Assalamualaikum. Wr. Wb.
Ikhbar.com dan Kiai Alam, perkenalkan nama saya Badruddin, dari Bekasi, Jawa Barat.
Kiai, saya ingin bertanya, bagaimana fikih kontemporer menghukumi kebutuhan hiburan/rekreasi keluarga dalam persoalan nafkah? Jika istri ingin sekali menononton konser Coldplay, misalnya, bolehkah menyingkirkan terlebih dahulu priotitas kebutuhan rumah tangga lainnya? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Baca: Calo dan Jastip War Tiket Konser Coldplay Menurut Fikih
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb
Terima kasih, Bapak Badruddin atas pertanyaannya.
Pertama-tama, persoalan nafkah terus mengalami transformasi dari masa ke masa. Bahkan, dalam penelitian saya, perubahan demi perubahan terjadi cukup signifikan.
Kita mulai dari pemaknaan nafkah terlebih dahulu. Di masa sahabat Nabi Muhammad Saw hingga di era empat imam mazhab, nafkah dimaknai sebagai pemberian berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Kemudian, setelah era itu, cakupan nafkah berkembang ke segala bentuk tanggung jawab suami kepada istrinya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Di era modern, kebiasaan masyarakat turut melebarkan arti nafkah hingga ke bentuk tanggungan, termasuk tanggungan pendidikan, bahkan hiburan, wisata, atau rekreasi keluarga.
Namun, standar pokoknya, tanggung jawab dan bentuk nafkah suami kepada istri ini mengacu pada QS. At-Thalaq: 6. Allah Swt berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. Janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.”
Kemudian, QS. At-Thalaq: 7. Allah Swt berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.”
Sejauh ini, tidak ada literatur fikih yang menyebutkan bahwa hiburan atau rekreasi tergolong dalam nafkah suami. Namun, jika merujuk pada kebiasaan masyarakat sekarang, kebutuhan itu lazim ditanggung kepala rumah tangga.
Hal itu, bisa mengacu pada keterangan Syekh Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (Ibnu Rusyd) dalam Bidayatul Mujtahid yang menjelaskan:
وأما مقدار النفقة فذهب مالك إلى أنها غيرمقدرة بالشرع وأن ذلك راجع إلى ما يقتضيه حال الزوج وحال الزوجة، وأن ذلك يختلف بحسب اختلاف الأمكنة والأزمنة والأحوال، وبه قال أبو حنيفة.
“Adapun terkait ukuran nafkah, Imam Malik berpendapat bahwa kadar nafkah tidak ditentukan secara syariat. Kadar nafkah harus merujuk pada keadaan suami dan keadaan istri yang bersangkutan. Itu pun berbeda-beda sejalan dengan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah.”
Meskipun biaya hiburan, berwisata, atau rekreasi bersama keluarga bukan bagian dari tanggung jawab nafkah menurut Islam, tetapi rasanya tidak mungkin ada orang tua atau suami yang membiarkan keluarganya menanggung biaya sendiri-sendiri saat berwisata, atau tidak memberikan hiburan dan rekreasi sama sekali kepada mereka. Belum lagi, jika berwisata dinilai dapat membahagiakan dan menambah keharmonisan hubungan internal keluarga, maka hal tersebut bisa menjadi kewajiban bagi seorang kepala rumah tangga untuk mewujudkannya.
Terkait keinginan menonton konser, terjadi banyak perbedaan pandangan di antara para ulama. Namun, jika merujuk pada pendapat ulama yang membolehkan musik, maka bijaknya kita tidak melakukan hal yang dapat melanggar larangan syariat lainnya, seperti bercampur antara laki-laki dan perempuan dalam satu tempat, serta sejumlah potensi kemaksiatan lainnya.
Selain itu, menonton konser atau hiburan lainnya lazim dimasukkan pada level kebutuhan lanjutan setelah kebutuhan pokok. Meskipun, mendahulukan hiburan dari pada kebutuhan primer ini, menurut saya, tidak termasuk problem hukum yang mendalam, melainkan hanya soal kebijakan dalam menentukan.
Meskipun begitu, jika boleh memberikan saran, dahulukan kepentingan yang bersifat khusus dan primer ketimbang kebutuhan umum dan bersifat tersier. Wallahu a’lam.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Penjawab: KH Ahmad Alamuddin Yasin, Pakar Hukum Keluarga Islam, Pengasuh Pondok Darussalam Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat.