Ikhbar.com: Bebas dari hadas kecil maupun besar menjadi syarat sah sebabak ibadah. Hadas kecil dapat dihilangkan dengan berwudu. Sedangkan hadas besar hanya bisa dihilangkan dengan mandi junub.
Meskipun keduanya bisa diganti dengan tayamum, akan tetapi itu hanya bisa dilakukan saat berada dalam kondisi tertentu. Ketika dalam kondisi normal, mandi junub wajib dilakukan dengan mengguyurkan air secara merata tanpa ada satu pun sisi yang terlewatkan.
Akan tetapi, menghilangkan hadas besar dengan mandi junub akan terkendala ketika terdapat luka di salah satu bagian tubuh. Apalagi jika secara medis disarankan area luka itu tidak boleh terkena air.
Lantas bagaimana cara mandi wajib jika mendapati kasus demikian?
Kewajiban menghilangkan hadas besar dengan mandi junub ini tertuang dalam QS. An-Nisa ayat 43;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub).” (QS. An-Nisa: 43).
Nabi Muhammad Saw juga bersabda;
«إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang laki-laki menggauli istrinya dan alat kelaminnya (suami) menyentuh alat kelaminnya (istri), maka wajib mandi.” (HR. Muslim).
Sementara itu, Islam juga mewajibkan seseorang untuk berobat ketika ia dalam keadaan sakit. Pendapat tersebut diungkapkan Syekh Abdul Hamid Asy-Syirwani dalam Hasyiyah Asy-Syirwani;
“Apabila kesembuhan diyakini dapat diraih dalam upaya berobat, maka berobat menjadi wajib.”
Nabi Saw bersabda;
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً، فَتَدَاوَوْا، وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya, dan memberikan obat untuk tiap-tiap penyakit. Oleh karena itu berobatlah kamu, dan jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Darda)
Jika seseorang terdapat luka pada tubuhnya dan ia dalam keadaan memiliki hadas besar, sementara dokter melarangnya luka tersebut terkena air, maka dapat melihat pandangan ulama fikih berikut ini;
Pendapat pertama mengatakan bahwa ia boleh membasuh hanya pada bagian tubuh yang memungkinkan terkena air. Setelah itu, ia bertayamum sebagai ganti dari tubuh yang tak boleh terkena air akibat luka.
Pendapat ini sebagaimana yang ditempuh oleh para ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali.
Pendapat ini juga didasarkan pada firman Allah Swt;
وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ
“Janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An-Nisa: 29).
Demikian juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan Jabir RA:
خَرَجْنا في سَفَرٍ، فأصابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فشَجَّه في رَأْسِه، ثم احتَلَمَ، فسألَ أَصْحَابَهُ، فقال: هَلْ تَجِدُوْنَ لِيْ رُخْصَةً فِيْ التَّيمُّمِ؟ فَقَالُوْا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقدِرُ عَلَى الْمَاءِ. فَاغْتَسَلَ، فَمَاتَ، فلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبيِّ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخبِرَ بِذَلِكَ، فَقَالَ: قَتَلًوْهُ قَتَلَهُمُ اللهُ، ألَا سَأَلُوْا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوْا؛ فإنَّمَا شِفَاءُ العِيِّ السُّؤَالُ، إنَّمَا كَانَ يَكْفِيْهِ أَنْ يَتيَمَّمَ ويَعصِرَ (أو يَعصِبَ) -شَكَّ مُوْسَى- عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً، ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
“Kami berangkat dalam suatu perjalanan, lalu seorang dari kami tertimpa batu hingga melukai kepalanya. Kemudian orang itu mimpi basah, lalu ia bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah menurut kalian terdapat keringanan bagiku untuk bisa tayammum?’
Mereka menjawab, ‘Kami memandang kamu tidak mendapatkan keringanan karena kamu mampu menggunakan air.’ Lalu ia mandi kemudian meninggal. Ketika kami sampai di hadapan Nabi SAW, peristiwa tersebut diceritakan kepada beliau SAW . Beliau bersabda, ‘Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membalas mereka. Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat dari ketidaktahuan adalah bertanya. Sesungguhnya ia cukup bertayamum dan membebat (membalut) [perawi Musa ragu pada diksi kedua] dengan kain untuk lukanya. Kemudian, ia dapat mengusap ke atas kainnya, dan membasuh bagian tubuh yang lain.”
Pendapat kedua mengatakan, jika seseorang terdapat luka di tubuhnya saat hendak melakukan mandi wajib dan dikhawatirkan lukanya bertambah parah jika terkena air, maka ia dapat menggantinya dengan tayamum.
Pendapat ini sebagaimana yang ditempuh oleh para ulama Mazhab Hanafi dan Maliki. Dasarnya, Allah Swt berfirman;
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا
“Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci).” (QS. Al-Maidah: 6).
Dengan demikian, tayamum dibolehkan bagi orang yang sakit secara mutlak, tanpa perbedaan antara sakit satu dengan yang lain.
Hanya saja sakit yang tidak bermasalah dengan penggunaan air itu bukanlah yang dimaksud dalam konteks ini. Ia hanya berlaku hanya bagi kondisi sakit yang baginya berbahaya untuk menggunakan air.
Sebagai catatan, tayamum dan mandi tidak dapat disatukan karena pengganti dan yang diganti tidak dapat berkumpul. Hal itu tidak ada padanannya di dalam hukum syariah yang lain, seperti puasa dan memberi makan sebagai ganti puasa.