Ikhbar.com: Jangan mengandalkan penafsiran lama apalagi dalam bidang sains, bahkan dalam bidang perkembangan masyarakat untuk mengukur kebenaran masa kini.
Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA ketika menjawab pertanyaan terkait bagaimana menyikapi penafsiran sains dalam kitab tafsir yang ditulis beberapa abad yang lalu jika dikaitkan dengan temuan ilmiah modern.
“Yang pertama yang harus diketahui bahwasannya tafsir itu dari seorang mufasir yang dipengaruhi oleh banyak hal, salah satu di antaranya perkembangan ilmu pengetahuan,” kata Quraish Shihab saat mengisi acara Tanya Jawab Wawasan Keislaman yang diinisiasi oleh Pondok Pesantren Bayt Al-Quran pada Rabu, (12/10/2022).
Berikutnya, kata Quraish Shihab, ilmu pengetahuan itu berkembang. Sehingga bisa jadi, dulu yang dianggap benar sekarang tidak berlaku lagi.
“Bisa jadi dulu belum diketahui, sekarang diketahui. Untuk itu, yang dinamakan hakikat ilmiah itu ialah kesepakan ilmuan pada waktu tertentu. Nah, bisa jadi kesepakatan itu diubah,” ujarnya.
Misalnya, lanjut Quraish Shihab, sekarang ini, dengan kemampuan teknologi yang sedemikian rupa, jenis kelamin pada pada janin mampu diketahui, padahal pada zaman dulu belum mampu demikian.
Baca juga: Dipercaya Datangkan Rezeki, Berikut Amalan Sederhana dari Gus Baha Ketika Hendak Masuk Rumah
“Ketika membaca tafsir Waya’lamumaa fil arhaam, mereka menafsirkannya Tuhan mengetahui jenis kelamin anak, tapi manusia juga bisa tahu. Sehingga jika ada yang mengatakan atau menafsirkan ayat tersebut dengan ‘hanya Tuhan yang tahu’, maka itu salah,” jelasnya.
Quraish Shihab menjelaskan, mereka yang menafsirkan hal seperti itu karena sesuai perkembangan ilmunya.
“Jangan memastikan itu atau mengklaim itu kebenaran al-Qur’an, tetapi inilah pendapat saya sesuai perkembangan ilmu yang saya pahami,” ucap Quraish Shihab.
Jika demikian, lanjut Quraish Shihab, jika di kemudian hari salah, maka bukan al-Qur’annya yang salah, tetapi manusianya.
“Termasuk juga ketika menafsirkan kata ‘Ummi’ pada Nabi. Ini juga merupakan penafsiran perkembangan masyarakat saat itu,” tuturnya.
Menurutnya, pada zaman dulu itu, yang bisa diandalkan ialah orang yang mampu menghafal, bukan menulis.
“Bahkan dulu orang yang pandai menulis itu aib, karena mereka dinilai ingatannya tidak kuat,” imbuhnya.
Karena itulah, kata Quraish Shihab, dulu, hadis yang diandalkan adalah hafalan, bukan tulisan.
“Jangan mengukur masa kini dengan masa lalu, begitupun sebaliknya,” tandasnya.