Assalamualaikum. Wr. Wb. Redaksi Ikhbar.com dan Ning Uswah.
Saya Iin Inayah, asal Kota Bandung. Saya ingin bertanya, sejauh mana kewajiban taatnya seorang istri kepada suami? Benarkah istri dalam kajian fikih menjadi sepenuhnya hak suami?
Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb. Kak Iin Inayah dari Bandung.
Hak dan kewajiban adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ketika ada hak, otomatis terdapat kewajiban yang harus dilaksanakan. Kita diberikan hak hidup oleh Allah Swt, maka ada kewajiban yang harus kita laksanakan berupa beribadah sepanjang hidup yang diikuti hak-hak lain yang diberikan Allah Swt berupa kenikmatan di akhirat.
Pekerja pun wajib melaksanakan tugasnya dengan baik, diikuti oleh hak mendapatkan ujrah atau upah yang pantas setelah bekerja.
Begitu juga dalam rumah tangga, ada hak dan kewajiban sebagai pasangan suami istri. Apa yang menjadi kewajiban istri, maka hal tersebut adalah hak suami. Apa yang menjadi hak istri, maka hal itu menjadi kewajiban suami.
Antara hak dan kewajiban harus seimbang, maka tidak ada istilah atasan dan bawahan, yang dihormati dan yang direndahkan, yang dipatuhi dan yang menaati, yang menguasai dan yang dikuasai. Karena suami istri adalah zawaj (pasangan), bukan kepemilikan, maka, harus bekerja sama dengan baik, saling menghormati, saling mencintai, dan harus saling melakukan kebaikan.
Di dalam Uqudullujain dijelaskan tentang kewajiban seorang istri kepada suami. Syekh Nawawi Al-Bantani menukil QS. An-Nisa: 34 untuk mengawali pembahasan tentang kewajiban tersebut. Allah Swt berfirman:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗ
“Laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka, perempuan-perempuan yang salihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).”
Dalam ayat itu disebutkan dua gender, yakni rijal dan nisa. Kalimat ar-rijalu dalam ayat tersebut diartikan laki-laki, sedangkan an-nisa diartikan perempuan. Namun, sebenarnya term rijal dan nisa ini memiliki cakupan makna yang lebih luas, tidak hanya secara seksual atau biologis semata.
Menurut Prof. Zaitunah dan Prof. Nasaruddin Umar, rijal ditafsirkan secara fungsinya dalam peran sosial, yakni orang yang memiliki kekuatan, orang yang berdaya. Karena sifat yang identik dengan rijal di dalam ayat ini adalah memimpin, melindungi, mengayomi, menafkahi. Sedangkan nisa ditafsirkan sebaliknya, yakni orang yang lemah, tidak berdaya, dan tidak memiliki kekuatan. Sifat yang identik dengan nisa adalah butuh dibimbing, butuh diayomi, butuh dinafkahi, dan butuh mendapatkan support alias dukungan.
Jika ada seorang laki-laki atau suami yang dia memiliki karakter mampu memimpin dengan baik, mampu melindungi atau menafkahi, ia disebut rijal. Dan pengertian ini luas tidak sebatas laki-laki, tetapi juga berlaku jika perempuan atau istri mampu menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya, menjadi pelindung, pengayom, dan juga menjadi sumber utama perekonomian untuk menghidupi keluarganya, maka perempuan/istri pun layak disebut rijal.
Baca: Sighat Taklik Penting demi Lindungi Hak Istri
Sebaliknya, jika orang tersebut lemah, tidak memiliki kekuatan dan tidak berdaya serta butuh pengayoman, maka ia disebut nisa, baik perempuan maupun laki-laki. Karena tidak menutup kemungkinan dalam kehidupan, selain laki-laki, banyak juga perempuan menjadi pengayom, pemimpin, dan sumber penghidupan keluarganya. Terlebih perempuan-perempuan single parent.
Lalu pada kalimat selanjutnya terdapat makna qawwamun, saya tidak akan memperdebatkan kalimat ini, bahwa qawwamun maknanya adalah pemimpin. Namun, yang dimaksud dalam ayat ini, qawwamun adalah pemimpin yang benar-benar pemimpin, sebab kalimat qawwamun merupakan bentuk dari sighat mubalaghah atau bermakna memberi penekanan, penguatan, atau penegasan, sebagai indikasi isim fa’il untuk hiperbola (melebih-lebihkan).
Diksi dalam Al-Qur’an menyebut tugas dari rijal adalah sebagai qawwamun, berasal dari isim fa’il qaimun, yakni orang yang berdiri tegak. Menjadi qawwamun artinya orang yang benar-benar harus siap berdiri tegak Dalam hal ini pemimpin bukan pimpinan/atasan dan bawahan, ada beban berat nan besar di pundak seorang pemimpin, siapa yang memberikan jabatan ini? Tentu, Allah-lah yang telah memberikan mandat tersebut.
Sayidina Umar bin Khattab mengatakan bahwa menjadi pemimpin sejatinya adalah sebuah musibah. Dalam sebuah hadis digambarkan tentang ngerinya menjadi pemimpin. Nabi Saw bersabda:
كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin pasti diminta pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpin.” (HR. Muslim)
Maka ketika seseorang menjadi “qawwamun” dalam rumah tangga, ia harus benar-benar menjadi pemimpin bagi orang-orang yang dalam naungannya. Tidak boleh main-main sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga. Kemampuan yang dimiliki rijal sebagai perantara untuk mengayomi nisa itu diberikan melalui bi maa faddalallahu ba’dlahum ‘ala ba’dl (kelebihan-kelebihan yang dianugerahkan oleh Allah). Dari berupa mahar, nafkah, serta memperlakukan dengan makruf. Bukan menjadi kendaraan untuk semena-mena terhadap yang dipimpin.
Kaitannya dengan kewajiban seorang istri terhadap suami adalah pada kalimat selanjutnya, yakni:
فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗ
“Maka perempuan-perempuan yang salihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).”
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa tugas istri kepada suami yang terutama adalah qanitah (taat kepada Allah) dan hafizah (menjaga perjanjian nikah). Dalam arti, menjaga pernikahan yang mitsaqan ghalidza (perjanjian yang kokoh) antara pasangan suami dan istri kepada Tuhan, baik di tengah kehadiran suami maupun ketika sang suami sedang tidak berada dalam satu tempat, sebab sedang bekerja atau bertugas di luar rumah.
Perlu diketahui ketaatan dalam hal ini benar-benar ditegaskan adalah ketaatan kepada Allah, bukan kepada sosok atau makhluk. Ketaatan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada Allah” (HR. Imam Ahmad)
إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada kebaikan saja” (HR. Bukhari)
Ketaatan kepada Allah dalam menjaga pernikahan baik ketika suaminya sedang bersamanya atau sedang tidak bersamanya merupakan kewajiban seorang istri. Termasuk memperlakukan suami dengan baik juga merupakan kewajiban istri. Maka, apabila di dalam menjalankan kehidupan rumah tangga terdapat perintah untuk bermaksiat kepada Allah atau perintah untuk melakukan suatu hal yang tidak patut dan di luar makruf bersama suaminya, maka ia menjadi durhaka/membangkang terhadap nilai-nilai pernikahan.
Sebagai pasangan suami istri, keduanya merupakan makhluk Allah yang harus sama-sama menjunjung tinggi kebaikan dan bertanggung jawab penuh dalam mewujudkan ketaatan kepada Allah. Wallahu a’lam bi al shawab.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.