Ikhbar.com: Banjir yang masih menggenangi sejumlah wilayah di Sumatera menghadirkan situasi hidup yang tidak biasa. Rumah terendam, akses jalan terputus, masjid sulit dijangkau, pakaian bercampur lumpur, dan air bersih tidak selalu tersedia. Dalam kondisi seperti ini, sebagian warga mulai mempertanyakan satu hal mendasar: bagaimana menunaikan kewajiban salat ketika hampir semua syarat ideal ibadah tidak terpenuhi.
Pertanyaan tersebut wajar. Islam tidak memerintahkan ibadah dalam ruang hampa. Setiap ketentuan selalu berangkat dari realitas manusia, termasuk saat berada dalam situasi darurat seperti bencana banjir. Karena itu, fikih tidak berhenti pada teks, tetapi bergerak sebagai panduan hidup yang relevan dengan keadaan.
Baca: Beda Makna Musibah, Cobaan, dan Azab dalam Al-Qur’an
Konsekuensi ibadah
Dalam literatur keislaman, banjir termasuk kategori musibah. Syekh Ismail Haqqy menjelaskannya secara ringkas dalam Tafsīr Rūḥ al-Bayān:
مُصِيبَةٌ هِيَ مَا يُصِيبُ الْإِنْسَانَ مِنْ مَكْرُوهٍ
“Musibah adalah segala sesuatu yang menimpa manusia berupa hal yang tidak menyenangkan.”
Makna ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad Saw, yang diriwayatkan dari ‘Ikrimah:
رُوِيَ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ مِصْبَاحَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْطَفَأَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَقَالَ: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. فَقِيلَ: أَمُصِيبَةٌ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، كُلُّ مَا آذَى الْمُؤْمِنَ فَهُوَ مُصِيبَةٌ
Diriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa pelita Rasulullah Saw padam pada suatu malam. Nabi mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilayhi rāji‘ūn.” Para sahabat bertanya, “Apakah ini termasuk musibah?” Rasulullah menjawab, “Ya. Setiap hal yang menyusahkan orang mukmin adalah musibah.” (HR. Ahmad)
Akan tetapi, dalam fikih, status musibah tidak otomatis menggugurkan kewajiban ibadah pokok. Salat tetap berada pada posisi yang tidak bisa ditinggalkan. Kewajiban ini ditegaskan secara eksplisit oleh Taqiyuddin asy-Syafi‘i dalam Kifāyat al-Akhyār:
وَالْأَصْلُ فِي وُجُوبِهَا قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ﴾، وَتَوَاتَرَتِ الْأَحَادِيثُ فِيهَا، وَانْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى ذَلِكَ
“Dasar kewajiban salat adalah firman Allah ‘Dirikanlah salat’. Hadis-hadis tentangnya diriwayatkan secara mutawatir, dan ijmak ulama telah menetapkannya.”
Berdasarkan pada rumusan ini, fikih menempatkan salat sebagai kewajiban yang tetap berjalan, meski kondisi sekitar jauh dari ideal.
Baca: [Update] Jumlah Korban Tewas, Hilang, Mengungsi, dan Wilayah Terdampak Banjir Sumatera
Salat dalam keterbatasan
Persoalan utama bagi korban banjir kerap muncul pada aspek bersuci. Tidak semua tempat menyediakan air yang layak, sementara debu suci untuk tayamum juga sulit diperoleh. Dalam terminologi fikih, kondisi seperti ini dikenal dengan istilah faqidut thahurain.
Syekh Wahbah az-Zuhayli menguraikannya dalam Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh:
فَاقِدُ الطَّهُورَيْنِ هُوَ فَاقِدُ الْمَاءِ وَالتُّرَابِ، كَأَنْ يُحْبَسَ فِي مَكَانٍ لَيْسَ فِيهِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا، أَوْ يَكُونَ فِي مَوْضِعٍ نَجِسٍ لَا يُمْكِنُهُ إِخْرَاجُ تُرَابٍ مُطَهِّرٍ، أَوْ يَجِدَ مَاءً يَحْتَاجُ إِلَيْهِ لِلْعَطَشِ، أَوْ يَجِدَ تُرَابًا نَدِيًّا لَا يَقْدِرُ عَلَى تَجْفِيفِهِ، وَمِثْلُهُ مَنْ عَجَزَ عَنِ الْوُضُوءِ وَالتَّيَمُّمِ لِمَرَضٍ وَنَحْوِهِ
“Faqidut thahurain adalah orang yang tidak menemukan air dan debu; seperti orang yang terkurung di tempat tanpa keduanya, berada di lokasi najis sehingga tidak mungkin memperoleh debu suci, mendapati air yang harus diprioritaskan untuk menghilangkan haus, menemukan debu basah yang tidak dapat dikeringkan, atau orang sakit yang tidak mampu berwudu dan bertayamum.”
Ulama berbeda pendapat mengenai cara menunaikan salat dalam kondisi ini. Mazhab Syafi‘i dan Hanafi mewajibkan salat sesuai kemampuan, kemudian mengulanginya ketika bersuci memungkinkan. Mazhab Hanbali mewajibkan salat tanpa mengulang, sedangkan mazhab Maliki memiliki dua pendapat.
Pandangan mazhab Syafi‘i ditegaskan dalam Kifāyat al-Akhyār:
فَإِنَّ فَاقِدَ الطَّهُورَيْنِ يَجِبُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ، وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ، وَتُوصَفُ صَلَاتُهُ بِالصِّحَّةِ
“Orang yang tidak mendapatkan air dan debu tetap wajib salat sesuai kondisinya, wajib mengulanginya, dan salat tersebut dihukumi sah.”
Dalam konteks Indonesia, pendapat ini menjadi rujukan utama. Korban banjir tetap melaksanakan salat pada waktunya sebagai penghormatan terhadap waktu salat, lalu melakukan qadha ketika kondisi sudah memungkinkan untuk bersuci secara sempurna.
Baca: Tutorial Salat Jamak Qashar Lengkap dengan Bacaan Niat, Latin, dan Terjemahannya
Jamak dan qadha
Kitab-kitab fikih tidak menyebut banjir secara eksplisit sebagai sebab jamak salat. Namun, pembahasan mengenai lumpur, kesulitan berat, dan kondisi darurat memiliki relevansi yang kuat.
Imam an-Nawawi menuliskan dalam Raudhatut Thālibīn:
الْمَعْرُوفُ فِي الْمَذْهَبِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بِالْمَرَضِ وَلَا الْخَوْفِ وَلَا الْوَحْلِ، وَقَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا: يَجُوزُ بِالْمَرَضِ وَالْوَحْلِ
“Pendapat yang dikenal dalam mazhab menyebutkan bahwa jamak tidak dibolehkan karena sakit, rasa takut, dan lumpur. Namun sebagian ulama Syafi‘iyah membolehkan jamak karena sakit dan lumpur.”
Pendapat ini diperkuat oleh hadis Ibnu Abbas:
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ
“Rasulullah Saw pernah menjamak salat di Madinah tanpa sebab rasa takut dan tanpa hujan.”
Dalam kondisi banjir besar—evakuasi darurat, keterbatasan akses, dan sarana ibadah yang tidak layak—unsur kesulitan nyata telah terpenuhi. Atas dasar ini, jamak salat dapat dilakukan sebagai rukhsah, dengan catatan tidak dijadikan kebiasaan dan dihentikan ketika situasi membaik.
Baca: Muslim Wajib Tahu, Ini 6 Fardu dalam Wudu
Wudu dengan air banjir
Air bersih tetap menjadi pilihan utama untuk berwudu. Namun, apabila hanya tersedia air banjir yang keruh akibat tanah atau endapan alamiah, air tersebut tetap sah digunakan selama tidak tercemar najis yang mengubah bau, rasa, atau warna secara dominan.
Syekh Abdullah Bafadhal menjelaskan dalam al-Muqaddimah al-Ḥaḍramiyyah:
وَلَا يَضُرُّ تَغَيُّرُهُ بِمَكْثٍ وَتُرَابٍ وَطَحْلَبٍ
“Perubahan air karena lama mengendap, tanah, dan lumut tidak membahayakan kesuciannya.”
Penegasan ini sejalan dengan pendapat Syekh Zakaria al-Anshari dalam Fatḥ al-Wahhāb:
لِأَنَّ تَغَيُّرَهُ بِالتُّرَابِ لَا يَمْنَعُ إِطْلَاقَ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ
“Perubahan air karena tanah tidak menghalangi penyebutan air sebagai air secara mutlak.”
Jika muncul keraguan, fikih menetapkan hukum asal. Hal ini ditegaskan dalam Busyra al-Karīm:
فَالْأَصْلُ يَقِينُ طَهُورِيَّتِهِ، فَلَا تَزُولُ بِالشَّكِّ
“Hukum asal air adalah suci dan menyucikan, serta tidak gugur hanya karena keraguan.”
Banjir menghadirkan keadaan yang serba terbatas, tetapi tidak memutus relasi manusia dengan kewajiban ibadah. Fikih memberikan jalan yang terukur: salat tetap dilaksanakan, bersuci dilakukan sesuai kemampuan, dan keringanan diambil tanpa melampaui batas. Dalam kerangka ini, syariat hadir menjaga keseimbangan antara keteguhan hukum dan kenyataan hidup manusia di tengah musibah.