Oleh: Ustaz Agung Firmansyah (Direktur Utama Ikhbar.com)
SEBUAH ungkapan yang berbunyi, “kalau mau kaya, jadilah pengusaha, jangan jadi guru,” tersiar di ruang-ruang formal seminar hingga obrolan pos ronda. Kelakar ini seolah hendak mengatakan bahwa profesi guru bukan profesi yang layak diidam-idamkan untuk mencapai taraf kesejahteraan, dibandingkan pekerjaan lain seperti pengusaha.
Sarkasme tersebut menjadi common sense jika melihat realitas guru honorer yang memang masih jauh dari standar sejahtera.
Menurut laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), jumlah guru honorer pada 2022 sebanyak 704.503 orang, atau setara dengan 24% dari total pendidik di lingkungan kementerian ini. Jumlah tersebut belum menghitung guru tetap yayasan sejumlah 401.182 orang dan guru tidak tetap sebanyak 141.724 orang.
Di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag), jumlah guru honorer dilaporkan berjumlah sekitar 500.000 orang.
Tiada ada beda antara ketiga kategori guru tersebut. Mereka sama-sama berpenghasilan kecil dengan sedikit tunjangan atau tidak ada sama sekali. Jika dihitung-hitung, jumlahnya tidak sampai menyentuh Upah Minimun Kabupaten (UMK) terendah di Indonesia.
Tidak ada aturan khusus yang mengatur gaji guru honorer. Besaran upahnya ditentukan oleh pejabat yang merekrut dan alokasi anggaran satuan kerja.
Kalkulasi upah guru honorer pada umumnya menggunakan sistem “jam mati.” Ilustrasinya, upah guru per jam pelajaran sejumlah, misalnya, Rp25.000. Jika dalam satu minggu mengajar sebanyak 20 jam pelajaran, maka upah yang diterima adalah Rp.500.000 per bulan. Bukan jumlah upah per minggu dikalikan jumlah pekan dalam sebulan.
Dibandingkan dengan tenaga honorer lain, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 83/PMK.02/2022 yang berkisar Rp2 juta sampai 3juta per bulan, dengan variasi tiap-tiap provinsi, alhasil guru gaji honorer jauh lebih kecil.
Baca: Kasih Sayang Guru menurut Kitab Ta’lim al-Muta’allim
Ikhlas tak berarti menolak imbalan
Profesi guru tak ayal merupakan profesi yang mulia. Pekerjaannya merupakan ibadah dan dianggap jihad fi sabilillah. Oleh karenanya, profesi ini sangat menuntut prinsip keikhlasan. Kendati demikian, sebagai suatu profesi, seorang guru berhak memperoleh imbalan yang sepadan.
Hal itu telah diamanatkan dalam Pasal 14 ayat (1) bagian a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyatakan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Keikhlasan guru sebagai tenaga kerja hendaknya tidak dimanipulasi, dengan tidak memberikan upah yang adil dan sepadan. Rasulullah Muhammad Saw membenarkan pemberian upah yang sepadan kepada orang yang berjasa menolong orang lain. Dalam sebuah riwayat diceritakan:
حدثَنِي سِيدَانُ بْنُ مُضَارِبٍ أَبُو مُحَمَّدٍ البَاهِلَى, حَدَّثَنَا أَبُو مُعْشَرِ البَصْرِيُّ هُوَ صَدُوقُ يُوسُفُ بْنُ يَزِيدَ البَرَّاءُ, قَالَ : حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ بْنُ الْأَحْنَسِ ابُو مَالِكِ, عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةً عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما أَنَّ نَفَراً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيعٌ ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلاً لَدِيغًا ؟ فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ [أى : مجموعة من الغنم ، فَبَرَأَ ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ ، وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللهِ أَجْراً ؟ حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللهِ أَجْراً ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : (إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ) رواه البخاري
“Telah menceritakan kepada kami Sidan bin Mudharib Abu Muhammad Al-Bahili telah menceritakan kepada kami Abu Ma’syar Al-Bashri dia adalah seorang yang jujur yaitu Yusuf bin Yazid Al-Barra`dia berkata; telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin Ahnas Abu Malik dari Ibnu Abu Mulaikah dari Ibnu Abbas bahwa beberapa sahabat Nabi Saw melewati sumber mata air yang terdapat orang tersengat binatang berbisa. Lalu salah seorang yang tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata; ‘Adakah di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.’ Salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan Al-Fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu. Mereka berkata; ‘Kamu mengambil upah atas Kitabullah?’ setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; ‘Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas Kitabullah.’ Maka Rasulullah Saw bersabda: ‘Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah.”
Kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan
Tanggung jawab seorang guru, baik secara administrasi maupun moril sangat berat. Namun, jika dibandingkan dengan tingkat kesejahteraannya, maka tampak masih jauh panggang dari api.
Terdapat beberapa pandangan terkait korelasi antara kesejahteraan guru dengan kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut equity theory of motivation yang dikembangkan John Stacey Adams (1963), motivasi bekerja berbanding lurus dengan reward (pendapatan) yang diterima secara fair (adil).
Di lain pihak, sejumlah peneliti pesimis dengan korelasi tersebut. Seperti dikutip dari The Conversation (2018), hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) 2015 menempatkan Indonesia pada ranking ke-65 dari 72 negara, meskipun sebagian besar dana pendidikan telah digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Baca: 10 Hadis tentang Guru
Disparitas gaji ASN dan honorer
Dari data Kemendikbudristek pada paragraf ketiga di atas, diketahui bahwa jumlah guru Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah sebanyak 52%. Artinya, 48% sisanya merupakan guru non-ASN.
Fakta ini menunjukkan bahwa hampir setengah jumlah guru di Indonesia belum memperoleh gaji yang sepadan. Sehingga sebagian besar memilih double job (memiliki lebih dari satu pekerjaan), dengan konsekuensi harus membagi energi untuk mengajar dan mencari nafkah yang lain.
Rencana pemerintah untuk mengatasi kesenjangan tersebut melalui pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) juga belum membuahkan hasil optimal. Dalihnya, pengajuan dari Pemerintah Daerah tidak sesuai kebutuhan. Dari formasi 601.286 guru PPPK tahun 2023, jumlah terserap tidak lebih dari 50%.
Persoalan klasik ini akan lestari sebagai isu pendidikan apabila tidak segera dicetuskan gagasan strategis. Momen Hari Guru Nasional agaknya menjadi waktu yang tepat untuk membincang isu ini secara tuntas dan komprehensif.[]