Ikhbar.com: Menelusuri asal-usul leluhur bukan hanya soal pengetahuan silsilah, tetapi sebuah upaya untuk memahami jati diri yang lebih mendalam.
Dalam satu dekade terakhir, pengujian Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) semakin populer di kalangan masyarakat yang ingin mengungkap akar sejarah mereka. Pengalaman ini sering kali berawal dari ketidakpastian akan identitas dan berujung pada penemuan signifikan tentang latar belakang budaya serta warisan genetik yang menciptakan hubungan emosional dengan masa lalu.
Baca: Curhat Bisa Cegah Gangguan Mental
Sebuah kisah nyata mengilustrasikan dampak pencarian ini. Seorang jurnalis lepas yang konsens pada isu kesehatan menyal, Greta Solomon memulai perjalanan menemukan akar keluarganya setelah tragedi pribadi menimpa mereka. Dia mengaku kehilangan sang ibu akibat bunuh diri pada 2008. Duka mendalam tersebut mendorong kebutuhan untuk memahami asal-usul keluarga demi menemukan makna baru dalam kehidupan.
Orang tua Solomon merupakan imigran dari Kepulauan Karibia. Sang ibu, kelahiran Jamaika, meninggalkan kampung halamannya pada usia 10 tahun, sedangkan ayahnya merantau dari Nevis untuk mengejar pendidikan di negeri lain.
Keluarga Solomon memiliki sejarah yang kaya, termasuk kakek buyut yang lahir pada masa akhir perbudakan di St. Kitts dan kemudian menjadi pengusaha terkemuka sekaligus tokoh serikat pekerja yang diakui di komunitasnya. Namun, jejak garis keturunan sebelum periode perdagangan budak transatlantik itu tetap menjadi misteri besar.
Untuk menyibak tabir sejarah keluarga, pengujian DNA yang dilakukan melalui African Ancestry mengungkapkan bahwa leluhur Solomon berasal dari suku Fang dan Tikar di Kamerun dan Gabon. Suku Fang dikenal sebagai pemahat topeng dan pengrajin patung kayu yang bernilai seni tinggi, sementara suku Tikar memiliki tradisi seni pertunjukan yang kuat, termasuk sastra dan musik.
Temuan ini memperkuat pemahaman bahwa minat Solomon dalam dunia menulis dan bercerita bukanlah kebetulan, melainkan warisan dari budaya nenek moyangnya.
“Ketika Anda dinyatakan berasal dari suatu kelompok yang cocok, maka hal itu akan menguatkan Anda melalui identitas yang lebih utuh,” kata Solomon, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Senin, 4 November 2024.
Baca: Tinggalkan Ponsel selama Seminggu dan Rasakan Manfaatnya!
Hal ini sejalan dengan penelitian seorang psikolog dari Duke University, Dr. Sarah Gaither, yang menyatakan bahwa identitas manusia dibangun dari berbagai komponen, mulai dari pengalaman hidup, lingkungan, hingga informasi yang diwariskan.
Gaither menegaskan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah merasa memiliki, dan menelusuri sejarah genetik bisa menjadi langkah penting untuk memenuhi kebutuhan ini. Dari segi psikologis, pengungkapan asal-usul genetik bisa mempengaruhi persepsi diri seseorang.
Sebuah studi yang dilakukan oleh University of Toronto pada 2019 menemukan bahwa individu yang memiliki pengetahuan lebih dalam tentang silsilah keluarganya cenderung memiliki tingkat kepercayaan diri dan stabilitas emosi yang lebih tinggi. Penemuan tentang warisan genetik, seperti yang dialami Emma Parsons-Reid dari Cardiff, Inggris, mampu memberikan dampak signifikan. Setelah tes DNA ibunya mengungkap bahwa mereka adalah keturunan Ratu Estrid dari Denmark yang lahir sekitar tahun 997, Emma merasakan kebanggaan yang tak terduga dan keberanian untuk bersikap tegas.
Namun, pengungkapan ini tidak selalu membawa kenyamanan. Menurut Dr. Keon West, penulis The Science of Racism, hal seperti itu juga bisa memicu konflik identitas, terutama jika hasil yang didapat bertentangan dengan pengetahuan atau keyakinan yang sudah lama dipegang.
Baca: Latah ‘Ngecek’ Ponsel Setiap 10 Detik? Ini Tips Mengatasinya
West menyatakan bahwa meskipun secara ilmiah ras adalah konstruksi sosial, temuan terkait leluhur bisa memperkuat rasa keterhubungan dengan kelompok atau budaya tertentu. Misalnya, seorang pria Inggris yang gemar menari mungkin merasa lega dan lebih diterima ketika mengetahui bahwa ia memiliki garis keturunan Kuba atau Trinidad yang menghargai tarian sebagai bagian integral dari budaya mereka.
Sebuah contoh menarik lainnya datang dari Tom Bratchford, seorang pria Australia yang diadopsi sejak kecil. Setelah menjalani pengujian DNA, Tom menemukan bahwa ibu kandungnya berasal dari garis keturunan pembuat kapal Norwegia. Hal ini mengejutkannya karena sejak lama, Tom memiliki ketertarikan yang besar terhadap laut dan sering merasa nyaman berada di dekat air. Pengetahuan baru ini memberinya rasa keterhubungan yang mengisi kekosongan identitas yang dirasakan selama bertahun-tahun.
Tidak hanya itu, temuan tersebut juga menunjukkan bahwa jejak genetik bisa membentuk pandangan seseorang terhadap dunia yang lebih luas, memberikan pengakuan bahwa setiap individu adalah bagian dari kompleksitas dan sejarah yang tak terbatas.
Dr. Gaither menambahkan bahwa pengungkapan genetik sering kali memberikan kesempatan untuk mengatasi perasaan terasing, menjadikan seseorang lebih sadar akan warisan budaya yang mempengaruhi kepribadian dan perilaku mereka.
Pengujian DNA telah menjadi alat yang berharga untuk mengisi kekosongan dalam silsilah keluarga dan memperkaya narasi sejarah pribadi. Meskipun bisa memicu kejutan dan tantangan emosional, hasil pengujian ini dapat membuka pintu untuk refleksi yang lebih dalam dan rasa keterhubungan yang sejati. Pada akhirnya, pengetahuan tentang asal-usul seseorang tidak hanya membantu membangun identitas, tetapi juga memperluas perspektif tentang tempat mereka dalam sejarah global yang lebih besar.