Ikhbar.com: Istilah “Rojali” atau “Rombongan Jarang Beli” semakin marak terdengar. Istilah ini merujuk pada sekelompok orang yang kerap menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, kafe, atau tempat usaha lainnya tanpa melakukan transaksi pembelian.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan perilaku konsumsi di tengah tekanan ekonomi dan kuatnya budaya digital, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendasar: apakah perilaku semacam ini sejalan atau justru bertentangan dengan nilai-nilai ekonomi dalam Islam?
Secara sosial, fenomena Rojali ditandai oleh kebiasaan berkumpul atau “nongkrong” sambil menikmati fasilitas milik suatu usaha—seperti pendingin ruangan, Wi-Fi, atau sekadar tempat duduk yang nyaman—tanpa memberikan kontribusi ekonomi yang sepadan.
Perilaku ini kerap dipengaruhi oleh kombinasi antara lemahnya daya beli, kebutuhan akan pencitraan sosial di media digital, dan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas tanpa menanggung beban finansial.
Baca: Penyebab Munculnya Tren ‘Rojali’ menurut Psikolog
Prinsip konsumsi dalam ekonomi Islam
Islam, sebagai sistem hidup yang komprehensif, tidak hanya mengatur soal kepemilikan dan transaksi, tetapi juga memberikan panduan etika dalam berkonsumsi.
Konsumsi dalam Islam bukanlah aktivitas yang bebas nilai, melainkan sarat dengan dimensi moral dan spiritual. Allah Swt. berfirman:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Ayat ini menegaskan prinsip dasar untuk tidak israf (berlebihan). Di sisi lain, menahan harta dari hal-hal yang wajib atau bermanfaat juga tidak dibenarkan.
Karakter orang bertakwa, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, adalah mereka yang aktif mengalirkan hartanya di jalan yang benar.
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَۙ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 3).
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, konsumsi dalam Islam harus memenuhi beberapa kriteria: halal dan thayyib (baik dan berkualitas), tidak boros, serta mampu memberikan manfaat—baik bagi diri sendiri, pelaku usaha, maupun masyarakat secara luas.
Baca: Pengusaha: Fenomena ‘Rojali’ cuma Sesaat
Analisis fenomena “Rojali” dalam timbangan syariah
Jika dianalisis lebih dalam, perilaku Rojali berpotensi bertentangan dengan beberapa prinsip fundamental ekonomi Islam.
Ditinjau dari sisi maqashid syariah, tujuan utama syariat adalah mewujudkan kemaslahatan. Salah satu dari lima pilar utamanya adalah hifzh al-mal (menjaga harta).
Menjaga harta tidak hanya berarti melindunginya dari kerusakan, tetapi juga mengalirkannya secara produktif agar bermanfaat bagi perekonomian.
Perilaku Rojali yang cenderung menahan aliran harta dan tidak mendorong produktivitas dapat menghambat terwujudnya maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum).
Sementara itu, dari aspek keadilan muamalah, prinsip dasarnya adalah keadilan dan keseimbangan timbal balik. Sederhananya: “Ambillah hakmu, dan berikanlah hak orang lain.”
Ketika seseorang menikmati fasilitas yang disediakan pelaku usaha—seperti listrik, air, kebersihan, dan kenyamanan tempat—tanpa memberikan imbal balik melalui transaksi, maka telah terjadi ketidakseimbangan.
Perilaku ini berpotensi menjadi bentuk kezaliman sosial, meskipun dalam skala kecil, karena mengambil manfaat tanpa memberikan hak yang seharusnya diterima oleh penyedia fasilitas.
Dari sisi tanggung jawab moral konsumen, Islam menganjurkan umatnya untuk menjadi individu yang bermanfaat. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad).
Dalam konteks ekonomi, seorang konsumen Muslim diharapkan menjadi konsumen yang aktif dan memberi manfaat, bukan sekadar pasif.
Dengan melakukan pembelian, seorang konsumen tidak hanya memenuhi kebutuhannya, tetapi juga membantu keberlangsungan usaha saudaranya, menjaga perputaran ekonomi, dan membuka lapangan kerja.
Baca: Ibnu Khaldun Bocorkan Ciri-ciri Negara Bangkrut
Solusi dan tawaran konstruktif
Menyikapi fenomena ini, diperlukan pendekatan dari berbagai sisi:
- Edukasi konsumen: Umat perlu diedukasi mengenai pentingnya niat dan adab dalam bermuamalah. Belanja dan bertransaksi dapat dijadikan sarana ibadah untuk menolong sesama pelaku usaha, bukan sekadar pemenuhan gaya hidup.
- Inovasi pelaku usaha syariah: Pelaku usaha dapat menerapkan sistem yang lebih adil, seperti minimal order, mengembangkan konsep co-working space berbayar, atau mengintegrasikan donasi dan sedekah dalam setiap pembelian untuk mendanai fasilitas umum.
- Dakwah ekonomi yang membumi: Masjid dan lembaga dakwah memiliki peran strategis untuk menyuarakan pentingnya etika ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
Umat perlu disadarkan bahwa konsumsi bukan hanya soal uang, tetapi juga menyangkut keberkahan, keadilan, dan tanggung jawab moral.