Ikhbar.com: Sebelum istilah ini disalahpahami sebagai aktivitas begadang (melek) sepanjang malam, perlu diketahui bahwa tradisi ini memiliki pengertian yang sama sekali berbeda. Malah tradisi ini lebih sering dilakukan di siang hari.
Tradisi melekan yang berlangsung di Desa Jemaras Kidul, Kabupaten Cirebon ini biasanya mengambil waktu setahun sekali, setelah musim panen padi di akhir kemarau (bulan Agustus atau September). Sebagian masyarakat menyelenggarakannya di salah satu rumah warga, dan sebagian yang lain di pendopo area tempat pemakaman umum (TPU).
Baca juga: Logika Sederhana Gus Baha Ini Jawab Perdebatan Hukum Merayakan Maulid Nabi Muhammad
Tradisi melekan yang berlangsung di Desa Jemaras Kidul, Kabupaten Cirebon ini biasanya mengambil waktu setelah musim panen padi di akhir kemarau (bulan Agustus atau September). Melekan dilakukan di rumah warga dekat area tempat pemakaman umum (TPU).
Keluarga yang kerabat atau leluhurnya dimakamkan di TPU berpatungan menyediakan sajian makanan dalam wadah yang disebut ‘tenong’ (dibaca seperti kata terong). Tenong ialah wadah dari anyaman dan kulit bambu berbentuk tabung seukuran dandang atau lebih besar. Satu tenong berisi nasi dan lauk-pauk matang untuk tujuh hingga delapan porsi.
Sebagaimana lazimnya acara syukuran, melekan dimulai dengan pembacaan tahlil dan tawasul. Kemudian dilanjutkan dengan makan bersama dari tenong yang sudah disajikan. Bisa juga makanannya dibawa pulang. Orang-orang tua biasanya tidak langsung beranjak pulang, melainkan bercengkerama dengan kerabat yang sengaja datang dari luar kota untuk menghadiri tradisi ini.
Sebagaimana lazimnya acara syukuran, melekan dimulai dengan pembacaan tahlil dan tawasul. Kemudian dilanjutkan dengan makan bersama dari tenong yang sudah disajikan. Bisa juga makanannya dibawa pulang. Orang-orang tua biasanya tidak langsung beranjak pulang, melainkan bercengkerama dengan kerabat yang sengaja datang dari luar kota untuk menghadiri tradisi ini.
Baca juga: Quraish Shihab Jelaskan Sejarah Perayaan Maulid Nabi
Usai tahlilan, acara dilanjutkan dengan pesta rakyat, berupa pagelaran seni Topeng, Sintren, Wayang Kulit, Sandiwara, dan lain-lain. Serta terkadang dimeriahkan dengan lomba-lomba seperti panjat pinang juga permainan klasik. Pagelaran Seni di samping sebagai tontonan, akan tetapi juga menjadi tuntunan yang berisi pesan-pesan luhur yang mudah dipahami oleh masyarakat secara luas.
Lebe Wawan mengatakan, selain sebagai tanda syukur atas anugerah panen padi yang dihasilkan musim ini, melekan juga berfungsi sebagai perekat persaudaraan. Orang-orang yang tunggal buyut (memiliki kesamaan leluhur) biasanya memiliki jarak kekerabatan yang lebar, sehingga tak mengenal satu sama lain.
“Melalui tradisi ini, mereka memiliki kesempatan untuk saling mengenal dan meneruskan informasi silsilahnya kepada generasi yang lebih muda. Tradisi ini menjaga agar tidak “pareumeun obor”, dalam bahasa Sunda, atau “kepaten obor” dalam bahasa Jawa,” katanya, Kamis, 6 Oktober 2022.
“Pareumeun obor” atau “kepaten obor” berarti kehilangan riwayat asal-usul atau informasi hubungan kekerabatan. Frasa ini menggambarkan kondisi tidak saling mengenal di antara kerabat dari keturunan yang sama, lantaran ketiadaan interaksi atau tidak saling diperkenalkan oleh orang-orang tuanya.
Ia menambahkan, “melekan” berasal dari kata “meleka” yang merupakan kata kerja perintah dalam bahasa Jawa dari kata “melek”. Padanan bahasa Indonesianya ialah “bukalah mata”. Artinya membuka pandangan terhadap garis silsilahnya.