Hukum Jual Beli Pasokan Air Bersih dari Sumber Alam

Apakah pasokan air bersih dari sumber alam boleh diperjualbelikan?
Ilustrasi proses produksi pada perusahaan air minum. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Peningkatan kebutuhan air bersih dalam beberapa tahun terakhir membuat layanan distribusi air menjadi sektor vital, baik oleh perusahaan daerah (PDAM), perusahaan swasta, maupun kelompok masyarakat di desa-desa. Infrastruktur pengolahan air baku, jaringan pipa, tandon, hingga biaya pemeliharaan menjadikan air tidak lagi sekadar sumber alam, tetapi bagian dari sistem layanan publik. Kondisi ini memunculkan pertanyaan fikih: apakah pasokan air bersih dari sumber alam boleh diperjualbelikan?

Pertanyaan ini penting, karena dalam fikih, air termasuk kebutuhan dasar yang tidak boleh dimonopoli. Pada saat yang sama, air dapat menjadi objek usaha ketika sudah melalui proses pengolahan dan kerja manusia. Perbedaan inilah yang menjadi titik bahasan para ulama.

Baca: Fikih Hemat Air, Berkaca dari Krisis di Malaysia

Kepemilikan umum

Dalam tradisi fikih, sumber air seperti sungai, mata air, dan danau termasuk kategori al-mubāḥāt, yaitu sumber daya yang pada asalnya merupakan milik bersama. Landasannya antara lain sabda Nabi Muhammad Saw:

لَا يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعَ بِهِ الْكَلَأُ

“Janganlah sisa air dicegah (dari orang lain), sehingga dengan itu seseorang dapat menguasai padang rumput.” (HR. Bukhārī).

Hadis ini menjadi dasar bahwa akses publik terhadap air baku tidak boleh ditutup oleh siapa pun.  Karena itu, sebelum dikelola, air tidak dapat menjadi objek kepemilikan pribadi.

Dalam Al-Majmū‘ Sharḥ al-Muhadhdhab, Imam Al-Nawawi menjelaskan:

وَأَمَّا الْمِيَاهُ فَهِيَ عَلَى الضَّرْبَيْنِ: أَحَدُهُمَا مِلْكُ الْعَامَّةِ كَالْأَنْهَارِ وَالْعُيُونِ، فَهِيَ مُبَاحَةٌ لَا يَخْتَصُّ بِهَا أَحَدٌ، وَالثَّانِي مَا جُمِعَ فِي الْأَوَانِي فَهُوَ مِلْكٌ لِمَنْ حَازَهُ

“Air terbagi dua. Pertama, air yang menjadi milik umum seperti sungai dan mata air; hukumnya mubah dan tidak boleh dimiliki secara eksklusif. Kedua, air yang telah dikumpulkan dalam wadah tertentu; maka ia menjadi milik orang yang menguasainya.”

Penjelasan ini menegaskan bahwa setelah ada usaha nyata berupa penampungan, pemindahan, atau pengolahan, status air dapat berubah dari milik umum menjadi milik hasil usaha.

Baca: 3 Fungsi Air menurut Al-Qur’an

Perubahan status

Pada tahap inilah perusahaan air minum, baik PDAM maupun swasta, menjadi relevan dalam pembahasan fikih. Air baku yang awalnya milik umum diambil, diolah, diuji kualitasnya, dialirkan melalui pipa, dijaga debitnya, dan dikelola dengan teknologi yang membutuhkan biaya. Para ulama kontemporer memandang bahwa usaha semacam ini menjadikan layanan air sebagai objek transaksi yang sah.

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu menerangkan:

إِذَا بُذِلَ الْجُهْدُ وَالنَّفَقَةُ فِي تَهْيِئَةِ الْمَاءِ لِلِاسْتِعْمَالِ فَيَجُوزُ أَخْذُ الْعِوَضِ عَنِ الْمَنْفَعَةِ وَالْخِدْمَةِ دُونَ أَنْ يُعَدَّ ذٰلِكَ بَيْعًا لِعَيْنِ الْمَاءِ الَّذِي هُوَ مِلْكٌ لِلْعَامَّةِ

“Apabila telah dikeluarkan usaha dan biaya untuk menyiapkan air hingga layak digunakan, maka boleh mengambil kompensasi atas manfaat dan jasa tersebut. Itu bukan termasuk menjual air sebagai zat yang merupakan milik umum.”

Jadi, yang menjadi objek transaksi bukan air sebagai ciptaan Allah, tetapi jasa pengolahan dan distribusinya.

Pandangan ini selaras dengan praktik PDAM di Indonesia yang mematok tarif berdasarkan biaya produksi, distribusi, dan pemeliharaan. Hal yang sama terjadi pada sistem SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) yang dikelola swasta di sejumlah kawasan industri atau permukiman.

Baca: Pengendalian Banjir di Masa Kekhalifahan Islam

Kewenangan negara dan batas syariah

Fikih klasik dan modern menegaskan bahwa negara berhak mengatur pengelolaan air sebagai bagian dari al-milkiyah al-‘āmah. Negara berkewajiban menjaga agar sumber air tidak diprivatisasi secara sembarangan, tidak dimonopoli, dan tidak menghilangkan hak dasar masyarakat.

Ulama Hanafiyah menjelaskan dalam Al-Mabsūṭ karya Imam al-Sarakhsi:

وَإِذَا أَنْشَأَ الْقَوْمُ قَنَاةً بِأَمْوَالِهِمْ فَهُمْ أَحَقُّ بِمَائِهَا، وَلَهُمْ أَنْ يَأْخُذُوا الْأُجْرَةَ عَلَى مَنْ يَسْتَقِي مِنْهَا بِقَدْرِ مَصْرِفِهِمْ

“Jika suatu kelompok membangun saluran air dengan biaya mereka sendiri, maka mereka lebih berhak atas air tersebut, dan mereka boleh mengambil bayaran dari siapa pun yang memanfaatkannya sesuai biaya yang mereka keluarkan.”

Keterangan ini sangat dekat dengan praktik di banyak desa di Indonesia: warga mengelola saluran pipa dari mata air, menampungnya dalam toren, dan menarik tarif bulanan. Secara fikih, model ini sah selama akses dasar masyarakat terhadap sumber air tetap terbuka.

Dalam skala lebih luas, negara wajib memastikan tarif PDAM atau perusahaan swasta tetap wajar, tidak menutup akses bagi masyarakat miskin, dan tidak menyebabkan hilangnya hak masyarakat atas air minum.

Baca: Pajak Naik, Ibnu Khaldun: Gol Bunuh Diri Ekonomi

Varian hukum

Dalam sistem modern, perusahaan, baik negara maupun swasta, wajib memperoleh izin eksploitasi dan distribusi air dari pemerintah. Izin tersebut menjadi instrumen pengawasan publik dan sejalan dengan kaidah ḥisbah, yakni kewajiban negara mengawasi harga dan menjaga kemaslahatan umum.

Selama operasi perusahaan berlangsung dalam kerangka ini, fikih memandang transaksi layanan air bersih sebagai akad yang halal. Objek transaksinya adalah jasa pengolahan, penyaringan, penjaminan kualitas, dan distribusi hingga sampai ke rumah warga. Semua ini memiliki nilai ekonomi yang diakui syariat.

Berdasarkan dalil, ketentuan fikih klasik, dan pandangan ulama kontemporer yang kredibel, hukum menjual pasokan air bersih dari sumber alam adalah boleh selama memenuhi dua prinsip utama. Pertama, air baku tetap berstatus milik umum dan tidak boleh dimiliki secara eksklusif. Kedua, jasa pengelolaan dan distribusinya dapat menjadi objek akad karena berasal dari usaha, biaya, dan teknologi yang nyata.

Dalam konteks perusahaan air minum, baik PDAM maupun swasta, praktik penetapan tarif sesuai prinsip syariah selama tidak menghambat akses publik dan tetap berada dalam pengawasan negara.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.