Beban Pekerja Migran Perempuan dan Krisis Keluarga menurut Islam

Di banyak negara tujuan, tantangan terbesar yang dihadapi PMI perempuan justru datang dari rumah, bukan dari majikan, budaya, atau beban kerja.
Ilustrasi PMI Perempuan. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Isu sempitnya lapangan pekerjaan kembali mendorong banyak orang Indonesia mencari peluang di luar negeri. Dorongan ini memang sejalan dengan tradisi merantau yang kerap dibahas dalam literatur Islam, meskipun para ulama tetap menekankan pentingnya kehati-hatian ketika bepergian ke negeri orang.

Konsultan Ketenagakerjaan Luar Negeri, Ikranegara Kusumaningrat, menegaskan bahwa banyak hal perlu disiapkan calon pekerja sebelum berangkat mengais rezeki di luar negeri. Ia membagikan pengalamannya mendampingi para pekerja migran Indonesia (PMI) menuju berbagai negara tujuan.

Ia menyoroti bahwa persoalan terbesar di lapangan muncul karena masyarakat mudah terpikat janji proses cepat dan imbalan besar.

“Masyarakat kita lebih mempercayai janji manis ketimbang informasi yang dijelaskan sepahit-pahitnya atau sedetail-detailnya,” katanya saat menjadi narasumber dalam Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Hati-hati Bekerja di Luar Negeri” di Ikhbar TV, dikutip pada Sabtu, 15 November 2025.

Dalam banyak kasus, kata Ikra, minimnya informasi membuka jalan bagi mafia rekrutmen ilegal yang menjerumuskan calon pekerja ke situasi berisiko.

Konsultan Ketenagakerjaan Luar Negeri, Ikranegara Kusumaningrat (kanan), saat menjadi narasumber dalam Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Hati-hati Bekerja di Luar Negeri” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Baca: Mencari Titik Temu Hubbul Wathan vs Tagar #KaburAjaDulu

Motif ekonomi hingga pelarian

Ikra menyebut lebih dari 80 persen PMI berangkat karena tekanan ekonomi. “Sebagian besar lantaran dorongan finansial,” ujarnya.

Motif lain adalah keinginan melarikan diri dari persoalan rumah tangga. Ada yang ingin memulai hidup baru, ada pula yang memerlukan ruang aman untuk menjauh sementara dari konflik berkepanjangan di rumah.

Dari sisi pendapatan, banyak sektor di luar negeri memberi penghasilan jauh lebih besar. Contoh yang sering ditemui adalah sektor domestik di Malaysia dengan gaji minimal 1.500 ringgit (sekitar lima juta rupiah).

“Itu sudah keren banget kalau di Indonesia,” kata Ikra.

Namun, ia mengingatkan bahwa besarnya gaji tidak boleh membuat calon pekerja menyepelekan dokumen, kesiapan mental, dan kemampuan berbahasa.

“Modal semangat saja enggak cukup,” tegasnya.

Dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga, akta kelahiran, ijazah, paspor, serta pelatihan dan kemampuan bahasa merupakan syarat dasar. Tanpa itu, calon pekerja mudah menjadi sasaran iming-iming proses cepat dan tanpa biaya.

Baca: Cerai bukan Kiamat, Ini Cara Berdamai dengan Perpisahan

Konflik keluarga 

Di banyak negara tujuan, tantangan terbesar yang dihadapi PMI perempuan justru datang dari rumah, bukan dari majikan, budaya, atau beban kerja. Media sosial pun kerap dipenuhi kisah PMI yang tiba-tiba dibebani utang keluarga atau diminta mengirim uang dalam jumlah tidak wajar.

Ikra membenarkan situasi tersebut. Menurutnya, akar masalah sering muncul karena informasi keuangan tidak disampaikan secara utuh kepada keluarga.

“Ini yang tidak diceritakan sama keluarga bahwasanya gaji saya segini, potongan saya segini,” jelasnya.

Misalnya, ketika potongan enam bulan untuk pekerja asisten rumah tangga (ART) di Taiwan tidak dijelaskan di awal, keluarga mudah berprasangka buruk, mulai dari menuduh sang pekerja menyembunyikan uang hingga menilai ia kurang berusaha.

Tekanan semakin berat ketika keluarga memosisikan PMI sebagai satu-satunya penopang ekonomi.

“Keluarga hanya tahu gaji lu besar. Lu wajib jadi tulang punggung keluarga,” kata Ikra.

Harapan yang tidak rasional ini, ditambah rasa sungkan PMI untuk mengakui kesulitan di tempat kerja, sering menimbulkan tekanan mental.

“Ada beberapa PMI yang punya mental penginnya flexing (pamer),” ujarnya, menggambarkan budaya pamer keberhasilan di media sosial meski kondisi sebenarnya berat.

Dari sisi keluarga, hubungan yang renggang, kurangnya komunikasi, hingga munculnya OIL (orang idaman lain) turut memperburuk keadaan. Tidak sedikit rumah tangga yang hancur akibat pasangan di rumah menuntut kiriman uang tanpa henti, enggan bekerja, atau mengambil keputusan finansial yang merugikan.

Baca: Prinsip Kesetaraan dalam Keluarga menurut Al-Qur’an

Fondasi amanah dan keadilan

Dalam prinsip ajaran Islam, keluarga dibangun di atas ta’awun (saling membantu) dan amanah (kejujuran). Krisis komunikasi finansial yang dialami banyak PMI perempuan menandakan lemahnya pemahaman keluarga tentang pembagian kewajiban. Islam tidak mewajibkan perempuan menjadi pencari nafkah utama dan tidak membenarkan beban yang merendahkan martabat atau melampaui kemampuan seseorang.

Keadilan dalam perspektif Islam tidak hanya berkaitan dengan pembagian harta, tetapi juga menempatkan setiap anggota keluarga sesuai kapasitasnya, sehingga tidak ada pihak yang dipaksa menanggung beban secara tidak seimbang.

Ikra menekankan bahwa keluarga harus memahami kenyataan yang dihadapi PMI.

“Semua anggota keluarga harus support dan mengerti,” katanya.

Pengelolaan keuangan, pembangunan rumah, dan pendidikan anak perlu dibicarakan sejak awal. Hal itu bukan soal menunggu kiriman, tetapi menciptakan pemahaman bahwa keberhasilan PMI merupakan hasil kerja bersama.

Banyak cerita keberhasilan PMI, dari membangun aset hingga membiayai pendidikan anak, hanya terjadi ketika ada kepercayaan di dalam keluarga. Islam mengajarkan hal serupa, yakni keadilan menuntut keluarga menjaga kehormatan dan kemampuan sesama anggotanya.

“Keberangkatan PMI harus jadi tanggung jawab dan bagian perjuangan semua pihak,” pungkasnya.

Obrolan selengkapnya bisa disimak di:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.