Ikhbar.com: Sekitar jam 10 malam, Ahmad dipanggil Pusat Operasi Jaringan di Perusahaan Telekomunikasi Palestina (PalTel). Pada minggu ketiga serangan Israel, pusat data utama yang berada di Distrik Sheikh Radwan, Kota Gaza, menadak gelap gulita. Ancaman Israel untuk kembali mematikan semua aliran listrik dan jalur komunikasi di Gaza dengan begitu semena-mena dibuktikan mereka.
Untuk memeriksa kondisi jaringan di lokasi tersebut, petugas teknis kelistrikan PalTel harus melintasi kota selama pengeboman udara Israel berlangsung, bahkan semakin gencar. Tugas yang sebelumnya terbilang sederhana, kini menjadi tantangan yang kian membahayakan nyawa mereka. Namun, Ahmad tidak pernah ragu. Dia segera menghentikan ambulans yang lewat dengan harapan kendaraan kemanusiaan itu akan menyelamatkannya dari serangan Israel.
“Saya mengatakan kepada pengemudi bahwa jika saya tidak dapat memulihkan generator, maka orang-orang seperti dia tidak akan dapat menjangkau warga sipil yang terluka. Kami tidak lebih baik dan tidak kalah pentingnya dengan staf medis yang selalu menerima panggilan telepon untuk segera menyelamatkan nyawa,” kata Ahmad, dikutip dari Al-Jazeera, pada Selasa, 21 November 2023.
Dalam laporannya, Al-Jazeera sengaja tidak menggunakan nama asli. Media mengubah sapaannya menjadi Ahmad dan nama-nama lainnya demi melindungi mereka dari buruan militer Israel.
“Sesampainya di tempat tersebut, Ahmad mulai bekerja. Pada pukul 02.00, dia telah memperbaiki generator sehingga jaringan telekomunikasi kembali beroperasi. Dia memutuskan untuk tinggal di gedung itu sampai fajar, lalu menyelinap di antara puing-puing bekas pengeboman saat pulang ke rumah,” tulis Al-Jazeera.
“Alhamdulillah keluarga saya baik-baik saja dan saya masih hidup. Ini adalah pekerjaan dan hidupku, saya terus melakukannya setiap hari,” kata Ahmad.
Baca: Duka Gaza dalam Angka: 42 Bom Dijatuhkan Israel di Setiap Jamnya
Kehilangan banyak nyawa
Ahmad tidak merasakan nasibnya yang begitu menegangkan itu sendirian. Hal itu juga lazim dirasakan sebanyak 750 staf PalTel di Gaza. Mereka telah bertekad untuk terus menjaga terhubungnya jaringan komunikasi meski tiada hari tanpa pengeboman, pengungsian, dan kematian. Setidaknya, sudah ada lima pegawai PalTel di Gaza yang telah tewas akibat serangan Israel. Di sisi lain, mereka juga telah kehilangan banyak anggota keluarganya, termasuk istri dan anak-anak mereka.
Salah satu staf PalTel yang kini telah gugur, Samir, sebelumnya harus menghabiskan 10 jam untuk pulang pergi di setiap harinya demi memastikan terjaganya stok bahan bakar yang dibutuhkan menara pemancar data. Sayangnya, di sebuah hari yang nahas, Samir dan saudaranya tewas terkena bom Israel di saat mereka baru bergerak 15 menit guna melaksanakan tugas mulianya itu.
Kerja-kerja yang dilakukan Ahmad, Samir, dan lainnya sangat penting dan dibutuhkan bagi pekerja kemanusiaan dan jurnalis. Gaza perlu tetap tersambung agar layanan keselamatan korban dan pendokumentasian kondisi terkini di lapangan bisa terus dikabarkan ke dunia luar.
Lebih dari 13.000 warga Palestina telah terbunuh oleh serangan Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Video-video yang menunjukkan kesengsaraan warga sipil telah menimbulkan keterkejutan, kengerian, dan mampu membangkitkan empati seluruh warga dunia.
Israel telah memutus aliran listrik di Gaza sejak hari pertama perang. Meskipun begitu, jaringan telekomunikasi Gaza tetap berhasil bertahan dan terus beroperasi selama hampir enam minggu terakhir.
CEO PalTel, Abdul Majeed Melhem mengatakan, kemampuan itu berhasil dilakukan berkat persiapan perusahaannya selama lebih dari 15 tahun. Paltel telah cukup lama melakukan simulasi penyelamatan jaringan dan infrastruktur telekomunikasi dalam keadaan darurat perang.
“Kami telah menghadapi banyak insiden berbeda selama perang sebelumnya. Kami melakukan perlindungan lebih dibandingkan operator lain,” kata Melhem.
Bahkan, jaringan PalTel dibangun selama pengepungan Israel terhadap Gaza. Hal itulah yang mengharuskan setiap peralatan harus disetujui oleh otoritas Israel sebelum memasuki wilayah tersebut.
Perang yang berulang kali dan serangan bom Israel di Gaza telah merusak infrastruktur sipil. Guna mempersiapkan diri menghadapi konflik berkelanjutan seperti yang terjadi saat ini, jaringan telekomunikasi itu dibangun dengan cara lebih ekstra.
Sebagian besar jaringan telekomunikasi memang menggunakan kabel yang dikubur sedalam 60 cm di bawah tanah. Namun, PalTel berinisiatif untuk menguburnya lebih dalam hingga 8 meter. Selain itu, demi menghindari dampak pemutusan jaringan listrik oleh Israel, pusat data di Gaza juga disiapkan dengan tiga lapisan redundansi (duplikasi daya), yakni generator, panel surya, dan baterai.
Perusahaan juga telah mengembangkan protokol darurat untuk mengarahkan pekerja jarak jauh dari Tepi Barat. Jika komunikasi tetap terputus, maka staf yang berada di Gaza diberi wewenang untuk bertindak secara mandiri.
Terlepas dari semua persiapan yang telah dilakukan, besarnya skala pemboman yang terjadi beberapa pekan terakhir tetap saja sempat melumpuhkan jaringan tersebut. Bahkan, sekitar 70% jaringan seluler kini telah offline. Sebagian panel surya pun telah hancur karena serangan ataupun tertutup debu dan puing.
Keberanian pejuang
Konflik yang tak henti-hentinya juga membebani staf yang merasa terus dirundung bahaya selama perjalanan dari rumah hingga di lapangan.
Seorang teknisi serat optik, Rabih, misalnya, dipanggil untuk memperbaiki kabel yang hanya berjarak beberapa meter dari titik perang pada 15 Oktober lalu. Sebelum berangkat, ia harus memberikan daftar lengkap nama tim perbaikan, warna mobil, dan nomor registrasi kepada perusahaan agar bisa digunakan saat sesuatu yang paling getir ditakdirkan menimpa mereka.
Saat Rabih dan tim telah bekerja selama dua jam untuk memperbaiki kabel, dengungan drone dan suara tembakan bercampur erangan ekskavator terasa sangat memekikkan telinga mereka.
“Siapa saja bisa menjadi sasaran perang. Saya tidak bisa menjelaskan kepada istri dan anak-anak saya mengapa saya tetap bekerja selama perang. Perusahaan saya pun tidak mewajibkan saya, tapi kalau ada yang tidak bisa, saya siap,” ujarnya.
Para petugas telekomunikasi yang berada di Tepi Barat terus mengawasi rekan-rekan mereka di Gaza dengan napas tertahan, ragu-ragu, dan selalu meminta mereka memeriksa peralatan yang sudah tidak layak guna. Mereka terus meningkatkan kepedulian itu karena tahu bahwa setiap perbaikan, meski sederhana, tetap bisa mengorbankan nyawa mereka.
“Namun, sangat sulit untuk menelepon rekan-rekan saya dan meminta mereka keluar saat pengeboman berlangsung. Saya merasa takut jika salah satu dari mereka terluka. Jika itu terjadi, saya tidak akan pernah memaafkan diri saya sendiri,” kata Mohammed, seorang pekerja di Network Operation Center PalTel di Tepi Barat.
Mohammed berperan untuk memantau masalah dalam jaringan, meminta pekerja untuk secara sukarela memperbaikinya, dan terus menghubungi mereka untuk memberikan umpan balik mengenai perbaikan tersebut.
“Saya tidak dapat membayangkan bagaimana orang-orang ini memiliki keberanian untuk keluar. Mungkin jika saya yang ada di sana, saya tidak seberani mereka untuk melakukannya,” kata Mohammed.
Tidak peduli berapa meter kedalaman yang mereka gali atau jumlah panel surya yang mereka pasang, koneksi Gaza dengan dunia luar pada akhirnya bergantung pada Israel. Kabel yang menghubungkan Gaza ke dunia luar memang melewati negara zionis itu. Oleh karenanya, negara tersebut setidaknya telah dua kali dengan sengaja memutus komunikasi internasional di jalur tersebut.
Israel juga mengontrol distribusi bahan bakar ke Gaza. Mereka sengaja mempersulit penyaluran bahan bakar yang masuk ke Gaza pada hari Jumat. Israel juga pernah mengumumkan janji mereka bahwa 120.000 liter bahan bakar akan diizinkan masuk ke wilayah tersebut setiap dua hari untuk digunakan rumah sakit, toko roti, dan layanan penting lainnya.
PalTel juga dijanjikan 20.000 liter bahan bakar untuk generatornya. Namun, pada akhirnya Israel tetap sesuka hati menyetop setiap laju pengiriman bahan bakar yang melintasi wilayahnya.