Ikhbar.com: Salah satu tokoh masyhur dalam sejarah pers Indonesia adalah Mahbub Djunaidi. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Umum (Ketum) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada periode 1965-1970. Dia juga merupakan ketum pertama Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII).
Mahbub juga tercatat pernah memimpin beberapa media massa. Dia dikenal sebagai sosok yang kritis dan gigih menjaga kredibilitas profesi kewartawanan di Indonesia.
Saking kritisnya, Mahbub tak jarang mengeluarkan sindiran untuk teman-teman sejawat. Kritik-kritik tajam Mahbub, salah satunya, termaktub dalam Asal Usul (1996).
Berikut adalah julukan untuk wartawan jenis-jenis tertentu ala Mahbub sesuai dengan tingkah dan sepak terjangnya;
Kuli tinta
Mahbub pernah menjuluki kawan seprofesinya sebagai kuli tinta. Kritik ini disasarkan kepada wartawan yang memiliki hubungan terlampau dekat dengan pemerintah atau perusahaan.
“Sebutan kuli tinta biasa dikenakan kepada wartawan yang amat dekat hubungannya dengan Humas, seperti dekatnya menantu dengan mertua, sehingga orang sulit membedakan mana yang wartawan dan mana Humas,” tulis Mahbub dalam kolom berjudul “Sebutan” yang dimuat di Harian Kompas, edisi 15 Februari 1987.
Menurut Mahbub, wartawan jenis ini akan sungkan mengajukan pertanyaan kritis, serta menelan pernyataan dari narasumbernya secara bulat-bulat.
Nyamuk pers
Sebutan selanjutntya adalah Nyamuk Pers. Julukan ini diberikan kepada pewarta yang terlampau idealis dan gemar mengadopsi wacana-wacana besar.
“Nyamuk pers biasanya dialamatkan kepada wartawan yang tak bisa duduk diam, senantiasa dalam keadaan gatal, dan kepingin mengubah dunia dengan sekali kibas, sementara ia sendiri tidak mengalami perubahan fisik yang berarti,” tulis Mahbub.
Wartawan dengan sebutan ini, dalam kelakar Mahbub, biasanya diejek terlambat lahir 50 tahun.
Ratu dunia
Ratu dunia, kata Mahbub, merupakan sebutan yang paling lumayan, walau kedengaran berlebihan.
“Sangat boleh jadi, lantaran sebutan inilah rupanya bnayak orang memilih wartawan sebagai profesinya, sesudah gagal melamar kerja di kantor douane atau urusan logistik.”
Dunia kewartawanan dianggap oleh orang-orang jenis ini sebagai alternatif dalam meniti karier dan pekerjaan.
Clickbait
Jauh sebelum era pemberitaan daring muncul dan menghadirkan problem clickbait, Mahbub sudah melancarkan kritik bagi wartawan yang biasa menulis dengan nada provokatif, hiperbolis, dan mengandung umpan klik.
Kritik Mahbub kali ini ditemukan dalam kolom berjudul Dagangan (1993).
“Ada beberapa koran Indonesia yang ngeri saya baca. Soalnya, isinya membuat hati saya deg-gedan, was-was, dan kecut, seakan-akan saya ini hidup di sebuah negeri penuh bandit. Dunia rasanya gelap, seakan-akan sebentar sore saya bisa mati tanpa sebab yang jelas. Malam hari takut digarong, siang hari takut kena muntaber. Pokoknya ngeri! Apa enaknya hidup dicekam rasa macam-macam seperti itu,” papar Mahbub.
Mahbub lebih menyarankan wartawan menulis peristiwa dengan apa adanya berdasarkan fakta. Syukur-syukur, jika dalam tulisannya tersebut memuat misi dalam membangun semangat dan optimisme bagi masyarakat pembaca.
Wartawan penakut
Mahbub menyadari, profesi wartawan, apalagi yang kritis sepertinya bukan berarti tanpa risiko.
Mengutip artikel berjudul Mahbub Djunaidi: Jangan Jadi Wartawan Penakut! dari NU Online, Man Suparman pernah menulis pesan Mahbub yang tidak menyarankan seseorang menggeluti profesi wartawan jika tidak memiliki jiwa yang tangguh dan penuh keberanian.
“Dek, kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan, jadilah pengusaha. Kalau penakut jangan jadi wartawan, jadilah tukang mie bakso,” ucap Mahbub, seperti yang dikutip dalam artikel tersebut.
Mahbub Djunaidi merupakan tokoh kelahiran 27 Juli 1933 dan mengembuskan napas terakhir di Bandung, Jawa Barat pada 1 Oktober 1995. Dia dijuluki “Pendekar Pena” lantaran beberapa karya yang disumbangkannya dalam dunia kesastraan Indonesia.