Oleh: Ari Sandi (Pengajar di MAN 3 Tasikmalaya, Jawa Barat)
“AKU berlindung kepada Allah dari kejulidan warganet yang buruk.” Begitulah bunyi tren kelakar yang biasa dilontarkan seseorang saat menanggapi fitnah maupun gibah di media sosial (medsos).
Di era gempuran informasi sekarang ini, rasanya tidak berlebihan jika permohonan atas perlindungan semacam itu muncul. Barangkali, hal ini juga merupakan bagian dari risiko teknologi yang mesti diterima umat manusia.
Filsuf terkemuka, Aristoteles, merupakan orang yang kali pertama menawarkan terminologi Zoon politicon alias manusia sebagai makhluk sosial. Namun, rasa-rasanya, pemaknaan term tersebut kian meluas seiring dengan kemajuan zaman.
Pasalnya, arti yang dikehendaki ketika teori tersebut dicetuskan adalah bahwa manusia akan selalu berhubungan dengan orang lain dalam arti sesungguhnya. Akan tetapi, sekarang, maknanya telah melebar menjadi proses koneksi seseorang tanpa peduli apa pun dimensinya. Oleh karena itu, amat wajar, jika manusia sekarang ini lebih cocok disebut sebagai makhluk (media) sosial.
Baca: Warga Muslim dan Yahudi Amerika Saling Blokir di Medsos
Dunia baru
Medsos laksana dunia baru bagi manusia setelah dunia yang sesungguhnya. Betapa tidak, buah karya kemajuan peradaban itu bahkan dapat menciptakan pribadi yang berbeda dengan profil dan karakter personal yang sebenarnya.
Ada sebuah analogi menarik dalam manga besutan Eichiro Oda, One Piece. Dalam ceritanya disebutkan bahwa dunia baru hanya diperuntukkan bagi para bajak laut yang kuat. Dengan kata lain, kelompok yang tidak menyiapkan dirinya dengan kekuatan mumpuni, niscaya tidak akan bisa mencapai dunia baru yang mereka impikan.
Bajak laut yang tak mempunyai kekuatan memadai dengan sendirinya akan berguguran ditelan samudra sebelum mencapai dunia baru yang menjadi tujuan. Alhasil, dunia baru itu menjadi saringan yang sangat presisi yang hanya akan menyisakan kelompok-kelompok tangguh dengan kekuatan yang superhebat.
Mereka yang berhasil mencapai dunia baru adalah para bajak laut yang sebenarnya juga telah menaklukkan gunung dan untuk melintasi Red Line, menembus dan bertahan hidup di keganasan Grand Line, menaklukkan monster laut yang berkeliaran di Calm Belt, serta menyelam di pulau bawah laut, Fishman Island.
Dunia baru ala One Piece ini harusnya setali tiga uang dengan dunia baru yang ditemui umat manusia dewasa ini, tiada lain adalah medsos. Akan tetapi, faktanya berbeda. Dunia baru ala medsos terkesan lebih random dan kompleks. Orang-orang “kuat” dan “lemah” bercampur, serta alim dan awam susah dibedakan.
Di dunia baru atau medsos ini, opini awam terkadang lebih populer dari opini ahli. Pernyataan bodoh lebih digandrungi dari fakta sesungguhnya. Inilah yang menjadi akar masalah, yang secara kasar merupakan dampak dari medsos yang sengaja dibangun dengan akses tanpa syarat dan memungkinkan siapa pun bisa memasukinya.
Baca: Ayat-ayat Dakwah ‘bil Medsos’
Peran pendidik
Isu globalisasi, keragaman, perbedaan, polarisasi, perpecahan, serta komentar-komentar nyinyir dan julid menjadi sesuatu yang seakan kian lumrah di jejaring sosial. Bahkan, jika ditelusuri lebih lanjut, pelakunya bukan orang lain, melainkan orang-orang yang dikenal, bahkan dekat, tetapi jarang bertegur sapa di dunia nyata.
Kala klub sepak bola Persib juara, misalnya. Di platform Instagram menyemburat nyaris satu juta unggahan yang menyertakan tanda pagar (tagar) #persibjuara. Meski postingan itu didominasi ungkapan rasa syukur, tapi tak sedikit pula ditemukan komentar-komentar yang berpotensi memantik perpecahan, bahkan konflik di antara para pengguna.
Umpatan, nyinyiran, sampai ujaran kebencian yang tak pernah ditemui di dalam kehidupan nyata dengan mudahnya terbaca di linimasa dunia maya. Dengan dalih kebebasan berpendapat, warganet terkadang tak sadar telah melampaui batas dalam bersosialisasi.
Di sinilah para pendidik harus hadir dan turut andil dalam menunaikan tugas mulianya, yakni mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi sikap generasi bangsa saat bermedia sosial. Dan dari sekian banyak opsi pendidikan yang dapat diberikan, rasanya moderasi menjadi pilihan yang tepat untuk membekali peserta didik dalam mengarungi dunia baru ala medsos.
Nilai luhur moderasi yang mencakup pada komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi menjadi tawaran yang menjanjikan. Dengan begitu, seleksi ketat demi memasuki era “bajak laut” yang kuat nan hebat nan siap berlayar di lautan medsos bukan isapan jempol belaka.
Layaknya dunia baru di One Piece, medsos sejatinya juga merupakan impian, bukan malah menjadi sesuatu yang mengerikan. Kalau saja setiap orang bisa memanfaatkan medsos dengan baik, niscaya tujuan-tujuan akan tercapai dengan mudah berkat kecanggihan teknologi yang tersedia.
Terjalnya globalisasi yang tinggi bagaikan gunung lautan di Red Line akan mudah teratasi dengan memegang teguh komitmen kebangsaan. Adat, suku, bahasa, dan budaya yang beragam laksana ujian di Grand Line akan sangat gampang disatukan dengan toleransi. Ujaran kebencian dan radikalisme yang brutal seperti ganasnya monster laut Calm Belt akan jinak dengan antikekerasan. Begitu juga dengan komentar, silang pendapat, dan beda pemahaman tidak akan menggoyahkan kerukunan dan tetap akan berenang berdampingan seperti di Fishman Island dalam balutan penerimaan tradisi.
Makna moderasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi diartikan sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Kata tersebut diambil dari akar kata moderat yang bermakna selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.
Dilihat dari pengertian di atas, moderasi dalam bermedsos berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak sebagai ekspresi sikap keagamaan individu atau kelompok tertentu dalam bermedia sosial. Meskipun sulit, tapi bukan berarti tak mungkin bagi seorang guru mampu menanamkan prinsip-prinsip luhur tersebut kepada para peserta didik agar tercipta atmosfer komunikasi di medsos yang lebih sehat.
Di antara prinsip-prinsip tersebut adalah tawasuth (pertengahan), tawazun (berkesinambungan), iktidal (lurus dan tegak), tasamuh (toleransi), musawah (persamaan), dan syura (musyawarah).
Secara lebih praktis, Hari Media Sosial yang diperingati setiap 10 Juni merupakan momentum yang cukup pas untuk mengkampanyekan sehat bermedia-sosial kepada masyarakat. Apabila prinsip-prinsip moderasi tersebut sudah tertanam di benak setiap warganet, meskipun dunia baru medsos tidak akan berubah, tapi mereka akan jauh lebih siap dan dewasa dalam mengahadapi ganasnya ombak lautan dunia maya.
Contoh gampangnya, komentar-komentar berbau provokasi akan semakin terkurangi dan langka. Jika pun masih ada ungkapan-ungkapan yang mengundang perpecahan, keumuman warganet akan lebih kebal, tidak terpengaruh, juga tidak akan ikut-ikutan menyalakan api kebencian.
Warganet di dunia baru akan menghadapi komentar julid cukup dengan mengelus dada, menghela napas panjang, seraya kembali berkelakar, “Maha benar warganet atas segala komentarnya.” Jadi, tak ada lagi kekhawatiran konflik yang merugikan meluber hingga ke daratan.