Hukum Ikut Tren S-Line Challenge menurut Fikih

Karena mudarat yang ditimbulkan sangat jelas, mengikuti atau menyebarkan tren ini wajib dihindari.
Ilustrasi simbolik Tren S-Line di media sosial. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Media sosial tengah diramaikan oleh “S-Line Challenge,” sebuah tren yang terinspirasi dari drama Korea. Tren ini secara simbolis memvisualisasikan dan menormalisasi riwayat perzinaan, sehingga menuntut tinjauan serius dari sudut pandang fikih dan moralitas Islam.

Fenomena S-Line Challenge hanyalah salah satu contoh dari tantangan berat yang dihadapi umat Islam di era digital. Arus budaya global melalui media sosial kerap membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan syariat, salah satunya adalah normalisasi maksiat.

Kecepatan penyebaran informasi membuat hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu dan memalukan menjadi lumrah, bahkan dipandang sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Batas antara ruang privat dan publik menjadi kabur, sehingga perbuatan dosa yang semestinya ditutupi justru dipertontonkan dan dirayakan.

Baca: Tafsir QS. An-Nur Ayat 19: Jangan Ikut Tren S-Line Challenge!

Analisis kaidah fikih

Fikih Islam memiliki al-qawa’id al-fiqhiyyah (seperangkat kaidah universal) yang berfungsi sebagai alat analisis terhadap fenomena kontemporer. Terkait tren S-Line Challenge, setidaknya terdapat dua kaidah utama yang relevan.

Pertama, kaidah:

الضَّرَرُ يُزَالُ

“Bahaya atau kemudaratan harus dihilangkan.”

Tren ini secara nyata mendatangkan berbagai dharar (kemudaratan). Ia membuka peluang besar terhadap publikasi dan promosi zina, mendorong objektifikasi tubuh, serta mengikis rasa malu.

Karena mudarat yang ditimbulkan sangat jelas, mengikuti atau menyebarkan tren ini wajib dihindari.

Kedua, kaidah:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menolak kerusakan didahulukan daripada meraih kemaslahatan.”

Jika ada yang berargumen bahwa tren ini memiliki “maslahat”, seperti hiburan atau popularitas, maka maslahat tersebut bersifat semu dan tidak sebanding dengan mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan.

Kerusakan yang dimaksud adalah perannya sebagai mukaddimat al-haram (perantara menuju perbuatan haram) dan pengaruhnya terhadap rusaknya tatanan moral masyarakat. Karena itu, menolak kerusakan dari tren ini harus lebih diutamakan.

Baca: Bangga Bermaksiat, Enggak Bahaya Tah?

Mempertontonkan dosa menghalangi ampunan

Dalam Islam, terdapat perbedaan besar antara dosa yang dilakukan secara tersembunyi dan dosa yang dipertontonkan secara publik, atau mujaharah bil ma’siyah (mempublikasikan maksiat).

Perilaku terang-terangan dalam mempublikasikan maksiat merupakan bentuk dosa tambahan yang lebih berat, karena tidak hanya merusak diri sendiri, tetapi juga merusak masyarakat.

Hal ini secara tegas diperingatkan Rasulullah Saw dalam sebuah hadis:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ

“Setiap umatku akan mendapatkan ampunan, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama besar seperti Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa al-mujahirin adalah mereka yang melakukan maksiat di malam hari, lalu menceritakannya kepada orang lain di pagi harinya, padahal Allah telah menutupi aibnya.

Berdasarkan hadis ini, mempertontonkan dosa seperti dalam tren S-Line Challenge berisiko menutup pintu ampunan dari Allah Swt.

Lebih lanjut, para fuqaha (ahli fikih) sangat tegas dalam menyikapi perbuatan ini. Ulama mazhab Syafi’i seperti Imam Al-Mawardi dalam kitabnya yang monumental, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, menjelaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjaga moralitas publik.

Hal ini termasuk menjatuhkan hukuman ta’zir (hukuman edukatif) bagi siapa saja yang secara terbuka melanggar norma-norma agama.

Pendapat serupa ditegaskan oleh ulama Hanbali seperti Ibn Taimiyah dalam kitabnya As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, bahwa ta’zir diberlakukan untuk memberikan zajr (efek jera) dan hifzhun nizam (menjaga ketertiban moral masyarakat).

Baca: Doa Pembersih Dosa

Bahaya tasyabbuh

Aspek lain yang tak kalah penting adalah unsur tasyabbuh (penyerupaan). Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)

Tren S-Line Challenge mengandung unsur tasyabbuh bil fasiqin (meniru perilaku orang-orang fasik) yang bangga dengan kemaksiatan.

Meskipun bersifat simbolik, tindakan meniru visualisasi yang mengarah pada zina adalah bentuk validasi terhadap budaya yang merendahkan nilai-nilai kesucian.

Ini merupakan bentuk penyerupaan terhadap budaya yang tidak hanya membolehkan, tetapi juga merayakan sesuatu yang dalam Islam merupakan dosa besar.

Berdasarkan tinjauan fikih, tren S-Line Challenge jelas bertentangan dengan prinsip dasar syariat. Ia mendatangkan mudarat, termasuk dalam kategori mujaharah bil ma’siyah yang berisiko menghalangi ampunan, serta merupakan bentuk tasyabbuh yang dilarang.

Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi umat Islam, khususnya generasi muda, untuk secara sadar menjauhi tren semacam ini.

Peran vital orang tua, guru, dan para da’i juga sangat penting. Mereka harus proaktif dalam memberikan edukasi, mengarahkan penggunaan media sosial secara syar’i, serta menanamkan kebanggaan terhadap identitas dan moralitas Islam yang luhur dan bermartabat.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.