Ikhbar.com: Ratusan nelayan Bondet, atau masyarakat yang tinggal di antara sungai Desa Mertasinga dan Desa Grogol, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon menggelar ritual nadran dengan begitu meriah.
Ada banyak tradisi dan budaya warisan masa lampau yang masih eksis dan bertahan hingga sekarang. Salah satunya adalah nadran. Ritual sedekah laut ini lazim ditemukan di pesisir utara pantai pulau Jawa, seperti Subang, Indramayu, dan Cirebon.
“Lebih dari 100 perahu ikut dalam ider-ideran (karnaval) nadran,” ujar salah satu warga, Farhan, Minggu, 11 Desember 2022.
Menurutnya, para nelayan sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti nadran sejak jauh hari sebelumnya. Mereka menghiasi perahu dengan menggantungkan sejumlah makanan dan minuman. Tidak sekadar sebagai hiasan, makanan dan minuman itu pun dijadikan sebagai bekal dalam melaut sekaligus untuk dibagikan ke sesama nelayan demi mendapatkan keberkahan.
“Nelayan juga melarungkan sasajen. Isinya beberapa hasil bumi. Sesajen itu ada di setiap perahu. Tapi yang menarik ialah terdapat kepala kerbau yang dibawa tetua desa. Dia memimpin keberangkatan perahu-perahu lainnya,” kata dia.
Kepala kerbau jantan itu kemudian dibawa dan dilarung ke laut. Ritual ini memberi makna bahwa berbagi rezeki tidak hanya sebatas kepada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk lain, termasuk ikan.
Nadran adalah tradisi hasil akulturasi antara budaya Islam dan Hindu. Kata nadran berasal dari nazar, yang berarti pemenuhan janji.
Menurut cerita masyarakat setempat, nadran pertama kali digelar pada abad ke-15, tepatnya saat Ki Gedeng Tapa, penguasa Cirebon kala itu, mengadakan syukuran setelah putrinya, Nyi Subang Larang, lulus dari pesantren di Karawang. Warga mengadakan arak-arakan dan makan bersama di Pelabuhan Muara Jati.
Ketika sedang makan bersama, Ki Gedeng Tapa kedatangan siluman laut. Mereka meminta makanan agar ikut mendapat berkah. Mendengar itu, Ki Ageng Tapa berjanji membawakan makanan yang diminta di tahun depan. Nazar inilah yang kemudian disebut nadran.
Kontributor: Iswanto