Seperempat Abad Fahmina: Ikhtiar Mengembalikan ‘Agama’ untuk Manusia

Kegelisahan terhadap situasi itulah yang kemudian melatarbelakangi kelahiran lembaga sekaligus gerakan pemikiran Fahmina di Cirebon pada awal milenium ketiga.
Ilustrasi tiga muassis Fahmina. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Inilah ironi yang terus berulang: Rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) sebagai inti ajaran agama, kerap dipersempit oleh tafsir kaku yang berujung pada praktik penindasan. Alih-alih menjadi pelindung, teks suci justru dipakai sebagai legitimasi untuk menebar kebencian, diskriminasi, dan kekerasan.

Kegelisahan terhadap situasi itulah yang kemudian melatarbelakangi kelahiran lembaga sekaligus gerakan pemikiran Fahmina di Cirebon, Jawa Barat, pada awal milenium ketiga. Ketika kekerasan atas nama tafsir menjadi pemandangan sehari-hari, sekelompok aktivis alumni pesantren hadir membawa gagasan yang mencoba membalik arus, bahwa tafsir dan perspektif keagamaan perlu kembali berpihak pada kelompok lemah dan memuliakan seluruh manusia.

Fahmina, yang berdiri pada 10 November 2000, merupakan gagasan ideologis yang meyakini bahwa tradisi keilmuan Islam yang luas harus hadir di tengah persoalan sosial.

Para muassis (pendiri), terutama Dr. KH Husein Muhammad atau yang karib disapa Buya Husein, KH Marzuki Wahid, MA, dan Prof. Dr. KH Faqihuddin Abdul Kodir, tampak tak pernah surut menempuh upaya mengembalikan roh agama itu. Selama 25 tahun, Fahmina menjadi suara yang konsisten dan hangat, menunjukkan bahwa Islam progresif dapat menjadi dasar peradaban yang beradab dan berkeadilan.

Dr. KH Husein Muhammad atau Buya Husein saat menjadi narasumber dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar, bertajuk “Quatrain Buya Husein” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Jejak pemikiran

Fahmina tumbuh dari tradisi pesantren, tetapi tidak berhenti pada kelaziman yang mengekang. Para pendirinya adalah ahli kitab kuning yang kritis terhadap tafsir yang terkesan mempertahankan ketidakadilan. Banyak pengalaman pahit, terutama yang dialami perempuan, tersembunyi di balik bacaan keagamaan yang patriarkal dan lepas dari konteks.

Pokok pemikiran Fahmina menegaskan bahwa martabat manusia sebagai pusat ajaran agama. Buya Husein berulang kali mengingatkan bahwa sebagian orang membaca teks suci untuk membenarkan tindakan represif.

“Banyak orang membaca teks tapi justru dipakai untuk membenarkan kekerasan atau opresi terhadap orang lain. Padahal inti agama adalah menjaga martabat manusia,” ujar Buya Husein, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbardi Ikhbar TV beberapa waktu lalu, dikutip pada Selasa, 25 November 2025.

Tonton: Quatrain Buya Husein

Menurut Buya Husein, teks keagamaan perlu dibaca dengan mempertimbangkan konteks sosial, sejarah, dan perubahan realitas. Tanpa pendekatan tersebut, agama hanya menjadi simbol tanpa daya hidup.

“Masalahnya bukan pada ayatnya, tetapi pada cara kita membacanya. Banyak tafsir yang lahir dari budaya patriarkal dan kemudian dianggap sebagai suara agama,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Fikr Arjawinangun Cirebon, tersebut.

Dengan pijakan itu, Fahmina menawarkan tafsir kontekstual yang berani mengoreksi tradisi dan bacaan agama yang terbukti menindas, terutama terhadap perempuan. Lembaga tersebut tidak berhenti pada wacana. Melalui dawrah fikih perempuan dan penulisan ulang sejarah ulama perempuan, mereka menolak narasi tunggal yang menghapus kontribusi perempuan dalam sejarah intelektual Islam.

“Apa pun interpretasinya, ukuran akhirnya adalah etika. Apakah ia membawa keadilan, kasih sayang, dan penghormatan martabat manusia atau tidak,” katanya.

Baca: ‘Pulang Sendiri’, Puisi Buya Husein yang Menggetarkan Hati

Semangat pluralisme dan kebangsaan

Bagi Fahmina, penghormatan terhadap keberagaman merupakan konsekuensi dari komitmen pada martabat manusia. Dalam masyarakat yang diwarnai polarisasi, Fahmina menegaskan bahwa perbedaan membuka ruang perjumpaan dan solidaritas.

Kiai Marzuki Wahid, misalnya, sering mengingatkan pentingnya memandang manusia sebagai amanah Tuhan.

“Kita ini terkadang lebih keras pada simbol agama ketimbang pada manusia. Padahal manusia itu sendiri adalah amanah Tuhan yang pertama,” ujarnya, masih dalam program yang sama.

Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) itu menekankan bahwa takwa harus tercermin dalam hablum minannas (relasi antarmanusia) dan hablum minal ‘alam (relasi dengan alam), bukan sekadar ritual.

Semangat pluralisme tersebut diwujudkan Fahmina melalui forum dialog dan pendidikan toleransi. Lembaga ini mendampingi kelompok yang terpinggirkan, dari nelayan hingga pekerja migran, dengan mengadvokasi hak-hak mereka. Dalam pandangan Fahmina, merendahkan manusia lain bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.

“Memanusiakan manusia itu… diajak dialog, dimintai persetujuan, diposisikan sebagai subjek, bukan objek… bukan maf’ul tapi fa’il,” katanya.

Kiai Marzuki menegaskan bahwa syariat Islam bertujuan menghadirkan kemaslahatan bagi seluruh hamba apapun latar belakang dan agamanya. Solidaritas dan keberpihakan pada kelompok rentan menjadi cara menjaga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Menurut Fahmina, seseorang perlu memahami keberagaman untuk mengenali diri sendiri.

“Syariat itu untuk masalih al-‘ibad, kemaslahatan seluruh hamba, baik muslim maupun non-muslim,” tegasnya.

Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), KH Marzuki Wahid. Dok IST

Baca: Meneropong Kurikulum ISIF Cirebon, Kampus Berbasis Kultur Pemikiran Gus Dur

Dakwah humanis

Gerakan pemikiran Fahmina menolak model dakwah yang menghakimi, menakut-nakuti, atau lepas dari realitas jemaah atau masyarakat. Mereka mendorong dakwah humanis agar masyarakat merasa dihargai dalam menjalankan agama.

Kiai Faqih, sapaan Prof. Dr. KH Faqihuddin Abdul Kodir, yang merumuskan gagasan dakwah transformatif, mengingatkan bahwa seorang mubalig tidak dapat hanya membaca teks tanpa memahami kehidupan jemaah.

Dakwah itu harus membuat orang merasa lebih merdeka, bukan lebih takut, lebih tertekan, atau lebih dihakimi,” ujarnya, dalam program bertajuk “Membedah Dakwah Mubadalah”. Kiai Faqih menilai dakwah yang memanfaatkan ketakutan justru menyalahi tujuan dakwah yang mengutamakan kemaslahatan.

Prinsip dakwah humanis ini diterapkan dalam kerja-kerja Fahmina. Lembaga tersebut memberikan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan human trafficking (perdagangan manusia). Selain itu, Fahmina memperkuat kapasitas masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi.

Menurut Kiai Faqih, mubalig harus menjadi kawan bicara, bukan pihak yang mengadili. Menjaga martabat orang lain menjadi kunci agar dakwah tidak melukai. Melalui ISIF, Fahmina menyiapkan sarjana Islam berintegritas, humanis, adil, dan transformatif.

Prof. Dr. KH Faqihuddin Abdul Kodir (kanan) saat menjadi narasumber dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Membedah Dakwah Mubadalah,” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Simak: Membedah Dakwah Mubadalah

25 Tahun yang merawat harapan

Dua puluh lima tahun perjalanan Fahmina menegaskan bahwa Islam yang tumbuh dari tradisi pesantren dapat menjadi kekuatan progresif untuk perubahan sosial. Lembaga ini menjaga ajaran agama dari penyalahgunaan yang berujung pada kekerasan dan diskriminasi. Fahmina merawat harapan bahwa di tengah gelombang ekstremisme dan polarisasi, selalu ada ruang bagi Islam yang adil, terbuka, dan memuliakan manusia.

Jejak perjalanan itu menjadi investasi masa depan, mulai dari kurikulum ISIF, pendampingan komunitas, hingga jejaring yang terbentuk. Terlihat bahwa agama perlu hadir dalam berbagai persoalan zaman, dari krisis lingkungan hingga ketimpangan ekonomi.

Tantangan ke depan tidak ringan, terutama menjaga nilai humanis di tengah hiruk pikuk digital dan runtuhnya kepercayaan publik. Namun, Fahmina telah meninggalkan warisan pemikiran yang kuat, peta jalan untuk memastikan agama hadir sebagai solusi. Warisan itu terus mengingatkan bahwa dakwah sejati membawa pembebasan.

Maka, setelah perjalanan panjang ini, Kiai Faqih menegaskan kembali bahwa inti dakwah bukan retorika, tetapi tindakan yang menggerakkan hati.

“Masyarakat sekarang butuh diajak berpikir, bukan hanya disuruh menerima. Dakwah yang baik itu memantik kesadaran,” katanya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.