Ikhbar.com: Kelompok militan Palestina, Hamas menunjuk Yahya Sinwar sebagai pemimpin politik menggantikan Ismail Haniyeh yang tewas terbunuh di Teheran. Sosok Yahya Sinwar dijuluki “Dead man walking” atau “Mayat berjalan.”
“Gerakan Perlawanan Islam Hamas mengumumkan pemilihan pemimpin Yahya Sinwar sebagai kepala biro politik gerakan,” bunyi pernyataan dari kelompok itu, sebagaimana dikutip dari Al Arabiya, Rabu, 7 Agustus 2024.
Baca: Siapakah Hamas? Ini Profil dan Kekuatan Musuh Utama Israel di Gaza
Seorang pejabat senior Hamas, sebagaimana dikutip dari AFP, menyebut penunjukkan Sinwar sebagai kepala mengandung pesan bahwa perlawanan hamas terhadap pendudukan Israel akan tetap berlanjut.
Sinwar dituduh mendalangi serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 hingga menewaskan 1.198 orang dan menyandera 251 warga Israel.
Sinwar lahir di kamp pengungsi Khan Younis di Gaza selatan. Dia bergabung dengan Hamas ketika Syekh Ahmad Yassin mendirikan kelompok tersebut saat intifada Palestina pertama dimulai pada 1987.
Sinwar mendirikan aparat keamanan internal kelompok tersebut pada tahun berikutnya, kemudian memimpin unit intelijen yang didedikasikan untuk mengusir dan menghukum tanpa ampun, bahkan membunuh warga Palestina yang dituduh memberikan informasi kepada Israel.
Sinwar merupakan lulusan Universitas Islam di Gaza. Ia mempelajari bahasa Ibrani dengan sempurna selama 23 tahun di penjara Israel dan disebut memiliki pemahaman yang mendalam tentang budaya dan masyarakat Israel.
Sinwar menjalani empat hukuman seumur hidup atas pembunuhan dua tentara Israel, ketika ia menjadi yang paling senior dari 1.027 warga Palestina yang dibebaskan sebagai ganti tentara Israel Gilad Shalit pada 2011.
Baca: Warga Palestina: Kami masih Hidup, Negara Arab dan Muslim yang Mati!
Sinwar kemudian menjadi komandan senior di Brigade Ezzedine Al-Qassam, sayap militer Hamas, sebelum mengambil alih kepemimpinan keseluruhan gerakan di Gaza.
Jika pendahulunya, Haniyeh, telah mendorong upaya Hamas untuk menampilkan wajah moderat kepada dunia, Sinwar lebih suka memaksakan masalah Palestina ke depan dengan cara yang lebih keras.