Ikhbar.com: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Israel meminta warganya untuk menyumbang pemerintah dalam memenuhi kebutuhan anggaran selama perang melawan kelompok militan Hamas di Gaza, Palestina.
Aturan baru itu mengharuskan warga menyalurkan sumbangannya langsung ke kas negara, tidak boleh lewat individu, swasta, yayasan, maupun LSM.
“Dokumen tersebut ditulis untuk mengatur proses donasi sesuai dengan aturan administrasi dan integritas yang baik,” rilis Kemenkeu Israel, dikutip dari Haaretz, Sabtu, 11 November 2023.
Baca: Kota Gaza telah Kosong, hanya Tersisa Ledakan dan Jeritan
Untuk sementara, pedoman tersebut akan diberlakukan hingga akhir tahun. Dokumen tersebut juga menentukan jumlah donasi maksimum sebesar 360.000 shekel atau sekitar Rp1,4 miliar untuk organisasi bisnis dan 500.000 shekel (Rp2 miliar) untuk organisasi nirlaba.
Di sisi lain, aturan itu juga menuai kritikan karena dianggap akan membuka pintu bagi pengaruh luar yang tidak pantas dan mengambil keuntungan dari niat baik masyarakat.
“Karena perang, ada peluang untuk memberikan pengaruh yang tidak pantas terhadap pegawai negeri di sini,” kata seorang sumber di salah satu kementerian.
“Tidak dapat diterima jika sebuah negara dengan anggaran yang besar meminta sumbangan untuk kegiatan-kegiatan yang dapat dan harus dibiayainya. Masalahnya bukanlah uang, itu adalah prioritas pemerintah,” kata sumber lain.
Baca: 11 Rudal Israel Incar RS Indonesia di Gaza
Prospek negatif
Konflik Gaza diperkirakan telah berdampak buruk pada sumber keuangan Israel. Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich membuat pernyataan mengenai anggaran nasional 2023-2024 yang tidak lagi relevan karena perang masih berlangsung.
Smotrich mengindikasikan bahwa anggaran perlu diubah karena krisis yang tidak terduga. Dia juga tampak tidak terganggu dengan keputusan S&P Global, yang baru-baru ini menurunkan prospek ekonomi Israel dari stabil menjadi negatif.
Smotrich memperkirakan biaya langsung perang tersebut mencapai sekitar 1 miliar shekel atau setara dengan 246 juta dolar Amerika Serikat (AS) per hari atau Rp3,89 triliun.
Kendati demikian, Smotrich menekankan bahwa dampak ekonomi tidak langsung itu masih dikaji. Sebab, Israel kini sedang bergulat dengan mobilisasi massal pasukan cadangan militer dan rentetan serangan roket dari Gaza.
Penurunan peringkat kredit Israel oleh S&P Global diambil lebih awal dari yang direncanakan, dan menyusul pengumuman Moody’s dan Fitch bahwa Israel akan ditinjau.
S&P mengaitkan perubahan ini dengan tantangan ekonomi yang ditimbulkan oleh perang yang sedang berlangsung. Sebab dari perang itu diperkirakan akan memperlebar defisit fiskal Israel.
Dalam skenario yang lebih optimistis, perekonomian diperkirakan akan pulih ke tingkat pertumbuhan sebelum perang pada kuartal I-2024, dengan pertumbuhan sebesar 1,5% pada 2023, 0,5% pada 2024, dan 5% pada 2025.
Namun, defisit fiskal diperkirakan akan meningkat menjadi 5,3% dari PDB pada tahun 2023-2024 karena langkah-langkah dukungan pemerintah.
Pun, situasi ini dapat memburuk jika perang meluas ke bidang lain, yang berpotensi menyebabkan penurunan peringkat kredit pada pengumuman enam bulan berikutnya.