Oleh: Alfina (Wakil Pemimpin Redaksi Ikhbar.com)
SETIAP pergantian tahun, jutaan manusia di berbagai belahan dunia melakukan ritual yang sama, yaitu menyusun resolusi. Janji untuk hidup lebih sehat, lebih disiplin, lebih jujur, lebih produktif, dan lebih peduli kembali diucapkan dengan penuh optimisme.
Namun, sejarah pribadi dan kolektif menunjukkan satu kenyataan pahit, sebagian besar resolusi itu kembali gagal, lalu diulang pada tahun berikutnya.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan lemahnya niat individu, melainkan cerminan pola berulang dalam sejarah manusia. Janji perubahan sering lahir dari euforia momentum, bukan dari kesadaran historis dan komitmen jangka panjang.
Sejarawan Romawi, George Santayana, pernah mengingatkan, “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it,” artinya mereka yang tidak bisa mengingat masa lalu akan terkutuk untuk mengulanginya. Pernyataan ini bukan hanya relevan bagi bangsa-bangsa besar, tetapi juga bagi individu dalam menjalani hidup. Ketika manusia gagal belajar dari sejarah, termasuk sejarah kegagalannya sendiri, maka resolusi hanya menjadi ritual tahunan tanpa makna transformatif.
Resolusi dan siklus pengulangan sejarah
Dalam lintasan sejarah, kerap terlihat bagaimana peradaban runtuh bukan karena kurangnya cita-cita, tetapi karena kegagalan menjaga konsistensi. Banyak kerajaan besar berjanji melakukan reformasi, memberantas korupsi, dan menegakkan keadilan, tetapi justru jatuh karena mengulangi kesalahan lama. Pola yang sama terjadi pada level personal, yakni resolusi dibuat, dilupakan, lalu disesali.
Baca: Merawat Akar Pesantren
Masalah utama resolusi tahun baru adalah ia sering tidak disandarkan pada evaluasi sejarah yang jujur. Pertanyaan mendasar jarang diajukan adalah mengapa resolusi tahun lalu gagal? Kebiasaan apa yang terus diulang? Sistem apa yang tidak pernah diubah? Tanpa pertanyaan-pertanyaan tersebut, resolusi hanya menjadi slogan.
Perubahan butuh kesadaran
Dalam Islam, perubahan tidak dimulai dari pergantian waktu, melainkan dari kesadaran diri. Dalam QS. Ar-Ra’ad: 11, Allah Swt berfirman:
…اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ…
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan sejati bukan soal tanggal, tahun, atau momentum seremonial, tetapi tentang transformasi sikap, pola pikir, dan perilaku. Resolusi tanpa muhasabah (introspeksi) hanya akan melahirkan pengulangan.
Sejarah Islam pun mencatat bahwa kebangkitan umat tidak pernah lahir dari euforia sesaat. Perubahan besar terjadi melalui proses panjang, mulai dari pendidikan, keteladanan, disiplin, dan kesabaran. Nabi Muhammad Saw membangun peradaban bukan dengan resolusi tahunan, melainkan dengan konsistensi nilai selama puluhan tahun.
Pendidikan dan kegagalan membaca sejarah diri
Dalam dunia pendidikan, kegagalan resolusi juga kerap terlihat. Setiap tahun ajaran baru, komitmen untuk meningkatkan kualitas belajar, karakter, dan kedisiplinan kembali digaungkan. Namun, tanpa refleksi atas praktik lama yang keliru, perubahan hanya terjadi di atas kertas.
Pendidikan sejatinya mengajarkan manusia membaca sejarah, bukan hanya sejarah bangsa, tetapi juga sejarah dirinya sendiri. Peserta didik yang tidak diajarkan refleksi berpotensi tumbuh menjadi generasi yang rajin berjanji, tetapi lemah dalam konsistensi.
Tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara pernah menekankan bahwa pendidikan adalah proses memerdekakan manusia. Kemerdekaan itu hanya mungkin lahir jika seseorang sadar akan kesalahan masa lalu dan berani mengubahnya secara berkelanjutan.
Tahun baru seharusnya tidak dimaknai sebagai “awal yang benar-benar baru”, melainkan sebagai kelanjutan sejarah hidup yang menuntut tanggung jawab. Resolusi perlu diubah menjadi komitmen historis: kesadaran bahwa setiap keputusan hari ini akan menjadi catatan masa lalu pada tahun berikutnya.
Tanpa kesadaran sejarah, manusia hanya berpindah dari satu tahun ke tahun lain dengan kesalahan yang sama. Tetapi dengan refleksi, resolusi dapat berubah menjadi jalan perbaikan yang nyata.
Sejarah tidak pernah menuntut manusia untuk sempurna. Ia hanya meminta satu hal, yakni belajar. Jika tahun baru tidak membuat seseorang lebih jujur terhadap kegagalan masa lalu, maka resolusi hanyalah pengulangan, bukan perubahan.[]