Oleh: Ahmad Halwan Ilmi, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ) Jakarta
AL-QUR’AN adalah firman Allah yang diberikan kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad Saw sebagai petunjuk untuk hidup di dunia. Hal itu, sesuai yang tertulis dalam QS Al-Baqarah: 2.
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”
Al-Qur’an selain sebagai petunjuk bagi manusia, juga berbentuk sebagai mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw yang mengandung banyak sekali makna di dalamnya. Ada makna yang tersirat dan ada makna yang tersurat.
Dilihat dari segi lain, dalam kitab suci Al-Qur’an banyak sekali terdapat pemahaman-pemahaman yang mungkin sering kali sulit untuk dijangkau pengertiannya oleh manusia, karena dalam Al-Qur’an sendiri ada makna luar (lahiriyyah) dan ada makna dalam (bathiniyyah ).
Dengan keragaman makna itu, Al-Qur’an selalu membuat manusia berpikir tentang makna-makna tersebut, terlebih memahami makna bathiniyyah yang terkandung di dalamnya.
Dapat kita ketahui bahwa segala bentuk ibadah mempunyai makna tersendiri dalam Al-Qur’an, sebagaimana Allah menyatakan kewajiban salat bagi umat Islam. Tentu ini bukan karena tidak mempunyai alasan Allah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan salat dalam sehari lima waktu. Meskipun pada akhirnya nanti, Nabi mengajarkan ada salat-salat sunah yang lainnya.
Ada banyak redaksi Allah menyatakan kewajiban salat dalam Al-Qur’an, terkadang dengan pernyataan yang tegas, terkadang dengan memberitahu imbalan bagi orang yang salat dan bahkan terkadang Allah menggambarkan akibat dari orang yang meninggalkan salat.
Salat merupakan sarana manusia berhubungan langsung dengan Tuhannya. Dapat dikatakan salat merupakan ibadah paling sakral, karena dalam salat manusia bisa berkomunikasi dengan Tuhannya secara langsung, dan merupakan tolok ukur manusia agar diridai-Nya.
Allah melimpahkan ibadah dalam salat karena dalam salat Allah melimpahkan cahaya-Nya yang dapat menjernihkan hati nurani.
Bicara tentang salat dalam Islam, bukan soal hanya ibadah sewaktu salat itu dilakukan. Akan tetapi lebih dari itu, dari ibadah salat ini diharapkan terbentuknya seseorang yang sesuai dengan salatnya, yaitu menjadi pribadi yang lebih baik dan bernilai. Dan pada akhirnya salat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Sebagaimana QS Al-‘Ankabut ayat 45:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat tersebut menjelaskan tentang apa yang dihasilkan oleh orang-orang yang melaksanakan salat dengan benar. Bahwa salat jika dilakukan dengan benar maka akan membuat orang yang mengerjakannya terhindar dari perbuatan keji dan munkar.
Haidar Bagir dalam Buat Apa Salat (2009) menjelaskan bahwa perbuatan keji adalah setiap perbuatan atau pun tingkah laku yang mengotori keimanan diri. Sedangkan kata munkar adalah yang tidak dikehendaki oleh syari’at.
Maka perlu dilihat, apakah salat kita ada pada jiwa, ataukah hanya berlandaskan dalam rangka menggugurkan kewajiban? Ini tentu akan menjadi menarik, karena mungkin kebanyakan dari kita melakukan salat hanya sebatas menggugurkan kewajiban saja, sehingga sakat tersebut tidak ada di dalam jiwa yang mengerjakannya.
Ini kemudian menjadi tolok ukur bagi orang-orang yang salat. Selain ada syarat-syarat sah salat, ada juga syarat diterimanya salat. Meskipun pada akhirnya ulama berbeda pendapat mengenai syarat diterimanya salat tersebut, ada yang mengatakan bahwa itu hak priogratif Allah, ada juga yang berpendapat itu mungkin saja diketahui oleh manusia.
Tanpa disadari, kebanyakan dari kita yang mengerjakan salat hanya untuk menggugurkan kewajiban saja, tidak melakukannya dengan ikhlas untuk menggapai ridanya Allah, maka bukan tidak mungkin kita termasuk dalam orang-orang yang lalai terhadap salat. Memang benar kita melakukan salat, namun kita lalai dalam mengerjakannya.
Maksud lalai di sini ialah salat yang kita kerjakan seringkali ingin dilihat orang lain, mengejar popularitas kepada manusia. Ini yang menjadi bahaya untuk kita, sebab Allah mengancam bagi siapa saja yang melalaikan salatnya. Hal tersebut tertuang dalam firman Allah Swt dalam QS Al-Ma’un: 4 – 7:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Maka celakalah bagi orang-orang yang salat. Yang mereka itu lalai terhadap salatnya. Orang-orang yang berbuat riya. Dan enggan menolong barang berguna.”
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa orang yang salat saja masih bisa celaka, karena sebab mereka lalai terhadap salat yang merek dirikan. Yang dimaksud lalai di sini seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa lalai dalam artinya ibadah yang dilakukan tidak semata-mata untuk mengharap rida Allah, melainkan untuk dilihat orang dan tidak mau menolong yang berguna bagi sesama.
Jika kita lihat masalah yang diuraikan di atas, masih banyak yang belum mengerti sepenuhnya mengenai salat itu sendiri. Tanpa kita ketahui, bahwa salat yang dilakukan menimbulkan suatu celaka untuk yang mengerjakannya.
Dalam hal ini juga, selain dimensi esoterisnya ketika salat itu berlangsung, maka dari segi dimensi eksoterisnya salat itu harus tetap eksis, dalam artian salat yang dilakukan tidak hanya salat yang dimaksud dari awal takbiratul ihram sampai salam. Namun juga salat itu harus dapat diinterpretasikan dalam kehidupan sehari-hari[]