Oleh: Ustaz Agung Firmansyah (Direktur Utama Ikhbar.com)
JALALUDDIN Rumi dalam Al-Matsnawi meyakini bahwa cinta tidak dapat sepenuhnya dipahami atau dijelaskan dengan kata-kata. Meskipun mungkin ada usaha untuk menjelaskannya, tetapi pada akhirnya, cinta memiliki dimensi yang lebih dalam dan sulit untuk dijangkau.
“Cinta tak ada hubungannya dengan panca indera dan enam arah. Tujuan akhirnya hanyalah daya tarik yang dipancarkan sang kekasih.”
Meski demikian, menurut Rumi, gejala cinta bisa tampak pada diri manusia. Ia menggambarkan, cinta memiliki kemampuan untuk mengubah hal-hal yang tampaknya negatif menjadi sesuatu yang positif. Seperti duka menjadi riang gembira, kemalangan menjadi keberuntungan, dan amarah menjadi keramah-tamahan.
Gejala cinta juga dapat terlihat dari kemampuannya untuk menghubungkan semua orang melalui bahasa universal yang tidak mengenal batasan dan perbedaan.
Baca: Bolehkah Perempuan Lebih Dulu Menyatakan Cinta? Begini Penjelasan Ning Uswah
Fanatisme memperalat cinta
Dalam perspektif biologis, cinta melibatkan hormon-hormon seperti dopamin, oksitosin, vasopressin, dan adrenalin yang berdampak kepada kompleksitas emosi, antara lain senang, gairah, kepercayaan, keterikatan, empati, cemburu, dan posesif.
Pada tingkat psikologis, perasaan cinta berlawanan dengan benci. Cinta sering dikaitkan dengan perasaan positif, seperti kasih sayang, keterikatan, dan kebahagiaan. Sedangkan benci identik dengan perasaan negatif, seperti kemarahan, dan rasa jijik. Fakta mengejutkan dari semua itu adalah, kedua perasaan yang diametral tersebut melibatkan sistem hormon yang sama. Artinya, baik perasaan cinta maupun benci, keduanya berbagi kompleksitas emosi yang serupa.
Cinta dan benci merupakan perasaan yang asasi dan dihormati. Hal terpenting darinya ialah bagaimana perasaan itu dikelola, sehingga hanya kemaslahatan yang lahir, bukan sebaliknya, kemadaratan. Rasulullah Muhammad Saw berpesan:
أحبب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما، وأبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوما ما
“Cintailah orang yang engkau kasihi sekadarnya saja, karena boleh jadi kelak engkau akan membencinya. Bencilah orang yang engkau benci juga sekadarnya saja, karena boleh jadi kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai” (HR. Tirmidzi).
Baca: Cinta Menurut Tasawuf dan Sains
Cinta vs rasionalitas
Nuansa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mencerminkan hubungan yang rumit antara kedua perasaan tersebut. Para pendukung tiap-tiap pasangan calon (paslon) menunjukkan agresivitas sebagai bentuk ekspresi cinta sekaligus benci.
Pilpres adalah sebuah kompetisi yang meniscayakan kemenangan dan kekalahan. Tidak ada “ruang antara” di tengah-tengahnya. Maka, tidak mengherankan, proses pemenangan itu kerap dilakukan dengan bermacam-macam usaha yang tidak mengindahkan kemanusiaan. Antara lain dengan mengeksploitasi perasaan cinta dan benci sebagai bahan bakar melejitkan elektabilitas.
Pelibatan perasaan merupakan sifat dasar dari post-truth, yakni keadaan yang menunjukkan fakta objektif tidak terlalu berpengaruh untuk membentuk opini, dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi.
Dalam konteks pilpres, post-truth menjadi faktor determinan yang merusak proses demokrasi, dan telah menelan banyak korban sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia, terutama sejak social cleavage (pembelahan sosial) terjadi secara masif pada 2014.
Berangkat dari pengalaman tersebut, pelibatan perasaan hendaknya didudukkan pada bonding (peletakan emosi) ukhuwah wathaniyah (persaudaraan se-Tanah Air). Dengan cara mengedepankan prasangka baik, bahwa semua calon pemimpin yang berlaga merupakan putra terbaik bangsa, yang bertekad membawa Indonesia menjadi negara dan bangsa yang sejahtera.
Narasi-narasi yang beredar hendaknya diolah secara rasional, dengan kerangka berpikir yang kritis dan bertanggungjawab. Sikap tersebut bukan hendak mendikotomi perasaan dan rasionalitas. Justru, hal ini merupakan upaya untuk mendudukkan kedua elemen manusiawi itu secara proporsional dan harmonis[].