Merawat Akar Pesantren

Tulisan ini bukan pembelaan emosional terhadap pesantren, melainkan ajakan reflektif bagi masyarakat modern untuk menata ulang cara pandang terhadap pendidikan Islam.
Ilustrasi pesantran. Olah Digital oleh IKHBAR

Oleh: Ustaz Sofhal Adnan (Pemimpin Redaksi Ikhbar.com)

KATA kunci “pesantren” di media sosial belakangan ini sering dikaitkan dengan citra negatif. Persepsi tersebut muncul akibat berbagai peristiwa kurang menyenangkan yang menimpa lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia itu.

Ironisnya, sejumlah warganet di kolom komentar menyebut lembaga keagamaan ini kolot, terbelakang, tidak produktif, hingga dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman. Yang lebih menyedihkan, sebagian besar dari mereka justru bukan orang yang pernah hidup di lingkungan pesantren.

Di tengah derasnya arus digital, setiap orang merasa berhak berbicara tentang agama. Namun, ada jarak yang jelas antara mereka yang hanya mengenal Islam melalui media sosial dan mereka yang benar-benar menjalani kehidupan pesantren. Fenomena ini menunjukkan paradoks sosial: banyak yang menilai pesantren tanpa memahami denyut kehidupan di dalamnya.

Baca: Bukan Gagap Teknologi, Ini Nilai Jual Pesantren yang Penting Diadaptasi

Baru-baru ini pun, salah satu stasiun televisi nasional menjadikan pesantren sebagai bahan olok-olok hingga menuai kecaman publik. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa pesantren adalah benteng moral dan intelektual bangsa.

Kemajuan teknologi membuat siapa pun merasa pintar dalam waktu singkat. Sekali klik, ribuan tafsir dan opini muncul di layar. Namun, di balik limpahan informasi itu, lahir generasi yang tahu banyak, tetapi tidak mendalam; cerdas secara teknis, tetapi kering secara spiritual.

Pesantren menolak pola pikir instan semacam itu. Para santri menempuh proses panjang: mengaji kitab kuning, belajar langsung kepada kiai melalui sorogan, hingga menjalani tirakat yang menuntut kesabaran. Di sinilah letak keistimewaannya—pesantren mendidik manusia untuk memahami secara utuh dan mendalam, bukan sekadar cepat.

Mereka yang sinis terhadap pesantren sesungguhnya sedang menunjukkan ketidakmampuan memahami inti nilai-nilai kepesantrenan. Kebijaksanaan tidak tumbuh dari kecepatan berpikir, melainkan dari ketulusan dan kesabaran dalam menimba ilmu.

Bagi sebagian orang, pesantren tampak seperti dunia yang terpisah dari kenyataan luar. Padahal, hal itu bukan bentuk pengasingan, melainkan strategi menjaga nilai peradaban. Pesantren sengaja mengambil jarak agar tidak larut dalam arus pragmatisme dan komersialisasi pendidikan.

Baca: Menjaga Kekhasan Pendidikan Batin Pesantren

Santri mungkin tidak sibuk mengejar gelar atau popularitas, tetapi berfokus pada pendalaman nilai dan pembentukan karakter. Itulah benteng spiritual yang menjaga keaslian Islam di tengah gempuran modernitas.

Pesantren ibarat sumur tua di tengah kota yang bising—tenang, jernih, dan menjadi sumber makna bagi siapa pun yang haus akan keteduhan batin. Menilai pesantren dengan ukuran efisiensi dan keuntungan hanyalah kesalahan persepsi yang lahir dari pandangan dangkal.

Kini saatnya membalik cara pandang. Pesantren memang tradisional, tetapi terus bertahan dan berkembang. Sementara dunia modern yang tampak canggih justru sering kehilangan arah moral.

Santri menimba nilai-nilai abadi, sedangkan dunia luar sibuk mengejar hal-hal yang fana. Pesantren mungkin sederhana dari segi fasilitas, tetapi memiliki keteguhan dalam menjaga arah dan makna kehidupan. Di tengah arus modernitas, lembaga ini tetap menjadi penjaga spiritual dan moral. Kemajuan tanpa dasar nilai justru terasa lebih rapuh dibandingkan tradisi pesantren yang menjaga keabadian.

Meski demikian, pesantren bukan tanpa kekurangan. Tragedi ambruknya musala di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, pada 29 September 2025 menjadi pengingat bahwa spiritualitas harus berjalan seiring dengan tanggung jawab sosial dan keselamatan fisik. Eksklusivitas tidak boleh membuat abai terhadap modernisasi manajemen dan tata kelola.

Tulisan ini bukan pembelaan emosional terhadap pesantren, melainkan ajakan reflektif bagi masyarakat modern untuk menata ulang cara pandang terhadap pendidikan Islam.

Baca: Mengapa Pesantren Perlu Terhubung dengan Jaringan Global?

Manusia kini hidup di era serba cepat, namun sering kehilangan kedalaman makna. Di tengah hiruk-pikuk modernitas, pesantren tetap berdiri dengan kesederhanaan yang penuh kearifan dan ketenangan. Dunia modern memerlukan keseimbangan baru—teknologi yang berjiwa, kemajuan yang berakar pada nilai, dan modernitas yang masih tahu cara bersujud.

Pesantren bukan masa lalu. Di dalamnya tersimpan masa depan yang menunggu para santri pulang. Ketika dunia sibuk membangun menara, pesantren justru menggali akar. Dan seperti biasa, sejarah akan berpihak pada yang berakar.[]

Indana merupakan rubrik khusus yang merekam pandangan Dewan Redaksi Ikhbar.com terhadap fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Meski begitu, Indana ditulis secara reflektif dan bersifat personal sehingga seluruh muatan dan isinya secara penuh menjadi tanggung jawab penulis.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.