Ikhbar.com: Pemerintah Israel melarang warga Palestina yang berada di Tepi Barat untuk mengumpulkan air hujan. Aturan tersebut sudah berlaku sejak 1967 silam.
Dikutip dari the messenger, menurut Amnesty International, undang-undang tersebut mulai berlaku ketika Israel mengambil kendali atas semua sumber air di Tepi Barat.
Negara Zionis itu menganggap bahwa menampung air hujan bagi warga Palestina di Tepi Barat merupakan tindakan ilegal. Mereka melarangnya untuk dipergunakan dalam keperluan apapun.
Berdasarkan Undang-Undang dan perintah militer di Wilayah Pendudukan Palestina (OPT), Israel tidak hanya melarang mengumpulkan air dari hujan, mereka juga tidak memperbolehkan warga Palestina untuk mengambil air dari sumber baru.
Ada syarat yang harus dilalui warga Palestina jika ingin membangun infrastruktur air baru. Mereka lebih dulu memperoleh izin dari militer Israel.
Karenanya, Amnesty International menyebut kebijakan itu mustahil didapatkan warga Palestina yang ingin membangun sumber air dengan lebih banyak.
Tidak hanya membatasi, laporan tersebut juga mengatakan bahwa Israel merusak pasokan air di Tepi Barat. Tindakan itu telah dilakukan perusahaan air milik negara Israel bernama Mekorot.
“Perusahaan tersebut telah menenggelamkan sumur dan menyadap mata air di Tepi Barat yang diduduki Israel untuk memasok air,” tulis Amnesty.
Mekorot memang menjual sejumlah air ke perusahaan air minum Palestina. Meski demikian volume air yang diperjualkan mereka ditentukan otoritas Israel dan seringkali tidak terjangkau.
“Akibatnya, pengeluaran air bagi keluarga di Palestina busa mencapai setengah dari pendapatan bulanan mereka,” katanya.
Dalam Perintah Militer 158 juga disebutkan bahwa warga Palestina tidak diperbolehkan mengebor sumur air baru, memasang pompa, atau mengubah sumur yang sudah ada.
“Warga Palestina juga tidak diberi akses terhadap Sungai Yordan dan sumber air tawar,” tulis aturan tersebut.
Akibat dari kebijakan tersebut, sekitar 180.000-200.000 warga Palestina di Tepi Barat tidak memiliki akses terhadap air yang mengalir.
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA), bahkan wilayah yang terhubung dengan jaringan air dan sumber daya alam pun tidak memiliki akses terhadap air yang mengalir.
Laporan tersebut mengindikasikan bahwa pemukim Israel yang tinggal berdampingan dengan warga Palestina di Tepi Barat tidak menghadapi kekurangan air. Bahkan dari mereka terkesan menghamburkan air dengan menikmati fasilitas kolam renang.
Sumber diare
Menurut laporan Global Waters, kurang dari 88% warga Palestina memiliki akses terhadap air dasar. Jumlah tersebut tidak termasuk air sanitasi.
“Sekitar 95 persen air dari akuifer utama tidak memenuhi standar konsumsi manusia. Sehingga membuat warga Palestina tidak mempunyai akses karena kerusakan pipa dan kriminalisasi terkait penggalian sumur dan pengumpulan air hujan,” tulis laporan Global Waters.
Mereka melaporkan bahwa sekitar 90.000 meter kubik limbah mentah mengalir dari Gaza ke Laut Mediterania. Hal itu berimbas dengan meningkatnya risiko warga Gaza terkena penyakit yang ditularkan melalui air.
Kondisi tersebut kian parah sejak agresi militer Israel ke Gaza pada 7 Oktober 2023 lalu. Dikutip dari NBC News, para petugas kesehatan mengatakan bahwa kasus diare dan gangguan pencernaan warga setempat meningkat.
“Hal itu disebabkan sanitasi yang buruk karena semakin langkanya air di Gaza,” katanya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, sejak pertengahan Oktober, lebih dari 44.000 kasus diare terjadi di Gaza. Padahal jika melihat data dua tahun sebelumnya, di wilayah tersebut hanya terdapat 2.000 kasus terkait diare anak-anak.
“Karena tidak tersedianya air bersih, masyarakat terpaksa minum dan mengonsumsi air kotor. Akibatnya timbul banyak penyakit diare di Palestina,” tulis WHO.
Sementara itu, Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan, perang Israel di Gaza mengakibatkan layanan air dan sanitasi ditutup sejak 15 November 2023.