adalah haram, terlebih jika memenuhi sebab dua hal, yakni niat merugikan orang lain secara sengaja, dan niat untuk melaukan penipuan.